(9)

122 27 9
                                    

"Dek, kamu pulang sama Joshua aja nggak papakan?" Tatapan gue yang awalnya santai langsung berubah menatap Abang nggak percaya, Abang Han beneran nyuruh gue pulang berdua sama Shua doang?

"Kenapa gitu? Abang yang ngajak keluar ya Abang yang nganterin pulang." Gue keluar karena siapa?

"Yang butuhkan Joshua, Abang mah juga korban, udah jangan banyak tanya, kamu pulang sama Shua, Abang ada urusan lain, udah ditungguin juga."  Dan sayangnya Abang Han keliatan beneran serius jadi gue nggak bisa ngomong apapun.

"Dek! Kamu denger nggak?" Abang Han ngusap kepala gue sekilas.

"Heum iya denger, udah sana, Abang Hati-hati, dasar ngeselin." Gue mendorong tubuh Abang Han pelan supaya langsung jalan, udah sana sebelum gue berubah pikiran.

"Gue nitip lagi, jagain sama anterin sampai rumah, harta karun keluarga gue ini, satu-satunya." Abang Han malah ngomong begini ke Shua, udahlah jangan tanya ekspresi Shua sekarang, mau ketawa kayanya, udah gitu kata-kayanya nitip lagi pula katanya.

"Amanahnya gue terima." Dan mereka berdua malah ngelawak, dasar duo gila.

Setelah Abang Han jalan, gue juga langsung putar arah berjelan lebih dulu ke arah parkiran, walaupun nggak gue lirik tapi langkah Shua terdenger jelas mengikuti gue dari belakang.

"Awas hati-hati." Shua narik lengan gue karena nggak sengaja hampir nubruk belanjaan orang.

"Kamu mau mampir ke tempat lain dulu?" Shua lagi-lagi buka suara, gue menggeleng cepat dan melanjutkan langkah gue dalam diam.

Walaupun gue kenal Shua udah lama tapi ini beneran pertama kalinya gue diantar pulang dan cuma berdua, biasanya juga rame jadi kalau sekarang suasannya sedikit canggung ya wajar.

"Stop! Kamu mau kemana?" Tanya Shua begitu gue siap masuk ke mobil.

"Masuklah, nggak mungkin mau lo tinggalkan? Gue aduin sama Abang ni." Jangan aneh-aneh sampai mau ninggalin gue diparkiran begini, gue bikin laporan sama Abang Han tar, coba aja.

"Duduk didepan, aku bukan sopir." Muka kaget Shua keliatan jelas, gue sendiri juga langsung pasang muka memelas berharap Shua ngebiarin gue duduk dibelakang tapi tatapannya nggak ada pengertian sama sekali, gue tetap harus duduk di depan.

"Aku nggak makan orang, sabuk pengaman." Gue tersenyum sinis dan mulai duduk dengan tenang, mengeluarkan handphone buat nyari pengalihan lain, apapun asal bukan natap Shua.

"Boleh aku nanya sesuatu?" Mata gue langsung membulat sekarang, ini gue yang salah denger atau memang gagal fokus sendiri, barusan Shua ngomong sama guekan? Nanya sama guekan?

"Mendadak?" Tanya gue balik.

"Turun!" Dan gue langsung makin kaget sama ekspresi Shua.

"Satu pertanyaan harganya 500 ribu, apaan?" Kalau nggak mau diturunin di jalan, harusnya gue sadar diri segera, lagian cuma nanya doang.

"Kamu punya pacar? Temen dekat?" Dan ini adalah pertanyaan Shua, handphone gue bahkan sempat jatuh kepangkuan sangking kagetnya sama ini pertanyaan.

"Kak! Lo sakit? Mendadak gitu lo nanya kaya gini? Mau gue punya pacar atau enggak, sangkut pautnya sama lo apaan?" Anehkan? Gue rasa, gue sama Shua belum sedekat itu sampai bisa membahas masalah pribadi kaya gini.

"Ya nggak papa, cuma tanya, aku denger dari Han, katanya kamu mau dijodohin." Mulut Abang Han kenapa ember banget coba? Harus gue apain Abang gue yang satu itu?

"Ember banget tu orang perasaan." Gumam gue tapi berhasil membuat Shua menyunggingkan senyumannya lagi.

Harus gue akui, untuk sesaat gue terpaku dengan senyumannya, lagian perasaan Shua senyumnya gampang banget, kenapa Cici bilangnya malah Shua orangnya terlalu cuek? Ini yang salah penilaian siapa?

AKARADonde viven las historias. Descúbrelo ahora