(12)

146 26 7
                                    

Syia Point Of View.

"Kenapa semuanya pada mau nginep disini? Udah nggak usah, aku sama Abang Han aja." Pinta gue cukup jelas dan gue harap semuanya bisa ngerti, gue cuma butuh Abang Han sekarang.

Kalau boleh jujur, bukannya gue menganggap anggota keluarga gue yang lain nggak penting tapi dalam keadaan gue sekarang, gue butuh waktu sendiri tapi sendirian ditempat kaya gini juga nggak mungkin, jadi semakin sedikit orang itu jauh lebih baik dan kalau gue harus memilih satu orang untuk nemenin gue tinggal, harus Abang Han orangnya.

"Kalau gitu Ayah sama Bunda pulang dulu, kamu jangan mikirin apapun, istirahat yang cukup." Kali ini Ayah yang mengiakan permintaan gue, raut wajah Bunda sama Bang Bian memang keliatan kurang setuju tapi mereka nggak akan bisa berkutik kalau udah Ayah yang ngomong.

"Heum." Gumam gue memaksakan senyuman.

"Han, jaga adik kamu baik-baik, Ayah sama Bunda pulang dulu, ada apapun, langsung kabarin." Mendapat anggukan Abang Han, Ayah menggandeng Bunda keluar dari ruang inap gue sekarang, Bang Bian juga mengikuti langkah mereka setelah mengusap kepala gue sekali.

"Maaf kalau Abang malah marah-marah sama kamu tadi, Abang cuma_"

"Bang! Adek butuh istirahat." Potong Abang Han cepat, seakan paham maksud Abang Han, Bang Bian mengangguk cepat dan keluar dari ruang inap gue juga.

Begitu Ayah, Bunda sama Bang Bian keluar, gue menghembuskan nafas dalam dan berusaha keras nahan air mata gue yang siap tumpah dari tadi, gue menatap Abang Han dengan mata berkaca-kaca sekarang.

"Abang!" Gue merentangkan kedua tangan gue di depan Abang Han, pelukan Abang Han, cuma itu yang gue butuhkan sekarang.

Ada kalanya dalam hidup seseorang, bukan orang tua yang sangat dibutuhkan ketika berada diwaktu terpuruknya, kenapa? Beberapa diantara kita mungkin ngerasain apa yang gue alami sekarang, masalah dan beban terbesar kita bukan berasal dari orang luar tapi itu dari keluarga kita sendiri, orang dalam bisa mematahkan jauh kuat dari pada orang luar dan efeknya juga nggak kira-kira.

Paham dengan keinginan gue, Abang melangkah maju dan memeluk gue erat, mengusap kepala gue untuk menenangkan, gue nggak bisa milih siapa yang lebih gue sayang antara Abang Han atau Bang Bian, gue sayang dua-duangnya tapi saat kaya gini, rasanya gue cukup dengan satu Abang, tanpa sadar, gue sangat-sangat bergantung sama Bang Handra.

"Udah nggak papa." Ucap Abang Han berulang kali masih mencoba menenangkan, gue hanya mengangguk pelan masih dengan tangis yang semakin menjadi, entah kapan terakhir kali gue nangis sesegukan kaya gini? Entahlah, gue terlalu sering hana diri kayanya.

Kadang, menangis bisa menjadi solusi terbaik disaat kata nggak mampu terucap, gue nggak bisa berkata apapun tapi dekapan Abang Han sangat-sangat berhasil menenangkan gue, menangis sesuka hati tanpa takut dimarahi dan dianggap kaya anak kecil sama keluarga yang lain.

Hampir setengah jam gue nangis kaya gini, gue cuma nangis tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Abang juga kaya gitu, terus memeluk gue tanpa mengucapkan apapun, kaya gini aja udah cukup melepaskan dan mengurangi beban gue.

"Dek! Joshua masih di luar, apa harus Abang suruh masuk?" Tanya Abang Han yang membuat gue melepaskan dekapan gue secara perlahan.

"Kak Shua disini? Ngapain?" Gue nggak bisa nutupin keterkejutan gue sekarang.

"Tadi kebetulan Joshua nanya Abang dimana, karena masih panik, Abang ngasih tahu Joshua kalau kamu sakit, kayanya Joshua ngerasa bersalah sampai belum pulang dari tadi." Jelas Abang Han yang membuat gue menghela nafas dalam.

Ini jelas bukan salah Shua dan gue memang nggak nyalahin dia tapi yang gue sesali sekarang cuma satu, kenapa Shua selalu ada disaat terapuh gue? Dia selalu aja muncul kalau gue punya masalah, itu yang nggak bisa gue terima, terlalu banyak kelemahan gue yang Shua tahu sekarang.

