(17)

131 23 1
                                    

"Di lamar?" Ulang Bunda memastikan kalau apa yang didengernya barusan itu nggak salah dan gue mengangguk pelan.

"Kamu dengan sadar diri tahu kalau udah di lamar tapi masih bisa setuju untuk nemuin anak temen Bunda, bukan cuma setuju tapi kamu yang nanya duluan lagi, sekarang apa? Kamu selalu aja bikin masalah ya, Dek?" Dan ini adalah reaksi Bunda, gue udah nggak kaget tapi tetap aja sakit rasanya.

"Itu sebelum Shia tahu kalau ada laki-laki yang berniat se_"

"Terus aja belain adik kamu, Bunda nggak mau tahu, pokoknya Syia harus tetap ketemu sama orangnya, kalau sampai batal ditengah jalan, muka Bunda mau Bunda bawa kemana?" Gue masih terdiam tanpa respon apapun.

"Nda! Jangan kaya gini bisakan? Ka_"

"Iya, aku temuin orangnya." Potong gue cepat sembari narik lengan Abang Han, percuma diperpanjang, yang ada emosi Bunda malah semakin menjadi.

Mendengarkan jawaban gue, Bunda berlalu naik ke atas dan gue sendiri juga berjalan lesu menuju meja makan, gue makin haus jadinya.

"Sampai kapan kamu mau nahan diri kaya gini? Abang udah bilangkan? Nggak perlu berusaha terlihat tegar, kamu lupa dokter bilang apa?" Abang Han ngambil posisi di hadapan gue lengkap dengan raut wajah kesalnya.

"Abang nggak lihat reaksi Bunda barusan? Menurut Abang, apa Bunda akan berubah pikiran setelah denger penjelasan aku? Nggak usah Abang jawab." Tanpa harus Abang Han ngasih jawabanpun, gue udah tahu pasti jawabannya.

"Terus kalau kamu setuju untuk nemuin anak temen Bunda, Joshua gimana?" Abang Han nanya lagi, gue menatap Abang Han sekilas dan tersenyum paksa.

"Gimana apanya? Aku udah bilangkan, kalau Ayah sama Bunda nerima lamaran Kak Shua juga, baru aku pertimbangkan, lah barusan, Bunda tahu aku dilamar tapi nanya aja enggak siapa orangnya." Boro-boro gue mikirin gimana Kak Shua, Bunda ngerespon aja enggak.

"Tapi nggak gitu, Joshua udah berniat baik, dia serius sama kamu, harusnya kamu juga bisa menghargai, kalau tiba-tiba kamu nemuin laki-laki lain dan Joshua tahu, kamu nggak mikirin perasaannya?" Gue mau mikirin perasaan Kak Shua tapi gue juga sangat ingin egois sekarang.

"Apa nggak bisa aku cuma mikirin hal terbaik untuk diri aku lebih dulu? Apa aku nggak boleh egois sekali aja?" Gue capek, kalau harus milih antara menenangkan Bunda atau menangkan Kak Shua, gue jelas milih perasaan Bunda.

"Abang tahu ini berat tapi saran Abang, jangan egois untuk seseorang yang udah peduli sama kamu, kalau memang kamu tetap mau nemuin anak temen Bunda, kabarin Shua lebih dulu, jelasin situasi kamu dan Abang yakin, Joshua bisa ngerti jadi dia nggak akan salah paham." Abang Han menghela nafas dalam dan bangkit dari duduknya sekarang.

"Abang masuk dulu, kamu jangan lama-lama dibawah, langsung istirahat." Gue mengiakan ucapan Abang Han dan menatap Abang Han yang mulai menaiki tangga masuk ke kamarnya.

Begitu sendirian, gue memikirkan ucapan Abang Han dan gue rasa, omongan Abang ada benernya, gue bergegas dan balik masuk ke kamar untuk ngabarin Kak Shua, walaupun mungkin Kak Shua kecewa tapi setidaknya Kak Shua nggak akan ngerasa gue tipu.

Setelah menimbang, gue mengirimkan pesan chat ke Kak Shua untuk menjelaskan siatuasinya, kenapa chat? Ya karena gue nggak yakin bisa ngomong langsung, awalnya gue pikir balasan Kak Shua bakalan lama tapi ternyata, gue mendapatkan balasan cukup cepat.

"Yaudah nggak papa, kamu temuin orangnya sesuai mau Bunda, sisinya Kakak yang urus." Dan ini adalah balasan yang gue terima, jangan tanya seberapa lega gue sekarang, paling nggak gue ngerasa kalau satu beban berkurang dari pundak gue.

.

"Dek! Turun dulu, anak orang tua Joshua dibawah." Ucap Abang Han begitu membuka pintu kamar gue dadakan.

