(13)

156 22 1
                                    

"Lo nggak mau pulang?" Tanya Abang Han ke Shua, gue hanya ikut mendengarkan tanpa berniat ikut nimbrung, lagian pertanyaan Abang juga bener, ini udah jam berapa tapi Shua belum berniat pulang juga kayanya, nggak mau nginepkan?

"Gue nemenin lo, tar kalau gue mau pulang ya gue bakalan pulang." Wo, mendengarkan jawaban kaya gini, gue jelas membelalakkan mata kaget, apaan mau ikut nemenin Abang, nggak bisa, gue nggak setuju, nggak mau juga.

"Lo sakit? Ngeri gitu gue dengernya, ngapain lo mau nemenin gue? Udah nggak usah, gue berdua sama Syia juga bisa, pulang sana." Nah ini baru bener.

"Iya pulang sana, disini sempit, nggak ada tempat lo tidur." Lanjut gue mengiakan ucapan Abang Han, kalau Shua disini yang ada gue nggak leluasa, berasa ada mata-mata.

"Dek! Yang sopan kalau ngomong, lo gue itu sama temen, Joshua itu lebih tua dari kamu." Tiba-tiba aja gue yang kena omel sama Abang, lah kan gue udah biasa manggil Shua begitu, kenapa baru protes sekarang?

"Tapikan_"

"Nggak ada tapi-tapian, mulai sekarang panggil yang sopan." Harus banget gitu, Abang pasti becanda sama guekan? Panggilan doang, nggak ngaruh juga, Shua juga nggak keberatan.

"Gue nggak keberatan mau Syia mang_"

"Gue yang keberatan, mulai sekarang kalau Syia manggil lo nggak sopan, kasih tahu gue, biar gue yang ngajarin." Potong Abang Han lagi, wah kayanya beneran serius sekarang, apa harus gue ubah?

"Abang nggak minta kamu selalu akur sama Joshua kalau memang itu sulit tapi sedikitnya panggilan bisa kamu usahain kan Dek? Masa nggak bisa, itu tadi bisa." Ya memang bisa tapi nggak enak aja menurut gue, udah nyaman manggil Shua.

"Lo berdua jangan bikin gue sakit kepala karena nerima laporan kalau Adek gue manggil lo nggak sopan jadi mohon kerjasamanya." Dan gue langsung paham maksud ucapan Abang Han kalau udah begini, pasti Bunda yang bikin laporan makanya sampai bikin Abang ngomel.

Ini adalah salah satu sisi bagus dari Abang Han, blak-blakan, kalau gue cenderung nahan dan berakhir dengan menyalahkan diri gue sendiri setiap kali Bunda marah, kalau Abang akan langsung bertindak kalau memang omongan Bunda itu nggak enak, Abang nggak akan nahan diri selama itu bisa diomongin.

"Kalau lo udah ngomong begitu harusnya yang bermasalah tinggal di adik lo doang, gue manggil udah bener." Ck, gue langsung natap tajam Shua sekarang, ujung-ujung gue yang dijatuhkan.

"Bener-bener ya, gila Kakak itu udah akut, mumpung dirumah sakit, ambil nomer antrian sana." Oke, gue ubah, panggilan doang, rusuh banget.

Gue nggak mungkin bakalan terus manggil Kak Shua pakai nama doang kalau alasan Abang Han nyuruh udah begini, gue nggak mau Abang Han ikut diomelin terus karena ulah gue.

"Nah gitukan enak Abang dengernya, udah lo pulang sana, Syia butuh istirahat juga." Ulang Abang Han nyuruh Kak Shua pulang, gue beneran nggak bebas kalau Kak Shua disini, serius.

"Yaudah gue pulang, kalau butuh apapun, kabarin gue." Abang udah mengacungkan jempol.

"Cepat sembuh, Kakak pulang dulu." Dan gue bengong ditempat, alasannya cuma satu, gue terpaku karena denger Shua nyebut dirinya Kakak untuk gue, Kak Shua.

"Heh! Bengong kenapa? Joshua udah pulang masih bengong aja, udah tidur." Tidur aja gue kudu dipaksa-paksa sekarang, nasib-nasib.

"Abang tidur dimana? Seranjang aja, muat kok." Tawar gue, bukan pertama kali juga kita berdua tidur seranjang, kadang bertiga sama Bang Bian malah, berlima sama Ayah Bunda juga pernah.

"Abang gampang, kamu istirahat, jangan mikirin apapun." Abang narik selimut gue dan matiin lampu juga, kayanya gue bakalan tidur nyenyak malam ini.

Tapi bak cuma sekedar angan, gue pikir tidur nyenyak itu bakalan gampang tapi nyatanya susah minta ampun, kalau yang bermasalah udah perasaan, mau gue bawa sesantai apapun tetap aja kepikiran, gue nggak bisa bohong, gimanapun sekarang itu hubungan gue sama Bunda belum membaik, omongan Bunda masih terngiang-ngiang dikepala gue, itu menyakitkan.

Gue melirik handphone Abang Han yang ada disamping gue sekarang dan ternyata sekarang udah jam setengah empat subuh, handphonenya ada tapi orangnya enggak, Abang kemana?

Gue bangkit dari tidur gue dan berjalan keluar perlahan, belum sempat tangan gue menyentuh gagang pintu, gue mendengar suara yang cukup familiar dan itu bukan suara Aang Han doang, Kak Shua masih disini ternyata, nggak beneran pulang?

"Semakin sering Syia tertawa karena hal kecil, gue malah semakin khawatir, ini aja dia bisa terang-terangan minta Ayah sama Bunda pulang itu udah satu kemajuan menurut gue." Ucap Abang Han, mereka ngomongin gue dan gue masih ingin mendengarkan.

"Memang biasanya Syia gimana? Beneran pingsan karena stres?" Tanya Kak Shua tenang, gumaman Abang ikut membuat nafas gue tercekat.

"Heum, kejadian tadi sebenernya ada andil salah gue juga, gue lupa ngabarin Bunda kalau Syia keluar bareng kita, ditambah Bunda mikir dia dianterin sama laki-laki sembarangan makanya sampai begitu, kalau cuma dua hal yang gue omongan tadi mungkin Syia masih bisa bertahan tapi karena ada beberapa ucapan lain yang harusnya nggak Bunda gue keluarkan, makanya jadi begini." Abang tahu semuanya ternyata, mata gue mulai berkaca-kaca.

"Jadi karena itu tadi lo nanya gue nganterin Syia sampai mana? Kalau gue tahu, gue juga bakalan nganterin dia sampai depan pintu rumah dan ngasih penjelasan sama Tante." Sesal Kak Shua, mau dia nganterin gue sampai dalam rumah sekalipun, gue tetap bersalah dimata Bunda.

"Harus berapa lama lagi gue nangis supaya rasa sakit dihati gue bisa menghilang?" Ucap gue nepuk dada gue sendiri.

"Harusnya Bunda gue udah bisa menilai sendiri, terlalu keras nggak akan membuat Syia semakin baik, itu cuma jadi beban lain bagi Syia, cuma karena Syia anak perempuan bukan berarti dia harus dikekang dan diremehkan dikeluarga, dia berhak mendapatkan perlakuan yang sama kaya gue sama Bang Bian tapi kalau Bunda udah marah, gue juga nggak bisa sembarangan, gue punya tanggungjawab menjaga perasaan Ibu gue juga." Gue paham.

Abang Han nggak bisa selalu membela gue terang-terangan karena perasaan Bunda juga penting, gimanapun Abang itu seorang anak, nggak bisa sembarangan jawab, cukup gue yang dianggap bermasalah dalam keluarga, nggak usah nambah satu lagi.

"Tadi aja ni Bunda masih sempat-sempatnya mikir gimana sama pertemuan Syia dengan anak temennya besok lusa entah, Syia udah kaya gini aja, masih itu yang penting, gue bisa apa?" Anggap aja gue udah nggak kaget dengan omongan Abang sekarang.

"Abang!" Panggil gue membuka pintu ruang inap perlahan.

"Loh Dek, kenapa udah bangun?" Abang Han sama Kak Shua sepakat natap gue kaget.

"Besok Abang langsung urus surat izin pulang aku aja, lama-lama disini aku juga udah nggak betah." Jangan tanya tatapan Kak Shua sekarang, kagetnya sampai nggak bisa berkata-kata.

"Dek! Kamu be_"

"Han, bisa gue ngomong sama Syia sebentar?" Potong Kak Shua cepat.

AKARADonde viven las historias. Descúbrelo ahora