(1)

618 39 10
                                    

Syia Point Of View

Ada beberapa hal yang harusnya bisa gue omongin baik-baik tapi entah kenapa gue nggak bisa ngelakuin itu kalau udah menyangkut tentang Joshua, darah gue akan selalu berada di titik tinggi kalau pembahasan soal Shua udah muncul, aneh memang tapi ini juga kenyataannya.

Sepanjang gue kenal sama Shua setahun yang lalu, gue nggak bisa nggak emosi kalau ni orang udah mengeluarkan pendapatnya, mau gue cuekin dikata sombong, gue ladenin dikata emosian, memang salah aja gue dimata Shua tapi ya nggak masalah juga, dia juga selalu salah dimata gue jadi adil.

Entah sikapnya bener atau salah, gue nggak peduli, bener aja tetap salah dimata gue apalagi kalau salah beneran, gue gebukin orangnya kalau bisa, kalau bisa, kalau yang berarti dalam kenyataan akan sulit direalisasikan, gue nggak mungkin langsung melayangkan pukulan ke orang lain cuma karena gue kesal, Abang gue bisa ngamuk.

"Kamu ngomong apaan sama Joshua sampai dia berakhir begitu dibawah?" Tanya Bang Bian begitu membuka pintu kamar gue dadakan, ini lagi satu, masuk ke kamar orang main nyelonong aja, nggak ada info atau tanda-tanda peringatan akan kedatangannya.

"Abang kalau masuk bisa ketuk pintu dulu nggak? Masuk ke kamar perempuan sembarangan banget." Protes gue lebih dulu sebelum menjawab pertanyaannya, gue itu bukan anak kecil lagi, kalau gue lagi ganti baju terus Abang masuk tiba-tiba gimana? Gue rugi besar.

"Memang kamu perempuan?" Heh?

"Terus kalau aku bukan perempuan, Abang pikir aku apa? Laki-laki?" Bentukan gue udah perempuan banget begini.

"Kamu nggak punya gender dimata Abang, mau perempuan atau laki-laki, Abang nggak peduli, nggak penting juga, biaya hidup yang Abang keluarin untuk kamu atau Han sama aja." Jawab Bang Bian dengan muka nggak berdosanya.

"Dasar ya, otak Abang kadang-kadang errornya keterlaluan." Abang gue kalau ngomong kadang otaknya nggak diajak, makanya itu mulut sembarangan nyeplak, nggak ada saringannya.

"Otak kamu yang lebih error, kamu ngomong apaan sama Joshua?" Bang Bian mengulang pertanyaan, lagian ngapain masuk ke kamar gue kalau cuma untuk ngomong seenaknya soal tu orang coba? Kurang kerjaan banget.

"Itu orang yang ngomong apaan sama Abang? Dia ngadu?" Kesel sama gue yaudah kesel aja, nggak usah ngadu sama Abang gue juga, kayak bukan laki-laki banget, berantem sama gue malah ngadunya ke Bang Bian.

"Ini bukan soal ngadunya, kamu nggak lihat muka Joshua luka? Kalian berantem pakai cara apa sampai Joshua berakhir kaya gitu? Kalau mau berdebat atau berantem sekalipun itu terserah kalian tapi bisakan kalau nggak main tangan? Bunda yang ngomel dibawah." Ini apaan maksudnya?

"Hah? Muka Shua luka? Abang yang bener?" Perasaan gue nggak mukul tu orang tapi kenapa bisa sampai luka? Jangan ngada-ngada sama gue, ini udah masalah kesehatan jantung dan pernafasan gue.

Gue memang kesal dan selalu ribut sama Shua tapi ya nggak sampai main tangan juga, gue masih sadar diri kalau gue ini perempuan, gue nggak akan sekasar itu sama Shua jadi gimana ceritanya Shua bisa luka? Beneran karena gue?

"Memang mukanya Abang keliatan becanda sama kamu sekarang, buruan turun sebelum Bunda makin ngomel." Lagian Shua gimana bisa luka? Apa karena gelas tadi?

"Bang, beneran bukan aku, nyentuh Shua aja aku nggak pernah jadi gimana bisa dia luka?" Gue tetap memberikan penjelasan sambilan nyari hijab instan gue.

"Nyentuh Shua? Memang kamu sama Shua ngapain?" Pemikiran Bang Bian beneran rusak.

"Rusak banget pemikiran Abang, bukan gitu maksud aku, aku beneran nggak kasar sama Shua, serius Bang." Gue belum segila itu.

AKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang