25 - Move

1.5K 184 3
                                    

"Huhuu, mama seneng kalo perusahaan papa kamu balik lagi. Tapi sedih juga kalo kamu harus pindah." Zidane sedikit meringis akibat pelukan Dona yang terlalu erat menurutnya.

Bahkan wanita berusia 40-an itu tak bisa menahan tangisnya.

"Lebay deh ma. Orang tinggalnya di perumahan sebelah kok." Gavin menggelengkan kepalanya, pusing dengan kelakuan mamanya.

Tapi setelah itu, ia justru meraung lebih kencang dari mamanya.

"GADA LAGI NIH YANG BISA GUE GANGGU KAK?"

"Tuh ada Hansen."

"AH GAK ASIK DIA MAH! DIGANGGUIN YA PALING-PALING CUMA NGELIRIK SINIS."

Dan benar saja, Hansen hanya melirik sinis ke arah Gavin.

Zidane menyeret kopernya ke arah mobil Sienna yang saat ini sedang pamit.

"Gimana?" Tanyanya pada Hansen.

"Kayaknya dia masih denial deh."

"Jangan lupa pesan gue." Hansen hanya mengangguk, setelahnya berterima kasih.






Di mobil, Zidane hanya menatap lurus kedepan bahkan mengabaikan Sienna dengan ocehannya.

"Woy cina!" Sentaknya.

"Lo juga cina ce." Zidane menanggapinya dengan malas.

"Aelah, galau amat. Ketemu di sekolah kan bisa."

"Ck. Apasih. Gue udah mantanan kali."

"Maksud gue Hansen, bukan Celline."

Zidane menoleh dan bergidik.

"Siapa juga yang suka sama dia?"

"Loh? Yang bilang lo suka sama dia siapa?"

Zidane terdiam. Benar juga, Sienna sama sekali tidak mengatakan bahwa Zidane menyukai cowok itu.

"Dìdì ." Zidane sontak menoleh. Jarang sekali sepupunya memanggilnya dengan panggilan seperti itu.

"Lo emang beneran suka sama Hansen?"

Zidane diam.

Sampai sekarang perasaannya masihlah sama, bingung. Ia masih bingung dengan perasaannya.

"Kalo masih bingung, mending di cek aja."

"Cek?"

Sienna mengangguk.

"Iya, dicek. Lo trial kek, coba jalan sama dia atau apa gitu."

Zidane mengernyit. Memangnya ada yang seperti itu?

"Ce, ini bukan rp loh."

"Yang bilang rp siapa bego." Sienna spontan menoyor kepalanya.

"Emang bener gue manggil lo cina goblok! Akademik sih oke, tapi giliran yang kayak gini aja malah bikin reader greget." Keluhnya.

Setelah itu, Zidane tak lagi menanggapi ocehan Sienna tentang trial atau apalah itu. Dipikirannya hanya ada satu.

Ting!

Hansen bangsat

Zi
Udah sampe?
09.33

Sial! Satu pesan singkat saja sudah membuatnya tak tenang.

Hansen Bangsat

Masih di jalan nih.
Ce Sienna lama bawa mobilnya
09.33

Yaudah
Kabarin kalo udah sampe
09.34

Zidane hanya membaca pesan terakhir itu sambil menggigit bibirnya. Tak lama, ia tertidur.

Malamnya ia baru terbangun setelah capek berkemas. Rasanya sepi karena ia hanya sendiri, orang tuanya akan menyusul lusa nanti. Dan  biasanya Gavin akan menjahilinya ketika makan malam.

Tapi kini ia sendiri, bahkan memikirkan makan malam pun enggan.

Diceknya ponsel dan ia cukup terkejut ketika melihat panggilan dan pesan di dalamnya.

Mama (10 missed calls)
Papa (12 missed calls)
Hansen bangsat ( 35 missed calls, 16 messages)
Ce Sienna (2 messages)

Zidane memutuskan untuk mandi setelah membalas semua pesan dan mengabari orang tuanya.



Benar kata orang, tinggal sendiri dalam rumah yang besar kadang membutuhkan kewaspadaan yang cukup.

Belum dua puluh empat jam sejak ia pindah, pintu rumahnya sudah digedor dengan paksa dari luar.

Dengan cepat ia memakai bajunya kemudian mengambil panci di pantry untuk berjaga-jaga.

Ia mendekat ke arah pintu, sudah tak ada suara gedoran seperti tadi. Hanya saja suara itu berganti dengan suara orang membuka pintu menggunakan kunci.

Klek

"Akhirnya—"

DUAGH!

Dengan cepat Zidane melayangkan pancinya hingga orang itu terjatuh.






"Mana gue tau kalo itu elo." Protes Zidane setelah mengobati jidat Hansen —orang yang menggedor pintunya.

"Habisnya kamu ga ada kabar sampe jam segini." Ucap Hansen sambil mengelus jidatnya lengkap dengan bibir melengkung ke bawah.

"Gak usah sok imut lo. Lagian kan gue udah bales chat."

Hansen mengecek ponselnya, disana ada pesan Zidane yang belum sempat ia baca.

Ia tertawa pelan, kemudian menarik Zidane hingga terduduk di pangkuannya.

"Ngapain lo?"

"Biarin kek gini dulu." Hansen menenggelamkan kepalanya dileher Zidane yang posisinya lebih tinggi darinya.

Kemudian diarahkannya tangan Zidane ke kepalanya.

Seolah tersihir, ia mengelus rambut halus itu dengan pelan.

"Zi, aku gak tahan."

Zidane melongo, ucapan Hansen terlalu ambigu untuk dicerna. Apalagi mengingat kelakuan mesum Hansen diawal pertemuan mereka.

"No, I don't mean to that thing." Hansen terkekeh.

"Aku gak tahan kalau harus cemburu terus liat kamu sama yang lain kayak kemarin-kemarin. Apalagi kita bakalan jauh kayak gini."

"..." Hening, Zidane tak menjawab apapun.

Pikirannya melayang pada satu hal.

"Hansen.."

Zidane menempelkan bibirnya dengan cepat di atas bibir Hansen yang tak sempat merespon apapun hingga Zidane melepaskannya.

"Kalo kita jalanin dulu seminggu, lo keberatan gak? Mungkin kedengerannya gue jahat karena manfaatin perasaan lo, but I need to make sure my feeling also."

Part dua puluh lima : move —end

Hi! Hope u like this chapter.
Jadi move disini bukan cuma Zidane yang pindah ya, tapi Zidane juga yang gerak duluan. Kasian kalo Hansen mulu yang gerak.

[1] Hello, Enemy! | BinHao [END]Where stories live. Discover now