(4)

157 28 5
                                    

"Memangnya kalau sama Bang Joshua kenapa? Lo berdua cocok kok, saling melengkapi." Apa katanya?

"Saling melengkapi dari segi mananya? Bentrok terus yang ada, gue masih ngerasa kalau gue sama Shua beneran nggak mungkin, pertama dia sahabatnya Abang gue, kedua dia itu bak kata lo sempurna, nah gue apaan? Dimata keluarga aja gue salah mulu." Kemungkinan kaya gini beneran nggak ada dalam list keingiann hidup gue.

"Terus kalau menurut lo yang modelan Bang Shua aja nggak mungkin, lo mau nyari yang gimana lagi?" Mau gue udah sangat jelas, sampai sekarang malah makin sangat jelas.

"Masih seperti jawaban gue sebelumnya, gue cuma mau jadi yang pertama dan selamanya, gue cuma akan pacaran sekali, menikah sekali dan itu harus sama orang yang sama." Rasanya keinginan gue nggak sulit sama sekali, gue nggak mau ada kisah tentang masa lalu belum kelar, gue mau masa lalu, masa sekarang dan masa depan gue cuma dengan satu orang yang sama.

"Tapi kata lo Bang Shua nggak punya pacarkan? Nggak pernah keliatan lagi menjalin hubungan sama orang lain juga, jadi kenapa lagi?" Gue nggak yakin kalau Shua nggak pernah pacaran.

"Itu kata gue tapi kalau ngikutin kata lo nggak mungkin laki-laki sesempurna Shua nggak punya pawangkan?" Gue mencoba menerima kenyataan yang dipaksakan Cici, mau Shua punya pacar nggak masalah juga karena gue memang nggak berharap apapun sama Shua.

"Ya kalau begitu mah selamat mencari dan menunggu." Cici menggepalkan tangannya di depan gue untuk menyemangati, gue yakin diluar sana ada kok yang bisa nikah sama pacar pertama, nggak cuma gue doang yang punya keinginan begini.

Gue udah cukup lelah dengan sikap keluarga jadi kalau nanti gue punya keluarga gue sendiri, gue nggak mau terlalu menderita, ya memang nggak mungkin gue nggak pernah punya masalah bahkan setelah gue menikah nanti tapi kalau bisa gue hindari, kenapa nggak gue berusaha dari sekarang?

"Pokoknya apapun gue selalu mendoakan yang terbaik buat lo, mengenai keluarga, gue selalu bilang, jangan terlalu ambil hati dan hilangin sedikit kebiasaan lo itu, lo nggak harus terus ketawa di berbagai situasi." 

"Kalau lo ngerasa sedih yaudah lo bisa sedih, lo terluka yaudah lo bisa terluka, lo bahagia itu lebih bagus lagi, intinya apapun keadaan lo, jangan terus nahan diri dengan selalu tertawa, ini yang bikin keluarga lo salah paham, mereka mikir lo selalu hidup bahagia dan nggak punya beban apapun makanya kesannya lo jadi kekanak-kanakan."

"Sesekali lo nangis juga nggak akan bikin lo berdosakan?" Seketika muka gue langsung murung, gue paling nggak bisa kalau Cici udah ngomong begini.

Gue nggak menjawab apapun bukan karena gue nggak paham dengan maksud ucapan Cici, karena gue terlalu paham makanya gue nggak bisa membalas apapun, yang Cici omongin itu kenyataan dan gue nggak bsa bohong kalau ini adalah diri gue yang sekarang, sikap ceria gue yang disalahpahami oleh seluruh keluarga gue.

Gue pernah denger kalau orang yang paling sering tertawa adalah mereka yang paling banyak menyimpan luka, awalnya gue nggak menyadari hal ini tapi seiring berjalannya waktu gue semakin sadar kalau ini bukan hanya sekedar kalimat tapi ini adalah hidup gue sekarang.

Kata kenapa yang harusnya terdengar biasa tapi akan sangat berbeda artinya bagi seseorang yang sering menyimpan luka, orang normal akan menjawab pertanyaan kenapa dengan sangat mudah tapi bagi seseorang yang jiwanya tertekan, kata kenapa bisa membuka luka, itu adalah kata kunci untuk membuka pintu penderitaan makanya kebanyakan orang yang bermasalah akan selalu menangis sebagai respon utama untuk kata kenapa tadi.

Tubuh gue ceria tapi percayalah jiwa gue sedang tidak baik-baik aja, ini adalah gue yang sekarang, makanya Cici sering banget nyuruh gue untuk baik sama Shua, menurut Cici, Shua adalah kebalikan dari gue, dia pendiam dan tenang diluar sedangkan dalamnya gila, penuh energi bahkan berlebih.

Dan balik lagi, seberapa kalipun Cici nyuruh gue untuk coba mendekat sama Shua, kenyataannya adalah gue sama Shua nggak pernah akur, kita berdua terus berdebat tentang hal-hal kecil dan itu sangat mengganggu, gue bahkan udah capek duluan sebelum mulai berdebat.

"Lo kenapa nggak nyoba untuk lebih terbuka sama keluarga lo, Sya?" Tanya Cici lagi, gue diam sejenak dan tersenyum miris sekarang.

"Karena bagi gue mengeluh tentang apa yang gue rasain ke keluarga itu nggak penting, gue nggak mau cuma melihat sisi gue doang, menurut gue nggak ada ceritanya anak pertama paling banyak beban, anak kedua nggak baik-baik aja dan anak terakhir akan sulit, bagi gue setiap anak punya beban tersendiri, Bang Ghalih punya bebannya, Bang Handra juga punya, dan ini adalah beban gue." Nggak perlu membandingkan mana anak yang paling menderita karena setiap anak punya beban yang berbeda.

"Nah itu lo bisa ngomong begini? Itu artinya apa? Lo itu udah dewasa secara pemikiran Sya cuma keluarga lo nggak bisa ngeliat itu, ditambah sikap lo yang cenderung kekanak-kanakan, benerkan kata gue, umur nggak akan bisa nipu, semakin banyak umur lo, semakin banyak juga pemikiran dan pemahaman lo, jangan menilai rendah diri lo sendiri, lo juga punya kelebihan." Gue tahu, karena gue tahu makanya gue bisa bertahan sampai sekarang.

Walaupun dalam hati udah awut-awutan, pingin banget teriak yang keras, nangis sejadi-jadinya tapi tetap gue tahan, belum saatnya untuk menyerah sekarang, kedepannya akan semakin banyak masalah yang muncul dalam hidup gue secara bergantian, jadi kalau gue menyerah sekarang, kedepannya nasib gue bakalan gimana.

"Mungkin gue beneran bisa lepas dari penilaian sepihak keluarga disaat gue udah membangun keluarga gue sendiri ya Ci, sikap dewasa gue harus dibuktikan bukan cuma dipemikiran." Gue pernah mikir mungkin kalau gue udah menikah, penilaian keluarga gue akan berubah tapi menikah cuma untuk mendapat pengakuan keluarga juga nggak lucu, gue nggak harus ngelakuin itu.

"Menikah kalau lo udah siap bukan karena lo udah terdesak, jangan dengerin orang lain, setelah menikah mau hidup lo gimana juga orang lain nggak akan peduli." Nah ini Cici ngerti, menikah itu bukan karena udah terpaksa keadaan tapi kalau gue udah siap dan sekarang gue belum siap.

"Pinter." Ini memang sahabat gue.

"Tapi kalau lo udah yakin kalau dengan menikah bisa membuat hidup lo jauh lebih baik kenapa nggak? Toh Bunda lo udah nyiapin lo calon lama, lo aja yang nolak terus." Lah perasaan nggak konsisten banget ni anak, bentar mendukung gue eh sebentar lagi malah dukung keluarga gue.

"Lo jadi orang bisa punya pendirian sedikitkan, jangan kaya harga saham, naik turun hitungan detik, harga saham aja masih ada jeda nah lo apaan." kesal gue nggak habis pikir.

"Ya kan cuma ngasih saran, kenapa lo nggak coba kenalan dulu sama calon pilihan Bunda, siapa tahu cocok, lagian lo juga nggak dekat sama siapapun kan? Nggak ada yang salah Sya, coba kenal aja." Apa iya? 

"Gue coba omongin sama Bunda deh." Saran Cici juga nggak merugikan gue.

"Ck, itu pemikiran lo juga kaya harga saham, gampang banget berubahnya." Tawa gue sama Cici beneran pecah sekarang.

"Tapi Sya, kalau tar pas dikenalin lo malah beneran suka, Bang Joshua gimana?" Cici tiba-tiba nyikut masalah ini lagi.

"Memang Shua siapa gue?" Yang nanya gila.

AKARAWhere stories live. Discover now