"Hah?" Kaget gue sampai hampir keselek angin.

"Hah hoh hah hoh, udah buruan turun, jangan gila dulu, pending." Dengan pemikiran yang mulai wara-wiri nggak tentu arah, gue mengikuti langkah Abang Han turun dan bener aja, sampai dibawah, gue ngeliat orang tuanya Kak Shua lagi ngobrol sama orang tua gue, Kak Shua juga ada.

"Nah ini orangnya dateng, Dek! Ini ada orang tuanya Joshua, mereka datang kemari dengan tujuan ingin melamar kamu untuk Joshua, gimana? Diterima nggak?" Tanya Ayah blak-blakan, gue langsung memutar bola mata kaget, udah nggak tahu berapa banyak kekagetan gue hari ini.

"Ini cincin lamarannya." Cincinnya bahkan udah ada di depan mata gue sekarang.

'Kurang nyata apalagi Syia?' Tanya gue ke diri gue sendiri.

"Kalau menurut Ayah sama Bunda ini yang terbaik, Syia nggak punya alasan untuk nolak lamarannya." Beginikan harusnya jawaban untuk sebuah lamaran?

"Kenapa malah sama Ayah Bunda? Kamu yang bakalan nikah, nanti kalau Bunda yang pilih, kamu nggak setuju, jangan plin-plan, kalau setuju bilang iya, kalau enggak bilang enggak." Sahut Bunda yang entahlah, ditelinga gue malah terdengar sedikit sinis.

"Bunda." Ayah mengusap pelan tangan Bunda.

"Ayah! Lamaran orang tuanya Kak Shua, aku terima." Jawab gue yakin, Abang Han bener, gue harus sedikit lebih berani.

"Alhamdulillah." Dan semua orang yang ada disini terlihat cukup lega, cuma ekspresi Bunda yang belum berubah, terlihat nggak suka.

"Om! Tante! Boleh aku bicara sama Syia sebentar?" Tanya Kak Shua tiba-tiba, hening sesaat sebelum Ayah mengiakan, begitu Ayah setuju, gue langsung bangkit dan ngajak Kak Shua untuk ngomong dihalaman belakang.

"Kakak mau ngomong apa?" Tanya gue buka obrolan.

"Kamu baik? Jangan terlalu ambil hati hal-hal yang bisa jadi beban pikiran, sejauh ini kita berdua baik-baik aja, kedepannya juga akan jauh lebih baik." Kak Shua menyunggingkan senyuman, apa ini cara Kak Shua menyemangati gue untuk sikap Bunda tadi? Gue paham.

Tapi kalau gue ingat-ingat kejadian dari kemarin sore, subuh tadi bahkan malam ini, entah kenapa gue beneran masih nggak percaya, dalam waktu dua hari, hubungan gue sama Kak Shua berubah banyak kaya gini, mikirinnya aja malah membuat gue menyunggingkan senyuman.

"Kenapa mendadak senyum sendiri? Kamu mikirin apa sekarang? Ada yang lucu?" Gue langsung mengangguk cepat, jelas ada yang lucu.

"Heum, aku pikir cuma sifat Kakak yang sedikit gila tapi ternyata kelakuan sama tindakan Kakak jauh lebih gila." Ini yang gue pikirkan sekarang.

"Kamu ngatain Kakak?" Senyum Kak Shua terlihat jelas.

"Bukan, aku ngasih Kakak pujian, lamaran dadakan Kakak beneran diluar dugaan." Muka pucat, nggak ada pakaian yang beneran nunjukin acara lamaran, ini aja pakaian gue seadanya, pakaian Kak Shua juga cukup santai, nggak ada resmi-resminya.

"Kenapa? Apa karena Kakak nggak ngelamar kamu dengan cara romatis seperti pasangan lain?" Heum, gue juga nggak terlalu mengharapkan lamaran yang romatis, cara Kak Shua juga nggak kalah manisnya.

"Hal romatis belum tentu berkesan, lamaran Kakak adalah lamaran terbaik, good." Jujur aja gue malah ikut tertawa kecil.

"Di hari pernikahan kita, Kakak akan menjadikan kamu pengantin tercantik, jadi jangan terlalu kecewa dengan lamaran dadakan kita sekarang, heum." Beneran ini Kak Shua?

"Tolong jangan terlalu manis Kak? Mual jadinya." Denger kata-kata manis kaya gini keluar dari mulut Kak Shua beneran bikin gue merinding plus mau muntah, gue belum terbiasa.

"Kakak belum ngapa-ngapain tapi kamu udah mual duluan?" Hah? Gimana?

"Hah?" Kak Shua mencontohkan ekspresi kaget gue barusan.

"Wah, sulit ditebak memang." Dua jempol gue acungkan untuk Kak Shua sekarang.

AKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang