29 -Say goodbye

1.2K 149 6
                                    

Baru semalam jantungnya dibuat konser akibat perlakuan Hansen, paginya Zidane dibuat bingung dengan perilaku Hansen.

Pemuda itu absen, bahkan tak bisa dihubungi. Ditanya pada teman-teman osispun tak ada yang tahu.

"Lo gak tau kalo Hansen udah ngundurin diri jadi ketua osis?"

Zidane menggeleng.

"Kate naik jadi ketua karena Hansen mundur."

"Hansen gila sih gak ngabarin pacarnya." Matthew menghela napas, tak habis pikir dengan sohibnya yang satu itu.

"Sebenarnya kalo ngundurin diri doang ga masalah . Tapi dia malah gak hadir juga, aneh gak sih?"

Gotcha!

Anehnya lagi, Hansen sama sekali tak bisa dihubungi. Haruskah ia ke rumah pemuda itu?

Ting!

Notifikasi dari Gavin menyadarkannya. Ia mengambil tasnya dan berlari keluar.

Mengabaikan Matthew dan Tio yang bingung.

Gavin
Kak Hansen udah mau berangkat. Langsung ke airport aja.

Zidane tahu bahwa Hansen akan menyusul ayahnya di luar negeri. Tapi tidak secepat ini! Bahkan perjanjian satu minggu saja belum selesai, tetapi pemuda itu justru memutuskan untuk pergi?




Di tempat lain, Hansen menatap keluar jendela. Ia sengaja tidak memberitahu Zidane agar rasa sakitnya berkurang. Tapi bukannya berkurang justru sakitnya bertambah.

Ia kemudian tersenyum jenaka mengingat awal pertemuannya dengan Zidane.


Awalnya ia tak tertarik dengan desas-desus murid baru di pertengahan tahun ajaran ini.

Hell! Orang aneh mana yang baru pindah di pertengahan tahun ajaran seperti ini?!

Dengan bertambah murid baru, pasti akan bertambah jumlah orang yang akan terang-terangan memandanginya.

Bukannya Hansen merasa kege-er an. Hanya saja semua murid baru disekolahnya seperti itu. Entah murid pindahan ataupun siswa baru.

Termasuk Celline. Satu-satunya siswa baru yang tak menyerah untuk mendekatinya sampai sekarang.

Ia pun tak masalah dengan itu, toh Celline mendekatinya dalam batas wajar dan tidak membuatnya risih.

Hingga ia akhirnya mulai menerima celline serta ajakannya untuk makan bersama di kantin.

Apalagi moodnya juga sangat bagus mengingat murid baru tersebut adalah seorang laki-laki, jadi kecil kemungkinan populasi fansnya bertambah.

Tetapi anehnya, Hansenlah yang sedari tadi tak berhenti menatap pemuda itu.

"Panggil aja Zidane."

Sekalipun ia mengucapkannya dengan cepat, Hansen masih bisa mencerna bagaimana merdunya suara itu.

Zidane, nama yang bagus.

Tapi ada yang aneh dengan tatapan Zidane, cowok itu jelas-jelas tidak menyukainya. Matanya seolah akan keluar melihat interaksinya dengan Celline.

Ia menyimpulkan satu hal. Zidane menyukai Celline.

Sejak saat itu, ia berusaha menjahili Zidane dengan tingkah-tingkah diluar nalarnya. Dan respon pemuda itu sangat lucu dimata Hansen.

Ia sengaja tak mengganggu Zidane beberapa hari karena ingin memberikannya kesempatan untuk istirahat. Setidaknya sampai mereka tinggal bersama nanti.

Dan benar, Zidane yang baru saja selesai mandi dibuat terkejut dengan kehadirannya.

Hansen semakin gencar mengerjainya, hingga akhirnya mereka mengadakan kesepakatan.

Pertama, Zidane harus menciumnya setiap berterima kasih.
Kedua, Zidane harus memeluknya ketika ingin.

Sejauh ini, baru dua permintaan yang ia utarakan. Masih tersisa tiga.

Hari demi hari berlalu, dimana Zidane merawatnya saat sakit, menciumnya ketika marah, kemudian memberikan pelukan ketika ia dalam masalah, menghadapi ayahnya dengan berani, bahkan mengambil resiko dengan mengendarai mobil untuk menyelamatkan Gavin yang hampir dipukuli membuat jantung Hansen semakin berdebar.

