(20)

150 24 3
                                    

"Adek perempuan Bang, Abang nggak bisa samain cara Abang ngasih tahu aku sama ngomong ke Syia." Ulang Abang Han yang membuat gue bangkit dari duduk gue sekarang.

"Justru karena dia perempuan makanya gue ngasih tahu mana yang baik untuk masa depan dia nanti tapi kalau dia udah milih jalannya sendiri, kedepannya kalau dia punya masalah, jangan ngadu ke Bunda, bukan Bunda yang milih pasangan hidupnya, apa ada yang salah dari omongan gue barusan?" Bang Bian terus menegaskan pendapatnya.

"Jadi, andai aku milih pilihan Abang sama Bunda, kalau sesuatu terjadi dalam rumahtangga aku kedepannya, kalian berdua mau bertanggungjawab? Dengan cara apa? Menyalahkan aku yang nggak becus menjaga suami atau menyalahkan aku karena nggak becus jadi seorang istri? Mana satu?" Tanya gue tertawa miris.

"Abang tahu, bukan siapa calonnya yang kalian peermasalahkan karena mau dengan siapapun, dimasa depan kalau rumahtangga aku bermasalah, tetap aku yang akan kalian salahkan, bagi aku hasil akhir nggak akan ada bedanya." Bukannya begini baru bener?

Mau siapapun yang gue pilih itu nggak akan berpengaruh, bukan orang lain yang bermasalah dimata mereka tapi gue, gue yang seakan nggak bisa mereka percaya, memangnya kalau gue menikah dengan pilihan mereka, apa yang bisa mereka lakuin seandainya rumahtangga gue kenapa-napa? Apa yang bisa mereka lakuin?

Satu-satunya hal yang mungkin membuat mereka kesal sekarang adalah kenyataan kalau gue nggak menuruti keinginan mereka berdua, Bunda kesal karena gue menolak pilihan mereka, memangnya kapan mereka pernah setuju dengan keinginan dan pilihan gue sendiri? Nggak pernah.

"Keras kepalakan kalau dikasih tahu? Kalian berdua itu sama." Bang Bian terlihat sangat kesal.

"Aku dateng kemari mau minta maaf, aku mau Abang tahu kalau apapun pilihan aku sekarang, pendapat Abang itu penting, aku bukannya nggak menghargai pendapat dan usaha kalian, aku tahu Abang sama Bunda mau yang terbaik untuk aku tapi aku juga berhak milih apa yang menurut aku lebih baik, ya mungkin kedepannya nggak semua hal akan berjalan mulus tapi apa nggak bisa Abang ikut bahagia sama aku sekarang?" Aku nggak nuntut banyak hal lagi.

Bang Bian sama Bunda bisa ikut bahagia sama gue sekarang aja itu udah cukup, lagian kedepannya apapun masalah yang gue hadapi sama Kak Shua, gue nggak mungkin ngadu sama orang tua jugakan? Gue juga tahu batasannya gimana, nggak semua hal bisa gue omongin sama orang lain apalagi masalah rumahtangga, gue nggak sebodoh itu.

"Jadi kalian berdua bisa berhenti berdebat, bukan itu yang aku mau." Gue dateng mau memperbaiki hubungan gue sama Bang Bian bukan mau nambah masalah, ketimbang denger mereka berdua berdebat, mending gue keluar sekarang, bukannya adem tapi makin panas.

"Tumben kamu berani ngomong kaya barusan Dek." Tanya Abang Han yang ternyata ikut nyusulin gue keluar dari kamar Bang Bian.

"Abang juga satu, udah tahu Bang Bian memang begitu, terus yang Abang ikut marah disana kenapa?" Ini yang nggak habis gue pikir, padahal udah gue bilang, gue bisa nahan sikapnya Bang Bian jadi jangan diambil hati.

"Kalau Abang nggak ngomong kaya gitu, kamu cuma bakalan senyam-senyum denger semua omongan nggak masuk akalnya Bang Bian? Kamu pikir selalu nahan diri itu baik? Senyuman kamu itu beneran berhasil nipu Bang Bian makanya dia selalu menganggap kalau kamu beneran bahagia, dia pikir kamu nggak keberatan sama omongannya, itu salah Dek." Abang Han bahkan narik lengan gue sekarang, kalau udah kesal sama gue ya memang begini.

"Jadi Abang juga mau ikutan kesal sama aku? Mau marah sama aku?" Dan tatapan Abang Han langsung berubah, senyuman gue mungkin berhasil nipu Bang Bian tapi enggak dengan Abang Han, senyuman gue malah membuat dia semakin khawatir.

"Bukan gitu, Dek." Lengan gue yang barusan di tarik sekarang malah diusap-usap sama ni orang, udah gitu muka bersalahnya lucu banget lagi, padahal nggak ditarik keras juga, cuma ditahan biar nggak gue tinggal pergi pas lagi diomelin aja.

"Terus apa? Abang kesal kenapa jadi?" Tanya gue serius, padahal dalam hati udah mau ketawa lepas.

"Tadi Abang beli barang terus harganya itu_"

"Mahal? Udah Abang minta kasih murah belum? Kan kata-kata legend Abang itu." Potong gue tertawa lepas, ya abisan kalau bukan tentang harga, Abang Han bisa kesal karena apa lagi? Barang rusak, minta tukar, kalau nggak boleh tukar minta kasih murah, bilang barang cacat.

"Udah dikasih murah, dipotong 50 ribu kan lumanyan juga, tapi bukan itu yang jadi masalah, Abang beneran nggak mau kamu selalu nahan diri, berapa kali lagi harus Abang ingetin itu sama kamu."

"Mungkin seumur hidup, lagian Abang juga jangan kebanyakan mikir, aku beneran nggak papa, udah biasa, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri." Kan memang begini selalu, ya memang senyum dan tawa gue belakang banyak yang palsu tapi bukan berarti yang nyatanya nggak ada.

"Kalau untuk seumur hidup terus gunanya Joshua apa?" Haha, mukanya Abang Han sekarang beneran bikin gue ngerasa bahagia sekaligus sedih juga.

"Bang! Boleh minta peluk nggak?" Tanya gue menatap Abang Han berkaca-kaca, ini ni yang namanya punya mental rada labil tapi percayalah, banyak orang diluar sana yang kaya gue juga.

"Hah? Mendadak? Kenapa?" Abang Han nanya tapi tetap merentangkan tangannya, gue tersenyum dengan mata berkaca-kaca dan berbalik memeluk Abang Han sekarang.

Gue punya dua Abang tapi entah kenapa, Abang Han sangat-sangat berarti bagi gue, dari dulu, Abang nggak pernah mengabaikan gue, nggak pernah mengabaikan bukan berarti selalu ada dipihak gue, ada kalanya gue beneran bersalah dan Abang Han beneran marah.

Marahnya Abang Han adalah marah yang akan gue rindukan, setiap kali Abang Han marah dia punya alasan yang jelas, Abang Han mendidik dan memanjakan gue dengan caranya sendiri, kasih sayangnya yang berhasil membuat gue bertahan disaat tersulit.

Ya mungkin kedepannya bakalan ada Kak Shua juga tapi itu semua nggak akan mengubah masa lalu, Abang Han pernah menjadi laki-laki terpenting dalam hidup gue dan akan selamanya kaya gitu, membayangkan gue akan menikah dan mempunyai laki-laki lain sebagai tempat gue pulang membuat gue sedikit bersedih, gue takut kehilangan kasih sayang Abang Han.

"Bang! Kalau aku udah nikah, Abang masih akan selalu sayang sama akukan? Masih boleh minta pelukkan? Masih boleh minta uang jajankan?" Gumam gue lirih, gue beneran sedih sekarang.

"Kamu sedih apa mau ngajak Abang becanda Dek? Pertanyaan bodoh kamu sekarang berasal dari otak sebelah mana lagi?" Abang Han malah balik nanya sama gue, udah gitu tawa tertahannya beneran kedengeran sekarang.

"Mana ada Abang yang nggak akan sayang lagi sama Adeknya cuma karena udah nikah? Pikiran kamu kadang errornya keterlaluan." Malah ngatain gue error.

"Setelah menikah kamu memang istrinya Joshua tapi selamanya kamu Adiknya Abang, dasar bocah." Tawa Abang Han terdengar jelas sekarang.

AKARAWhere stories live. Discover now