(3)

158 28 0
                                    

"Lo kenapa lagi? Muka perasaan ditekuk terus? Punya beban baru atau masih beban lama?" Tanya Cici membuka obolan.

"Masih beban lama, lo tahukan gimana keluarga gue kalau udah ngomong? Kesannya kaya gue terus yang salah, katakanlah gue memang masih kaya anak kecil tapi masa nggak ada satupun hal positif dalam diri gue, asal udah menyangkut soal Joshua, selalu aja gue yang kena." Keluh gue pasrah.

"Heh Joshua? Kenapa Bang Joshua jadi lo bawa-bawa? Memangnya lo ketemu sama orangnya barusan?" Anggukan gue langsung membuat Cici paham, kalau Cici udah ikut narik nafas dalam, gue juga udah siap untuk buka cerita, pada akhirnya gue menceritakan semua kronologi kejadian hari ini pas Shua datang.

"Masa Bang Joshua kaya gitu sih Syia? Lo juga salah kali, lagian semuanya bisa dijelasinkan? Nggak harus lo yang di_" Cici menghentikan ucapannya.

"Kalau bisa gue jelasin baik-baik, nggak akan muka gue berakhir suram begini, udahlah males gue ngomongin ini lama-lama, endingnya tetap sama, gue tetap salah dimata mereka, mending gue makan." Nggak ada yang harus gue perpanjang, Cici bukannya nggak tahu sikap keluarga gue gimana, nggak ada yang suka rela berpihak sama gue.

"Tapi ngomongin soal Bang Joshua, lo yakin dia belum punya pacar? Ayolah, orang yang punya semuanya kaya gitu masa nggak ada pawang, gue nggak yakin." Lah ini lagi satu, kelakuannya sekarang udah jadi salah satu kekurangan Cici, nggak bisa ngeliat yang bening-bening.

"Kata siapa Shua nggak punya kekurangan, otaknya nggak ada kan itu kekurangan." Otaknya mungkin ada tapi cuma nggak dipakai aja, atau malah udah nggak berfungsi dengan baik, kekurangan besar itu.

"Lo aja yang memang udah nggak suka dari sononya, gue ini ngasih penilain secara subjektif, Bang Joshua itu hampir masuk dalam kategori sempurna buat laki-laki, semuanya ada di dia, kalau gue jadi lo, Abang gue punya sahabat seganteng itu, udah gue kejar." Kejar? Memangnya Shua kambing kudu gue kejar.

"Lo aja yang ngejar, gue capek, nggak punya tenaga lebih buat ngejar orang begitu, buat lo aja, kejar sana." Gue malah tertawa lepas sekarang, kalau memang Cici suka ya kenapa nggak nyoba aja, siapa tahu anda beruntung.

"Alah sekarang bilang nggak mau, buat gue aja, tar kalau udah suka, pusing sendiri lo mikirnya, hati-hati, benci sama cinta itu beda tipis, kepleset dikit aja, langsung oleng itu." Cici udah melayangkan tatapan nantangin gue sekarang.

"Gue? Jatuh cinta sama Shua? Tunggu nada notifikasi handphone gue berubah dulu, lo aja yang kejar sana, amankan segera, kalau Shua punya pawang, mungkin kelakuannya bisa sedikit terkendalikan." Ini baru bener.

Anehnya adalah, setiap kali gue cerita sama Cici dan keluarga gue tentang sikap Shua yang nggak sekalem itu, mereka semua menunjukan ekspersi nggak percaya, cuma Bang Handra yang bisa setuju, dimata mereka itu Shua udah kalem sama sopan banget tapi dimata gue sama Abang Han, kelakuannya Shua separuh gila.

"Sorry, gue masih sibuk ngejar Bang Handra, kan cita-cita gue jadi saudara ipar lo." Cici udah narik-narik tangan gue nggak sabaran sekarang, memanglah, niat banget dari awal ngejar Abang Han, apa yang diliat dari Cici sama Abang gue coba?

"Kata lo Shua ganteng, baik, sopan dan sempurna banget terus kenapa lo malah ngejar Abang gue? Selera lo berubah?" Kan aneh, kalau memang dimata Cici Shua udah sesempurna itu, kenapa malah yang dikejar orang lain?

"Kan jawabannya udah sangat jelas jadi ngapain lo tanya lagi? Dimata gue, Abang lo jauh lebih menarik, ganteng sama cantiknya nyatu, daya tariknya juga lebih pool." Gue udah menggeleng-gelengkan kepala menatap Cici sekarang, Bang Handra ganteng dan cantik disaat bersamaan? Bener sih, cantikan Abang Han dari pada gue malah tapi tetap aja.

"Mata lo nggak sakitkan Ci? Lo harus ke dokter kayanya, Abang gue yang bentukannya begitu lo kejar." Kaya nggak ada laki-laki lain aja.

"Yaudah kita kedokter matanya bareng, kan penglihatan lo juga nggak beres, Bang Joshua aja masih kurang dimata lo." Kan kena juga gue, mungkin ini adalah salah satu kesamaan Abang Han sama Cici, bisa ngalahin gue kalau soal berdebat, Bang Bian aja masih sering kalah telak sama gue, kalahnya gue cuma kalau Bang Bian udah ngebahas dana.

"Ck, memang susah dikasih tahu, intinya Shua memang nggak akan pernah cocok sama gue, kita berdua nggak ada persamaannya sama sekali, bentrok mulu." Kalau nggak punya hubungan apapun aja gue mudah sering banget berdebat, apalagi kalau jatuh cinta beneran dan punya hubungan, bisa perang setiap hari.

"Memang yang ngomong lo harus cocok sama Bang Joshua siapa? Maksud gue itu ya setidaknya penilaian lo baik dan nggak berantem terus sama sahabat Abang lo kan cukup, lo mikir apaan?" Gue langsung mengangkat kedua tangan gue tanda menyerah, nggak gue perpanjang lagi.

"Sya, gue mau nanya satu hal sama lo dan lo harus jawab jujur." Mendadak gitu Cici nanya kaya gini?

"Nanya ya nanya aja, ngapain pakai acara harus jujur-jujuran segala? Bikin orang gagal fokus aja." Bikin orang panik duluan sebelum pertanyaannya dilayangkan ini mah.

"Lo kenapa selalu manggil Bang Joshua kaya gitu? Udah manggilnya Shua doang, embel Abang atau Kakak nggak lo pakai juga, nggak sopan tahukan? Inget, jawaban lo harus jujur." Cici kembali memperingati.

"Memangnya kapan gue pernah nggak jujur sama lo? Jangan sembarangan begitu." Perasaan gue kalau ngomong sama Cici selalu apa adanya.

"Lo memang nggak pernah bohong sama gue tapi lo yang nggak sadar sama perasaan sendiri, jatuhnya nggak meyakinkan juga, buruan jawab, kenapa?" Apa iya? Gue yang nggak sadar sama perasaan gue sendiri, terus jatuhnya malah ngomong nggak jujur sama Cici.

"Ya nggak kenapa-napa? Males aja manggil sopan ke orang yang selalu ngajak ribut gue, sengaja gue panggil Shua doang biar dia kesal, cuma karena itu." Nggak ada maksud apapun, ngeliat mukanya aja gue udah kesal apalagi manggil Abang atau Kakak? Bisa mati kutu gue.

"Jadi lo manggil beda supaya bikin Bang Joshua kesal gitu? Tapi yang gue lihat ya Sya, Bang Joshua bukannya kesal tapi biasa aja, santai banget malah mukanya, gue pribadi malah mikir kalau lo sengaja manggil begitu biar keliatan beda, biar rada istimewa panggilan lo gitu." Heh? Ini yang gila siapa? Gue apa Cici? Ada gitu gue manggil orang beda cuma biar keliatan istimewa?

"Otak lo jalan nggak sih Ci? Istimewa apaan?" Jangan aneh-aneh.

"Karena otak gue jalan makanya gue bisa ngomong begini, inget, penilaian gue saat ini lebih objektif soalnya gue nggak kesal dan nggak jatuh cinta juga sama Bang Joshua, gue netral."  Netral kepala lo, gue angep-angep dengernya.

"Left and right gue sejajar, gue netral pokoknya, lo itu yang harus hati-hati, ini peringatan yang kesekian kalinya dari gue, harus segera lo proses kalau nggak mau lebih sulit kedepannya." kenapa mukanya Cici harus serius banget begitu coba?

"Masa gue sama Shua sih, Ci? Kayak nggak ada yang lain." Tanya gue mulai kepikiran sendiri.

"Yang lain memang banyak tapi namanya jodoh cuma satu." Makin horor gue denger.

AKARAWhere stories live. Discover now