(14)

153 27 7
                                    

"Han! Heum?" Kak Shua natap Abang Han yang masih natap gue nggak habis pikir.

"Bentar, gue dulu yang harus ngomong sama ni anak, otaknya sakit." Rasanya kaya mau diomelin bergilir.

"Dek! Kamu jangan main-main, Abang nggak akan ngelakuin apa yang kamu mau, kesehatan kamu itu lebih penting jadi jangan ambil hati omongan Bunda." Abang Han udah bener-bener menggenggam lengan gue sekarang tapi gue masih tetap dengan keinginan gue tadi.

"Aku beneran udah mendingan Bang, ngapain juga disini lama-lama, kalau mau istirahat, di kamar juga bisa, lebih nyaman malah." Kalau cuma pekara istirahat, di rumah jelas lebih nyaman, nggak harus disini juga.

"Abang tetap nggak setuju, kamu pasti denger omongan Abang barusankan? Jangan pikirin omongan Bunda, cukup pikirin kesehatan kamu sekarang." Lanjut Abang Han dengan tatapan membujuk, Kak Shua bahkan ikut menatap gue dengan tatapan yang sama.

"Kalian berdua kenapa pada natap aku begitu?" Jangan kasian sama gue, gue nggak suka dan gue nggak butuh.

"Bang! Abang sendiri yang bilang mau gimanapun Bunda itu tetap Ibu kitakan? Aku juga nggak mau nyakitin Bunda, selama yang Bunda mau masih bisa aku lakuin, kenapa harus menghindar? Lagian cepat atau lambat, ending juga bakalan sama." Sama aja menurut gue, mau gue nunggu lebih lama atau ikutin rencana Bunda sekarang, nggak ada yang berubah.

"Bener-bener ya, Dek." Jawab Abang Han pasrah, gue juga sama pasrahnya.

"Kakak sendiri kenapa masih disini? Bukan udah pamit pulang dari tadi?" Kali ini gue beralih dengan Kak Shua, apa dia beneran ngerasa bersalah sama gue? Harusnya nggak perlu, gue udah cukup lelah dengan masalah lain, apa harus gue membujuk Kak Shua juga disaat kaya gini?

"Han, sekarang giliran gue, gue butuh bicara sama Syia, berdua." Kak Shua balik dengan permintaan, gue sendiri udah natap Kak Shua penuh tanda tanya tapi anehnya Abang Han langsung mengiakan.

"Abang!" Panggil gue nahan lengan Abang Han, gue nggak mau kalau cuma berdua.

"Nggak papa, nggak akan ada yang salah paham, kalian bicara dulu, Abang tunggu didepan dan nggak akan kemana-mana, beneran." Bujuk Abang menurunkan tangan gue perlahan, seakan mencoba meyakinkan gue, Abang Han mengangguk cepat dan ninggalin gue sama Kak Shua gitu aja, Abang beneran nggak akan kemana-manakan?

"Kakak mau ngomong apa sebenernya?" Tanya gue buka obrolan.

Kalau Kak Shua sampai minta izin untuk ngomong cuma berdua sama gue, pembicaraannya pasti bukan hal sepele, Kak Shua mau ngomong hal penting apa sampai raut wajah serius banget begitu? Bikin merinding duluan, horor.

"Kamu beneran mau nikah muda?" Gue nggak berhenti mengedipkan mata gue berkali-kali mendengarkan pertanyaan Kak Shua sekarang, ini gue nggak salah dengerkan? Apa kesadaran gue belum pulih sepenuhnya?

"Kakak minta izin sama Abang Han cuma untuk nanya hal sepele begini?" Gue nggak habis pikir duluan.

"Kalau alasan Kakak masih disini karena Kakak masih ngerasa bersalah karena masalah tadi? Kak, beneran bukan salah Kakak, aku nggak nyalahin siapapun."

"Abang Han yang udah jelas-jelas salah aja nggak aku salahin apalagi Kakak yang memang nggak salah sama sekali." Bujuk gue, gue udah mengalah dan menyisihkan tenaga gue untuk membujuk Kak Shua sekarang.

"Apa Han tahu kamu ngomong kaya gini?" Tanya Kak Shua tersenyum sekilas.

"Tar aku kasih tahu jadi Kakak nggak harus ngerasa bersalah sampai ikutan begadang di rumah sakit begini." Kak Shua nggak harus ngelakuin itu, gue masih sangat-sangat sadarkan diri, gue nggak akan nyalahin orang sembarangan.

"Kakak masih disini bukan cuma karena rasa bersalah, kamu jangan salah paham." Tatapan Kak Shua malah berubah sekarang, tatapan yang dia layangkan beneran bikin gue nggak bisa mikir, apa yang ditatapnya sama gue?

"Terus Kakak masih disini kenapa?" Tanya gue lagi, kalau bukan cuma karena rasa bersalah terus apa? Nggak tega sama Abang Han yang harus nungguin gue sendirian?