"Shua tahu alasan aku berakhir kaya gini ya Bang?" Harusnya Shua tahu, tebak gue sendiri, kalau enggak, mana mungkin dia ngerasa bersalah dan anggukan Abang Han malah bikin gue narik nafas panjang.

"Yaudah suruh Shua masuk, kasian juga diluar sendirian." Udah terlanjur tahu juga, gue nggak harus nutupin apapun lagi, lagian gue juga nggak mau Shua ngerasa bersalah tanpa sebab, ini bukan salahnya dia.

"Ayo masuk." Ucap Abang Han yang masih bisa gue dengar, begitu Shua masuk, tatapannya langsung natap gue aneh, tatapan Shua nggak kaya biasa, nggak ngajak ribut juga.

"Dek! Jelasin kalau bukan salahnya dia." Abang Han tertawa kecil menatap gue sama Shua bergantian.

"Bukan salah Kakak jadi nggak harus ngerasa bersalah apalagi minta maaf, aku nggak akan ngulang ucapan aku asal Kakak tahu." Ini adalah kalimat tersopan yang bisa gue keluarkan sekarang jadi Shua harus langsung paham.

"Kamu sendiri juga harus pintar-pintar jaga kesehatan, jangan selalu nanggung beban sendirian." Balas Shua lembut, nggak ngegas kaya biasa, kalau kaya gini suaranya, Shua keliatan normal banget.

"Dek! Mumpung ada Joshua disini, Abang keluar sebentar ya, beli kopi, biar nggak ngantuk." Izin Abang Han tapi langsung gue tarik lengannya, apaan? Nggak ada ya main tinggal lagi, tar kalau Bunda tahu gue berdua doang sama Shua, masalah baru muncul.

"Sendirian juga nggak papa Bang, dari pada berdua sama Shua lagi tar yang ada kalau Bunda tahu, aku kena lagi juga." Cicit gue ke Abang Han, gue udah parno lebih dulu takutnya tar salah lagi, gue lagi nggak kuat terima perdebatan dalam bentuk apapun.

"Biar gue yang beli, lo disini aja temenin Syia." Tiba-tiba Shua ngomong kaya gini, dengerkah? Tapi gue memang nggak mau berdua sama Shua doang, bagaimanapun dia orang lain.

"Yaudah, gue minta tolong, punya uang nggak lo?" Tanya Abang Han ngeledek kayanya tapi nggak sepenuhnya juga sih, yang mau minum kan Abang jadi kenapa harus Shua yang ngeluarin uang, tadi udah ditraktir juga.

"Kenapa? Lo mau minjem juga? Bunga minjem uang sama gue tinggi." Shua tersenyum kecil dan keluar dari ruang inap gue setelahnya, gue balik menatap Abang Han sekarang.

"Bang! Sahabat Abang itu sebenernya waras atau beneran gila sih?" Tanya gue ke Abang Han nggak yakin, kelakuan Shua beneran diluar predeksi BMKG, bukan cuma susah ditebak tapi memang nggak bisa ditebak.

"Menurut kamu?" Lah gue tanya malah ditanya balik.

"Gila! Orang normal nggak ada yang kelakuannya begitu." Gue benerkan, mana ada yang normal kalau kelakuannya berubah terus, jawabannya nggak ada yang bisa dianggap serius.

"Yaudah gila berarti, dia juga ngakuin sih kalau dia itu gila, kamu nggak usah ngerasa bersalah." Heh? Kapan gue ngomong kalau gue ngerasa bersalah karena nganggep Shua gila? Nggak pernah.

"Abang sendiri juga gila kayanya." Alasan Abang Han sama Shua bisa sahabatan ya karena mereka berdua sama-sama gila.

"Kamu ngatain Abang sekarang? Adik durhaka." Gue langsung tertawa lepas dan kembali merentangkan tangan gue minta peluk, begitu Abang Han memeluk gue tanpa banyak protes, tiba-tiba gue malah mau nangis lagi.

"Jangan nangis lagi, nggak malu itu diliatin sama Joshua? Katanya udah dewasa?" Dan bener aja, Shua masuk disaat gue lagi memeluk Abang Han dengan mata yang berkaca-kaca.

"Abang pikir, nangis terus minta dipeluk cuma boleh dilakuin sama anak kecil? Kalau Abang udah nikah dan istri Abang nangis terus Abang peluk, awas aja, aku liatin." Abangpun mengada-ngada.

"Lah kenapa balik lagi? Dompet ketinggalan atau memang nggak bawa sama sekali?" Tanya Abang Han menatap Shua santai.

"Lo gila?" Jawab Shua menggelengkan kepala.

"Ya terus ngapain?" Gue masih mendengarkan.

"Mau nanya lo mau kopi hitam biasa atau gimana? Memang lo pikir gue mau ngapain? Ngegantiin lo meluk Syia?" Hah?

AKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang