(6)

158 29 7
                                    

"Nda, katanya cuma syukuran kecil tapi ini kok rame?" Tanya gue udah narik-narik tangan Bunda sekarang, ya gimana enggak, tadi katanya cuma resepsi kecil-kecilan lah sekarang kenapa jadi serame ini?

"Acara resepsi mau sesederhana apapun ya pasti rame Dek, lagian kalau rame kenapa? Nggak papa jugakan? Kan bukan Adek yang nyambut tamunya." Nah kan, ya memang bukan gue yang nyambut tapi nggak kaya gitu juga maksud gue, kalau tahu rame ginikan gue dandan bisa lebih baik, ini gue ke kondangan tapi penampilan ala kadar, diburu-buru soalnya.

"Bunda mah." Nggak usah gue perpanjang kayanya, nggak bakalan menang juga gue kalau udah soal debat sama Bunda, pura-pura lupa diri aja, kalau ketemu orang, anggap aja angin lalu, besok juga nggak bakalan ketemu lagi.

"Yaudah aku duduk disini aja Nda, kalau Bunda mau ketemu atau nemuin temen Bunda, aku nggak ikut." Mendadak gue jadi mager, nggak ada keinginan untuk ikut gabung nyapa temen-temen Bunda.

Mendapat anggukan Bunda, gue bisa sedikit bernafas lega ya paling enggak Bunda nggak maksa gue buat ikut nyapa kenalannya, gue mending duduk disini dan main handphone, begitu Bunda kelar ya tinggal pulang, makan juga udah.

"Ngapain?" Gue yang mendengar pertanyaan kaya gini mengalihkan pandangan dari layar handphone dan langsung membelalak seketika, Shua ngapain disini?

"Lo yang ngapain?" Harusnya gue yang nanya, ngapain Shua dikondangan juga? Tapi nggak ada yang salah juga kalau Shua ke kondangan, pesta resepsi nggak ada keterbatasan gender deh kayanya jadi sah-sah aja Shua hadir.

"Ngapain? Mulung botol bekas minum tamu." Jawab Shua santai, benerkan kata gue, ni orang ngggak waras, gilanya udah cukup parah.

"Oh mulung, nah sekalian punya gue juga." Balas gue dengan tatapan datar, lagi banyak orang juga jadi gue ngga mau berdebat sama Shua sekarang.

Mendengarkan jawaban gue, Shua tersenyum tipis dan mengangguk setuju, gue yang mendapati senyuman Shua malah beralih menatap plester yang ada dipipinya sekarang, apa lukanya separah itu? Apa mungkin karena gue tapi gue yang nggak sadar, gue jadi nggak enak.

"Beneran bukan karena kamu." Ucap Shua tiba-tiba seolah paham maksud tatapan gue sekarang, apa beneran bukan karena gue?

"Tapi itu di muka, kalau karena gue, maaf, gue nggak tahu dan gue nggak sengaja." Udahlah, minta maaf aja udah, siapa tahu memang gue yang salah, karena seingat gue gelasnya pecah karena senggolan tangan gue yang berencana bangun setelah duduk dilantai lama, gue nggak sadar kalau Shua masuk ke dapur.

"Lebih baik kena muka aku tapi pada muka kamukan?" Gumam Shua cepat, hah? Gimana? Apa beneran karena gue?

"Shua! Kak! Aku beneran nggak sengaja." Dan kalimat kaya gini keluar seketika dari mulut gue, beneran karena gue ternyata.

"Kak? Apa Bunda kamu dateng kemari?" Dan Shua malah ngelawak, memangnya kapan gue manggil Kak? Gue nggak sadar dan nggak serius juga manggil dia kaya gitu, gue beneran ngerasa bersalah kalau memang itu karena gue.

"Jangan becanda, gue serius minta maaf sekarang kalau memang itu karena gue." Kalau gue lagi serius apa nggak bisa Shua ikutan serius juga, gue nggak mungkin bersikap kaya kemarin kalau seandainya itu memang salah gue.

"Aku juga serius, bukan karena kamu, jadi balik ke pertanyaan awal, kenapa kamu bisa disini?" Tanya ulang Shua, gue menghembuskan nafas dalam dan menatap Shua masih merasa ada yang nggak beres.

"Mau ikutan mulung." Dasar.