"Kakak nanya lebih dulu sama kamu, jawab pertanyaan Kakak, nanti akan Kakak jawab pertanyaan kamu, jadi apa kamu beneran mau menikah muda?" Ulangnya.

"Sebenernya nggak terhitung nikah muda jugakan Kak? Aku udah semester akhir, lagian calonnya juga belum ada, nikah muda apaan?" Ini jawaban gue.

"Memang kenapa? Kakak ikutan khawatir karena sikap Bunda juga? Nggak perlu, lagian cuma kenalan doang, belum tentu cocok juga." Cuma kenalan dan belum ada keputusan apapun jadi kalau membahas soal pernikahan masih jauh banget kayanya, gue belum kepikiran sampai ke situ.

"Kalau cocok? Apa kamu akan setuju untuk menikah dalam waktu dekat?" Dan lagi? Kak Shua kenapa coba? Apa pembahasan tentang perjodohan gue semenarik itu? Nggak ada hubungannya sama Kak Shua sama sekali.

"Kalau cocok? Belum tentu aku langsung setuju untuk menikah juga, cocok belum tentu satu pemikirankan? Aku bakalan nanya pendapat Abang Han dulu, itu hal pasti jadi kalau sama Abang Han juga oke, bakalan aku pertimbangkan, mungkin." Nemuin pasangan yang cocok memang penting tapi penilaian Abang Han Juga sangat penting sama gue, mau secocok apapun, kalau menurut Abang Han bukan dia orangnya, ya bukan.

"Jadi intinya tergantung Han?" Kak Shua bahkan sangat serius sekarang, ni orang kesambet apaan? Jadi merinding begini gue denger pertanyaannya, makin lama makin menjurus.

"Bentar deh Kak, Kakak sebenernya kenapa? Apa yang penting banget sampai Kakak nanya hal kaya gini?" Gue mulai bingung sekarang, Kak Shua mau ngomong apa sebenernya? intinya aja bisakan? Udah mau subuh nih.

"Kalau Han setuju, apa kamu akan nerima laki-laki manapun?" Ulangnya masih belum menjawab pertanyaan gue.

"Aku udah jawab satu pertanyaan Kakak kan? Dan sekarang aku udah nggak ha_"

"Iya atau enggak?" Potong Kak Shua cepat.

"Mungkin." Karena bagi gue sekarang, cuma Abang Han yang beneran peduli sama masa depan gue, bukan berarti orang tua sama Bang Bian nggak peduli tapi cara mereka merancang masa depan untuk gue jalannya terlalu sulit, bukan itu yang gue mau.

"Kamu tahu siapa laki-laki yang bakalan dikenalin sama kamu lusa?" Nanya terus perasaan, kapan pertanyaan gue dijawab?

"Enggak, kalau tahu udah aku pertimbangin lama, kan baru mau dikenalin, kenapa Kakak tanya? Memang Kakak kenal?" Dan anggukan Kak Shua membuat gue cukup terkejut, kenal? Siapa? Jangan bilang kalau itu Kak Shua sendiri?

"Jangan bilang kalau orangnya itu Kakak?" Tebak gue kurang yakin.

"Bukan!" Kak Shua masih menatap gue sama.

"Terus siapa?" Gue makin antusias.

"Dia sepupu Kakak, dia saudara dari perempuan yang kamu pilihkan kadonya tadi siang." Wah! Gue nggak bisa nutupin keterkejutan gue sekarang, dunia sempit banget, beneran sepupu Kak Shua yang bakalan dikenalin sama gue? Wah.

"Kalau memang itu sepupu Kakak, artinya Kakak udah kenal baik sama orangnyakan? Bisa ngasih tahu spoiler dong? Ngasih pendapat sekalian." Kak Shua pasti tahu banyak jadi harusnya bukan masalah besar kalau mau ngasih tahu gue sekarang, hampir aja gue mikir kalau Kak Shua orangnya.

"Bukan itu yang terpenting, tadi kamu nanya alasan Kakak masih disini kenapakan? Kakak jawab sekarang." Kak Shua bahkan narik nafas dalam sekarang.

"Heum, jadi kenapa?" Gue masih mendengarkan.

"Kakak khawatir sama kamu, Kakak terus mikirin kamu, setelah tahu kamu masuk rumah sakit, ada yang salah sama perasaan Kakak." Dan Kak Shua masih bisa tersenyum setelah ngomong kaya gini sama gue?

"Kak! Itu nggak lucu, jangan becanda." Becanda juga punya batas, gue selalu ngingetin hal ini.

"Syiaka Putri! Kalau kamu setuju, Kakak akan datang melamar kamu lebih dulu jadi tolong, tolak laki-laki lain, siapapun itu." Gue bahkan hampir oleng sama kalimat terakhir Kak Shua.

AKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang