(10)

133 20 9
                                    

Sesuai permintaan Abang Han, Shua nganterin gue sampai depan rumah dan langsung pamit pulang, gue juga udah bisa bernafas lega karena setidaknya kecanggungan gue nggak berlangsung terlalu lama.

Awalnya gue pikir, turun dari mobil Shua beneran bisa membuat gue bernafas lega tapi nyatanya, masuk ke rumah malah kembali membuat nafas gue tercekat, tatapan Bunda udah sangat menusuk sekarang.

"Kamu kemana aja? Udah nggak izin, jam segini baru pulang." Pertanyaan Bunda yang membuat helaan nafas gue semakin terdengar jelas.

"Bunda tanya kamu ya, Dek! Kamu yang salah, kenapa malah kamu yang keliatan kesal di depan Bunda?" Sambung Bunda bahkan disaat gue belum mengeluarkan sepatah katapun, salam aja belum gue ucapin tapi keseimpulannya udah sangat jelas, gue yang salah.

"Kamu kemana aja jam segini baru tahu pulang?" Ulang Bunda.

"Keluar sama Abang Han, bukan maksud aku pergi nggak izin sama Bunda, karena Abang Han yang ngajak jadi aku pikir Abang udah ngasih tahu." Jelas gue nggak terlalu bersemangat.

Bukam gue mau berburuk sangka, bukan gue menyerah membela diri lebih dulu tapi gue hafal sikap Bunda, apapun penjelasannya, itu cuma formalitas pertanyaan yang harus mendapatkan jawaban, intinya sama, gue yang salah, akan selalu kaya gitu.

"Abang kamu nggak ngomong apapun, lagian kalau memang kamu keluar sama Han, sekarang orangnya mana?" Mendengar jawaban Bunda, gue langsung mikir, Abang Han mungkin lupa, Abang Han adalah orang yang akan selalu membela gue jadi dia nggak akan mungkin sengaja nggak izin sama Bunda.

"Abang punya urusan lain makanya kita misah disana." Jawab gue jujur.

"Dan kamu pulang sama laki-laki lain? Kamu sembarangan banget ya, Dek? Kamu dianter sama siapa tadi? Laki-lakikan? Kalau tetangga kita pada liat, kamu mau mereka mikir apa? Kamu mau mereka mikir kalau Bunda nggak becus ngedidik anak perempuan?" Dada gue makin bergemuruh mendengarkan setiap kalimat yang Bunda keluarkan.

"Aku nggak pulang sama laki-laki sembarangan Nda, aku pulang dianterim Kak Joshua." Gue bahkan menyebut nama Shua dengan sangat sopan sekarang untuk meredam amarah Bunda, apa Shua laki-laki sembarangan di mata Bunda?

"Joshua tetap laki-laki, Bunda nggak pernah ngizinin kamu pulang cuma berdua sama laki-laki lain, tetangga kita bakalan mikir kamu ngelakuin hal aneh-aneh." Bunda terlihat semakin marah.

Lagian kenapa tiba-tiba pendapat tetangga jadi dibawa-bawa? Gue nggak ngelakuin apapun, cuma dianterin pulang dan nggak lebih, memangnya gue bisa ngelakuin hal aneh apa kalau sama Shua? Gue masih paham pahala dosa, Bunda kenapa begitu banget?

"Bunda mikir aku ini gimana? Aku nggak akan ngelakuin hal aneh, lebih-lebih sama sahabat Abang aku sendiri." Gue mencoba memberikan penjelasan walaupun gue tahu pasti, nggak akan ada pengaruhnya.

"Tapi tetap aja, kalau tetangga kita lihat mereka bakalan ngomongin kamu bahkan ngomongin Bunda, harusnya kalau Abang kamu nggak ikut pulang, kamu pulang pakai taksi atau nggak bus kan bisa? Nggak harus berdua sama Joshua." Pemikiran gue terbuktikan?

Abang Han nggak ngizinin gue pulang pakai taksi atau bus sendirian karena khawatir tapi Bunda malah nggak khawatir sama gue, justru yang Bunda khawatirin itu omongan tetangga, Bunda gue terlalu hebat.

"Aku minta maaf." Gue udah menyerah dari awal jadi nggak harus gue perpanjang.

"Kamu giliran dikasih tahu malah mau nyolot, nggak ngerasa bersalah, Bunda ngebesarin kamu udah sampai kaya gini kamu pikir nggak capek? Butuh kesabaran, tapi kamu giliran Bunda kasih tahu, nggak ada sabarnya sama sekali, malah pasang muka malas kaya sekarang, sifat kamu ini nurun dari siapa?" Apa ada yang bisa gue respon?

"Aku nyolot gimana sih Nda? Aku minta maaf ka_"

"Ngejawab omongan orang tua itu nyolot namanya." Potong Bunda cepat sembari nepuk lengan gue cukup keras.

Dalam hati gue udah mau meledak, jemari gue udah mulai gue gepalkan dan hembusan nafas gue mulai berubah, sekarang Bunda bahkan mulai membahas hal tentang membesarkan gue, apa yang udah gue perbuat sampai gue harus mendengarkan kalimat kaya gini?

Sikap gue nurun dari siapa ya mana gue tahu?

"Menikahkan kamu sesegera mungkin memang pilihan paling tepat, Bunda udah ngomong sama temen Bunda, lusa kamu ketemu sama anak temen Bunda, jangan nolak dan Bunda nggak terima alasan apapun." Ucap Bunda tegas, gue diam nggak memberikan respon apapun.

"Udah masuk ke kamar sana." Bunda bahkan mendorong tubuh gue pelan yang membuat nafas gue semakin tercekat, air mata gue siap tumpah sekarang.

Nggak nunggu lama, gue langsung berbalik dan berjalan masuk ke kamar dengan mata berkaca-kaca, katakanlah gue salah karena nggak izin sama Bunda dan pulang dianter sama Shua yang notabenya laki-laki, tapi apa harus  Bunda sampai ngomong kaya tadi?

Gue memang udah sering diomelin, dituduh dan dianggap remeh tapi makin lama gue makin nggak tahan, gue takut kalau gue selalu nahan diri, yang sakit malah gue, mungkin omongan Bunda paling bener, nikah sesegera mungkin bukan masalah, gue belum lulus kuliah siapa peduli, yang terpenting gue lulus dari rumah, itu lebih penting untuk kesehatan gue.

Masuk ke kamar dan langsung membaringkan tubuh gue diranjang, gue udah nggak sempat mikirin apapun lagi, badan gue lelah, energi gue habis dan barusan Bunda menghabisi isi kepala gue juga, gue cuma nemenin Abang gue keluar tapi reaksi Bunda malah kemana-mana? Dari lahir sampai sekarang gue masih bisa bertahan dengan sikap Bunda itu udah sangat luar biasa.

"Lo hebat Sya, semangat, nikah sesegera mungkin." Gue ngomong kaya gini ke diri gue sendiri sambilan mengusap air mata gue cepat, gue cuma bisa nangis dalam diam, seandainya tangisan gue mengeluarkan suara, bukannya tenang tapi gue akan mendapatkan masalah baru.

"Pletuk!" Masih dengan air mata menetes, gue membuka pesan chat yang masuk dan ternyata dari Cici sama kedua Abang gue, gue membalas pesan chat Cici lebih dulu yang nanya gue kemana aja? Bunda nelfon dia tadi katanya.

Setelah pesan chat Cici, gue beralih dengan pesan chat Bang Bian, Bang Bian nggak cuma ngirim gue pesan spam tapi banyak panggilan tak terjawab juga, kebetulan handphone gue dalam mode hening jadi gue nggak sadar, semenjak ngobrol sama Shua, gue memang nggak perhatian sama handphone lagi.

Bang Bian nanya gue ngelakuin kesalahan apalagi? Abang bilang kalau Bunda nelfonin dia terus dan ngeluh tentang gue, sampai ke pekara Shua nganterin gue pulang aja sampai informasinya, gue bisa ngomong apalagi, gue memilih untuk mengabaikan pesan chat Bang Bian sekarang, mau ikutan marah ya silahkan.

"Kenapa Bunda sama Bang Bian nggak pernah ngertiin gue?" Tanya gue terisak.

Beralih dengan Bang Bian, gue berniat membalas pesan chat Abang Han yang nanya gue udah dirumah apa belum? Abang Han minta maaf karena lupa ngabarin Bunda kalau gue keluar sama dia, paling nggak Abang Han selalu adil dan nggak memihak, begitu gue berniat membalas pesan chatnya, panggilan masuk dari Abang Han lebih dulu.

"Dek! Kamu nggak papa? Bunda nelfon Bunda sambilan marah-marah barusan." Tanya Abang Han dari seberang, gue mendengarkan pertanyaannya tadi gue nggak bisa memberikan jawaban apapun, gue nggak mau Abang Han tahu gue lagi nangis kaya gini.

"Dek! Abang tanya kamu." Gue masih diam.

"Abang pulang sekarang, jangan nangis lagi, kunci pintu kamar dan jangan buka pintu kamar untuk siapapun." Gue bergumam mengangguki ucapan Abng Han, Abang selalu minta gue kunci pintu kamar kalau Bunda lagi marah dan itu nggak terkendali, bagusnya adalah, Abang Han punya kunci cadangan kamar gue juga.

Masih dengan panggilan yang tersambung, pandangan gue mulai mengabur dan beberapa detik kemudian, semuanya menggelap.

AKARAWhere stories live. Discover now