(19)

123 27 1
                                    

"Bang! Lo yakin mau nikah sama perempuan kaya gini? Udah jelas-jelas nerima lamaran orang lain tapi masih mau ketemu sama laki-laki lain juga, nggak salah?" Tanya Jun ke Kak Shua sembari tersenyum sinis, ngeliat kelakuan Jun, awalnya mau gue panggil sopan tapi gue rasa nggak perlu, mulutnya jauh lebih nggak sopan.

"Kalau nggak yakin, nggak akan gue ajak nikah." Jawab Kak Shua santai, sangking santainya, Kak Shua bahkan nggak sadar kalau udah nyeruput minuman bekas gue sekarang.

"Minum aku itu." Gumam gue natap Kak Shua nggak habis pikir, Cici juga satu, ngapain itu handphone diarahin kemari mulu? Lagi siaran langsung?

"Iya bener sih, kalau nggak yakin, nggak mungkin sampai nikung adik sepupu sendirikan Bang?" Sindir Jun terang-terangan tapi kayanya sindirannya salah orang, nggak ada yang nikung siapapun disini.

"Nikung? Memangnya lo pernah jadi siapa gue?" Tanya gue nggak sadar sangking kesalnya, Kak Shua bahkan udah balik natap gue melongo sekarang, gue bisa ngomong apapun bahkan lebih dari ini kalau nggak ingat ini anaknya temen Bunda.

"Wah, bisa marah juga, padahal baru beberapa hari yang lalu aku denger dari Mama kalau anak temennya setuju dikenalin sama aku dan sekarang orangnya malah jadi tunangannya Abang gue sendiri?" Dalam hati gue udah mau neriakin ni orang tepat di depan mukanya tapi gue tahan, sabar, dikit lagi Sya.

"Kemarin dia masih mau dikenalin sama gue tapi sekarang malah udah jadi tunangan Abang, lawakan apa ni Bang? Itu nggak normal." Heum, terusin aja, gue dengarin.

"Nggak normal, otak lo yang nggak normal." Gumam gue kecil, nggak bakalan di denger, gue nggak mau nyari masalah tapi kalau diterusin bakalan ribet kayanya, Jun pikir karena dateng-dateng gue langsung minta maaf jadi dia bisa ngomong seenaknya, jangan salah, gue nggak sekalem itu.

"Terus lo mau gimana? Berantem sama Abang sekarang?" Gue memutar bola mata malas, apa semua persoalan harus diselesaikan dengan adu jotos? Kak Shua pun nanya begitu.

"Kasih gue satu alasan kenapa Abang lebih baik dari gue?" Alasan? Dari segi sopannya aja udah beda jauh, masih nanya alasan Kak Shua lebih baik apa, yang nanya nggak sadar diri.

"Alasannya Abang lebih tua dari kamu jadi biar yang tua nikah lebih dulu." Hah? Senyum gue langsung mengembang sekarang.

"Kakak ngelawak?" Tanya gue masih dengan senyuman, dari sekian banyak alasan yang bisa Kak Shua kasih, malah pekara umur yang dibawa-bawa.

"Enggak, itu memang bener, yang tua jalan lebih dulu." Ulang Kak Shua yakin, seriusan itu alasannya, wah jawabannya nggak ketebak sama sekali.

"Oke, lulus." Lanjut Jun ikut tertawa kecil, ini gimana sih situasinya, tadi ngajak berantem tapi sekarang malah ketawa nggak jelas, mereka becanda sama gue?

"Abang bener, senyum tulusnya cuma untuk orang-orang tertentu." Sambung Jun menatap gue sama Kak Shua bergantian.

"Abang lebih butuh Syia dari pada kamu jadi silahkan mundur teratur." Kak Shua menatap gue sekilas dan nyuruh Jun mundur gitu aja, udah gitu doang.

Gue pikir beneran bakalan ada ribut-ribut tapi ternyata malah jadi aneh begini, Jun duduk penuh tawa tertahan sedangkan Kak Shua duduk tenang sambilan menatap gue sesekali.

"Ini sebenernya gimana?" Tanya gue minta penjelasan.

"Bang Joshua udah ngejelasin semuanya jadi kalau kamu nggak dateng hari ini juga nggak masalah,  tapi katanya Abang, kamu harus tetap dateng, ya aku cuma bisa bantu kaya gini." Jelas Jun menyunggingkan senyuman.

Jadi Jun udah tahu lebih dulu?

"Kalau gitu gue pamit ya Bang, selebihnya lo yang urus, kasih calon istri lo penjelasan tu, mukanya siap ngamuk." Jun pamit gitu aja setelah ngomong begini, gue langsung berbalik arah menatap Kak Shua yang duduk disamping gue dengan cukup tenang.

"Jelasin!" Satu kata gue yang membuat Kak Shua ikut berbalik arah menatap gue.

"Jelasin apa? Sebelum ngelamar kamu ya udah pasti Kakak ngomong sama Jun lebih dulu, gimanapun dia keluarga Kakak, nggak perlu ada ribut-ribut." Jelas Kak Shua tapi gue masih belum puas, masih ada yang kurang dari penjelasannya.

"Terus kalau Kakak udah tahu Jun nggak mempermasalahkan apapun, ngapain Kakak tetap nyuruh aku nemuin dia hari ini?" Pasti ada alasan lain kenapa Kak Shua tetap nyuruh gue ketemu orangnya.

"Bukannya kamu mau nenangin amarah Bunda, Bunda butuh bukti kamu udah ketemu sama orangnyakan? Pulang nanti kamu cukup bilang kalau semuanya udah kamu bicarain baik-baik, Bunda harusnya udah bisa terima." Jadi karena ini? Kak Shua mikirin pendapat Bunda.

"Makasih, udah repot-repot ngurusin masalah aku." Sesal gue tertunduk, belum juga nikah tapi masalah yang gue bawa udah banyak kayanya, terutama masalah Bunda.

"Masalah kamu itu masalah kita, kamu nggak harus nanggung semuanya sendiri, bukannya Han selalu ngomong kaya gini sama kamu?" Gue terdiam untuk sesaat.

Entah kenapa, setelah lamaran Kak Shua, gue ngerasa banyak banget perubahan dari sikapnya, mungkin ini yang dilihat Cici, dia selalu bilang kalau Kak Shua tipekal cowo yang tegas, kalau memang iya, ya iya, kalau enggak ya enggak, kelakuannya aja rada gimana.

Kak Shua juga jadi lebih perhatian, walaupun sikap rada gilanya kadang masih terlihat jelas tapi dalam dua hari ini Kak Shua sangat-sangat membantu gue memperbaiki keadaan, kaya hari ini, gue sama sekali nggak kepikiran rencana begini, ketimbang ribut sama Bunda ya lebih baik temuin langsung.

"Kenapa? Masih ada yang mau kamu tanyain?" Gue langsung menggeleng cepat, udah nggak ada.

"Cici." Gue melambaikan tangan ke Cici minta dia untuk gabung sekarang, kita udah bisa pulang kayanya, lagian badan gue juga belum beneran fit, gue masih harus banyak istirahat, baterai gue belum terisi penuh.

Setelah pamit sama Kak Shua, Cici langsung nganterin gue pulang dan sampainya gue di rumah, gue malah papasan sama Bang Bian yang pulang dari kantor, kayanya ini kesempatan bagus untuk gue ngajak Bang Bian ngobrol.

"Abang! Aku mau ngobrol sebentar boleh?" Gue narik lengan Bang Bian nggak yakin.

"Heum, di kamar Abang aja." Gue langsung mengiakan dan mengikuti langkah Abang masuk ke kamar, begitu Abang meletakkan handphonenya, gue udah nggak karuan, nggak tahu mau mulai gimana.

"Kenapa? Katanya tadi mau ngobrol, yaudah apa?" Abang duduk diranjangnya dan gue ikut duduk di sudut yang berlawanan.

"Abang! Aku minta maaf kalau sikap aku selama ini salah, aku bikin Abang kesal terus, aku nggak bermaksud apapun, aku minta maaf." Mungkin permintaan maaf paling tepat untuk membuka obrolan kita berdua sekarang, terlepas dari salah siapa, gue yang lebih muda jadi gue yang minta maaf lebih dulu.

"Abang juga minta maaf kalau sering marah-marah sama Adek." Gue tersenyum kecil.

"Adek juga tahukan Bunda gimana? Sekarang aja Bunda masih kesal, gimana enggak, kamu yang setuju untuk ketemu sama anak temennya terus kamu juga yang tiba-tiba bilang kalau udah nerima lamaran orang lain, Bunda pasti nggak enak sama temennya." Gue paham, ini juga salah gue.

"Dan sekarang kamu udah milih pasangan kamu sendiri, kamu bahkan secara nggak langsung nolak calon pilihan Bunda jadi kedepannya kalau ada masalah, kamu tanggung sendiri, jangan ngadu ke Bunda, kamu ngerti Dek?" Lagi-lagi gue mengangguk pelan, gue terbiasa dengan cara bicara Bang Bian.

"Bunda mau mencarikan yang terbaik tapi kalau kamu tetap nolak dan milih orang lain, Abang nggak bisa ngomong apapun, udah kamu terima jugakan lamarannya, jadi pendapat Abang harusnya udah nggak penting se_"

"Apa cuma itu yang bisa Abang omongin?" Potong Abang Han yang ikut masuk ke kamar Bang Bian tiba-tiba.

"Abang cuma ngasih tahu Syia, dia harus sadar dengan pilihannya sendiri dan kenyataan yang ada, apa ada yang salah?" Bang Bian nggak mau kalah.

Ck! Nggak salah memang tapi apa menurut Abang sikap Abang sekarang udah bener? Abang lupa kalau Adek yang duduk di depan Abang sekarang itu perempuan? Bukannya ngedoain yang baik-baik tapi malah ngomong nggak jelas." Abang Han menambahi.

"Han! Abang lagi ngomong sama Syia, bukan sama kamu." Suara Bang Bian meninggi.

"Makanya karena Abang ngomong sama Syia jangan samain kaya Abang ngomong sama aku." Abang Han kenapa?

AKARAWhere stories live. Discover now