Hei, bahkan Zidane saat itu tak bisa mengendarai mobil!

Ia yang awalnya hanya penasaran dan tak tahu pasti soal perasaannya, kemudian menyadari bahwa tingkahnya selama ini bukan hanya untuk mengerjai Zidane, tetapi menarik perhatian pemuda itu. Bahkan saat bersama Zidan pun, Hansen benar-benar merasa panas dibuatnya.

Hingga akhirnya ia dengan berani menolak Celline karena menyadari perasaannya pada Zidane.

Saat itu, untuk pertama kalinya ia melihat amarah di mata cantik itu. Bahkan rahangnya benar-benar sakit ketika mendapat pukulan itu.

Sakit hati? Tentu saja. Bahkan dengan kebersamaan mereka, Zidane masihlah menyukai Celline.

Saat itu, Hansen hampir saja merelakan Zidane bersama Celline. Ia bahkan memutuskan untuk menemui ayahnya dan menerima tawaran —dengan catatan bahwa sang ayah tak boleh menyentuh Zidane dan keluarganya.

Setidaknya seperti itu sebelum Sienna—sahabatnya yang memang tahu hal ini mengusulkan sebuah ide.

Dan berhasil! Ia berhasil menggoyahkan perasaan Zidane dan untuk pertama kalinya melihat tatapan Zidane yang benar-benar untuknya, menciumnya lembut bahkan Zidanelah yang menawarkan perjanjian baru dengannya.

Walaupun hanya satu minggu dan hanya untuk memastikan perasaan pemuda manis itu, Hansen memanfaatkannya dengan baik. Sebaik mungkin hingga akhirnya tujuannya tercapai : membuat Zidane benar-benar luluh.

Tetapi janji tetaplah janji. Ayahnya yang sudah kepalang senang ternyata sudah mengurus semua terkait perpindahannya secara tiba-tiba.

Tanpa sepengetahuannya.

Bahkan perjanjiannya dengan Zidane belum berakhir.

Lamunannya terhenti ketika Dona memberhentikan mobilnya, meminta Gavin membantu Hansen mengangkat barangnya.

"Kak, jaga diri ya disana. Kalau perlu ngelawan aja kalo dia macam-macam." Ucap Dona memperingatinya.

"Dia gak bakal berani sama asetnya." Hansen tertawa hambar. Toh ia sudah terbiasa menghadapi kelakuan ayahnya sejak dulu.

Dona kemudian memeluknya, mengusak rambut anak sulungnya. Begitu pula Gavin, yang sejak tadi menyadari gelagat Hansen.

"Nungguin kak Zidane ya? Kayaknya masih di jalan deh."

Hansen melotot. Ia bahkan tak memberitahu Zidane. Bagaimana bisa Zidane akan—

"Lo—"

"Hehe, bocor dikit gak ngaruh kok." Gavin menyengir, bersiap mendapat omelan Hansen.

Tapi justru kakanya hanya tersenyum

"Thanks. Gue harap dia beneran dateng."

Tetapi harapan itu tak kunjung tiba bahkan ketika pesawat hampir take off.

"Kayaknya kak Zidane telat deh." Gavin melirik pergelangan tangannya sesekali mengecek ponselnya, berharap kabar dari pacar sang kakak.

"Kayaknya emang ga bisa deh. Kalo gitu, Hansen pergi ya ma. Jaga diri baik-baik." Dona mengangguk sebagai balasan.

Hansen pun beralih pada Gavin.
"Gue duluan ya, Ga. Jagain mama, jangan sampe lecet." Gavin pun hanya berpose hormat sebagai balasan.

"See you on—"

"TUNGGU!"

Hansen terkejut, tentu saja. Melihat sosok itu berlari, tak peduli dengan orang-orang yang menatap ke arahnya akibat teriakan tadi membuatnya tersenyum.

Zidane datang.. untuknya.

Part dua puluh sembilan : Say goodbye —end

hai ^_^
satu atau dua chap lagi kelar kok~

[1] Hello, Enemy! | BinHao [END]Where stories live. Discover now