19 -Bingung

1.6K 235 55
                                    

"Hadeh, drama rumah tangga apa lagi ini?" Gavin menggaruk kepalanya dengan bingung, walau tak gatal.

Tenang, Gavin tak berkutu kok :)

Hanya saja dia sedikit heran melihat Zidane yang duduk dengan jarak satu kursi disebelah Hansen dengan muka yang masih tertekuk.

Hansen pun sama, walau wajahnya tak semasam kemarin, ia masih saja diam dan fokus dengan buku di tangan.

Sedangkan Dona tertawa kecil. Ia tahu sebab kenapa Zidane masih betah mendiami anak pertamanya hingga dua hari ini. Dan dia pun tak bisa berbuat apapun.

"Di minum dulu susunya. Ngambeknya ditunda dulu."

"Siapa yang ngambek, ma?"

"Tuh kakakmu sama kak Zidane."

"Jiah, gak dikasih jatah ya makanya ngambek?" Goda Gavin dibalas lemparan kacang dari sang kakak.

"Dek." Tegur Dona.

"Bercanda ma. Habisnya mukanya kak Hansen kusut banget kayak ga disetrika, kalo kak Zidane sih lucu."

Gantian Zidane yang kini melempar tisu ke arahnya.

"Aku duluan ya mah. Mau piket." Ucapnya habis itu salim dan segera melarikan diri.

Dia memang menghindari Hansen sejak dua hari lalu. Tak tahu kenapa ia masih kesal perkara hari itu.

Dan lagi lagi dia harus latihan. Apalagi gerakannya masih kaku seperti kemarin-kemarin, tak mungkin dia harus merepotkan Zidan yang malah melatihnya khusus hanya dirinya untuk mengejar ketertinggalannya

"Masih susah, Zi?"

"Iya nih Zi, masih." Zidane tertawa menyadari ucapannya.

"Lucu deh gue manggilnya Zi juga."

"Ya kan nama kita emang sama, atau lo mau gue panggil dan aja?"

Zidane menggeleng. "Gak deh, gitu aja biar kayak anak kembar."

"Tapi katanya kalo kembar biasanya jodoh."

Tawa Zidane menyembur, gombalan macam apa ini?

"Becanda mulu lo, udah ah. Ajarin gue dulu."

"Yaudah sini."

Tiga puluh menit berjalan dengan latihan yang diselingi candaan oleh Zidan, jadi suasanaya tidak terlalu menegangkan. Ia kira, latihan akan berlangsung tegang seperti kemarin bersama teman-temannya.

"Oke, besok lo udah bisa latian temen-temen yang lain. Ternyata gampang juga ngelatih lo, kirain bakal nyampe tiga hari soalnya koreo yang lo lewatin emang banyak sih."

"Hehe. Zidane gitu loh. Gini-gini juga gue cepat tanggap anaknya."

"Ekhem."

Dua orang bernama sama itu berbalik, disana ada Hansen yang masih betah dengan ekspresi datarnya.

"Zi, boleh ikut aku bentar?"

"Hah? Yang mana?" Zidan mengernyit, pasalnya mereka berdua ya-

"Itu yang rambutnya tuing-tuing."

Zidane, orang yang dimaksud melirik ke atas dan mendelik. Apaan tuing-tuing!?

"Oh, Zidane." Hansen mengangguk

"Gue pinjam bentar ya orangnya."

"Pinjam, pinjam! Lo kira gue barang?"

Hansen tak menghiraukan ucapannya dan langsung menarik sang empu ke....




toilet?









Eh, lewat doang ternyata.

"Ngapain lagi kesini!?" Zidane merinding mengingat apa yang terjadi dua hari lalu di ruang pribadi Hansen.

Apalagi yang dilirik hanya duduk santai duduk di kursinya.

"Sini, duduk."

"Ga mau."

"Duduk, Zidane."

"Gue bilang ga mau ya ga mau."

"Duduk di sofa depan situ apa susahnya sih?"

"Eh?" Zidane baru menyadari arah pandang Hansen, ternyata yang dimaksud adalah duduk di atas sofa panjang berukuran mini yang memang disediakan.

"Mikir apa?" Tanyanya ketika melihat Zidane justru meringis malu.

"Gak, gak ada. Oke, gue duduk."

Lima menit kemudian Zidane menguap bosan. Hansen bahkan tak mengajaknya bicara dari tadi dan hanya sibuk mengurusi surat-suratnya.

"Hansen?"

"Hm?"

"Niat lo bawa gue kesini apa sih? Daritadi gue cuma duduk loh, berasa nemenin bos besar aja."

"Emang kalo di osis aku bos besarnya."

"Yeu, dasar. Tau gini mending lanjut latihan sama Zi-"

Brak.

"Eh copot."

Hansen menutup mapnya kemudian berjalan kearahnya. Tapi tatapannya seperti.. kesal?

"Et, apanih?"

Hansen menidurkan kepalanya diatas paha Zidane dan menggerakkan tangan cowok manis itu buat ngusap kepalanya.

"Jadi lu manggil gue kesini cuma buat ini?" Hansen mengangguk.

"Capek banget. Elusin ya?"

"Tapi ini gaada ya dalam kesepakatan! Ga usah macam-macam. Gue mau balik." Zidane hendak berdiri namun tangannya dicekal.

"Kesepakatannya apa coba?"

Zidane sedikit berpikir.

"Every thanking is a kiss, and.." sejujurnya ia sedikit malu mengucapkan kesepakatan pertama mereka.

"Hug if you need?"

"Excactly. Yaudah sini, mau peluk." Ucapnya dengan ekspresi memohon.

Kira-kira seperti ini 🥺





Bibir tipis yang sedikit terbuka lengkap dengan raut lelah yang tetap ada meskipun ia terlelap tak luput dari pandangan Zidane.

Karena ia tak bisa tidur akibat kakinya yang mati rasa, ia memilih untuk mengamati wajah Hansen yang pulas di pahanya.

"Tidur kayak gini aja lo masih ganteng anjir, tapi gantengan gue sih." Setelahnya ia tertawa kecil.

"Wow, lo ngorok juga ya ternyata." Komentarnya saat dengkuran Hansen terdengar.

Matanya mengarah ke pintu ruangan yang untung saja sudah dikunci sebelumnya

Tiba-tiba dia teringat Celline. Fakta bahwa gadis itu dengan mudah masuk ke ruangan Hansen tanpa izin hari itu sedikit membuatnya terusik.

Ia sedikit bingung, perasaan ini tidak seperti kemarin-kemarin ketika ia cemburu pada Hansen atas kedekatan mereka.

Kalau bukan Hansen, berarti-

"Gue gak cemburu sama Celline kan?"

Chapter sembilan belas : Bingung -end

Chapter sembilan belas : Bingung -end

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bau-bau apakah ini?

[1] Hello, Enemy! | BinHao [END]Where stories live. Discover now