"Udah jelas menuhin undangan, yang nikahan itu anak temen Bunda, lo sendiri ngapain? Beneran mau mulung?" Shua juga belum ngasih jawaban yang bener untuk pertanyaan gue tadi.

"Kayanya beneran harus mulung setelah acaranya selesai, yang nikahan sepupu aku." Shua lagi-lagi tersenyum tipis, perasaan ni orang senyam-senyum mulu, nggak karuan banget kelakuannya tapi ini beneran yang resepsi sepupu Shua? Dunia luas banget.

"Oh, sepupu udah jalan tu, tar lo yang bakalan didesak selanjutnya." Biasanyakan memang begitu, kalau ada saudara yang udah nikah, saudara yang lain pasti bakalan ditanyain kapan nyusul? Dikata nikah itu lomba, pekara susul-susulan.

"Terimakasih untuk doanya, semoga segera dipertemukan dengan calon terbaik." Dan gue cuma bisa memutar bola mata malas sama jawaban Shua, beneran nggak waras ni orang.

"Terserahlah, semoga beneran cepat dateng ya jodohnya, biar ada pawangnya jadi kelakuan lo bisa sedikit terkendalikan." Buruan nikah sana, toh udah lulus juga jadi nggak masalah kalau mau nikah sekarang, siapa tahu ada wanita kurang beruntung yang berhasil jadi pawang orang gila.

"Memang dimata kamu, Kakak segila itu?" Gue langsung mengangguk cepat.

"Penilaian kamu tepat berarti, memang rada gila sebenernya, hidup di dunia jangan waras-waras banget, takut gila beneran." Hah? Shua bener-bener sulit ditebak kelakuannya, dari luar beneran keliatan kalem bak laki-laki idaman seluruh wanita tapi kenyataan, rada sulit diungkapkan.

"Kalau dibawa becanda terus malah dianggap kaya anak kecil, aku udah membuktikan jadi mau waras atau gila sekalipun, dunia memang sesulit itu." Gue sangat-sangat serius dengan ucapan gue sekarang.

"Syiaka Putri, di dunia ini ada banyak cara untuk bahagia, kamu cuma perlu nemuin cara yang tepat." Masalahnya nyari cara yang tepat aja susahnya minta ampun.

"Orang gila dilarang menasehati orang gila lainnya, sesat yang ada." Gue udah angkat tangan.

"Yaudah kamu makan yang banyak, aku nemuin tamu yang lain dulu, salam untuk Bunda." Shua bangkit dari duduknya dan pergi ninggalin gue untuk nyapa tamu yang lain.

Nggak lama setelah Shua pergi, Bunda juga balik untuk ngajak gue pulang, gue ngasih tahu Bunda titipan salam dari Shua juga tadi dan Bunda cuma senyum.

"Nda, yang nikahan hari ini itu anak temennya Bunda yang waktu itu mau dikenalin sama aku bukan?" Tanya gue nggak yakin begitu kita udah di mobil.

"Bukan, anak temen Bunda yang nikah itu perempuan, yang mau Bunda kenalin sama kamu itu saudaranya, kenapa kamu tiba-tiba nanya kaya gini? Apa kamu mulai berubah pikiran? Benerkan kata Bunda, ngeliat orang duduk dipelaminan pasti bikin kamu juga pingin." Hah? Bunda gue ngomong apaan? Ngelanturnya jauh banget.

"Cuma nanya Bunda, lagian mana ada orang sengaja dateng ke acara resepsi nikahan orang cuma untuk punya niatan nikah juga? Bunda ada-ada aja." Gue belum seterdesak itu, kalau Bunda tahu alasan gue mulai nanya kaya gini apa, gue jamin Bunda bakalan kesal dan ngomelin gue.

"Terus kamu nanya untuk apa? Sekarang udah mau dikenalin?" Gue terdiam sembari menimbang, apa nggak masalah kalau gue mengiakan pertanyaan Bunda, nggak ada salahnya, padahal tadi pagi udah yakin banget, setelah ketemu semua bawaannya error lagi.

"Gimana, mau Bunda kenalin atau enggak?" Ulang Bunda nunggu jawaban.

"Boleh deh Nda, hitung-hitung nambah kenalan." Ck, muka gue malu banget sekarang, dasar gue, malu-malu mau.

AKARAWhere stories live. Discover now