📖 3.9 All About a Dream

21 5 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


____________________________________

Journal Chaenava
Kota Marmer—2016

Katanya dunia ini ibarat roda yang berputar. Tapi nyatanya dalam duniaku, roda ini hanya diam disatu poros hingga membuatku selalu tertindas beban dan realita pahit kehidupan. Sekalinya aku merangkak naik, dengan mudahnya roda takdirku sendiri yang menghempasnya kembali pada titik terbawah.

Rangkaian kejadian pahit terus berputar bak klise saksi panjang hidup ditengah jeruji penderitaan. Berulang kali doa kuhaturkan pada sang Khaliq, meminta kelapangan hati menjalankan semua ujiannya, meminta pertolongan dalam kesusahan, meminta keringanan atas semua permasalahan, bahkan meminta kebahagiaan untuk kehidupan layak sudah aku ucapkan, tapi sampai sekarang belum juga aku dapatkan.

Apakah ini karma yang aku dapat? Apa ini ganjaran yang pantas aku dapatkan?

Tuhan, ini semua sungguh berat dan tak adil bagiku. Sampai kapan Engkau menghukumku?




“Sayang, makan dulu yuk?”

Suara bariton milik Han terdengar. Buru-buru ku usap air mataku sebelum menatap pemuda yang tengah meletakkan nampan berisi makanan di nakas milikku.

Seperti biasa, untuk kesekian kali Han menginap di rumahku, padahal aku sudah melarangnya dan meminta pemuda itu untuk menjauh atas permintaan ayahnya. Tapi Han kukuh menolak.

Han tau kejadian dimana aku dimarahi ayahnya dan berakhir kena drop out dari kampus yang belum genap satu semester aku jejaki. Entah mendapat info darimana, saat itu Han bergegas ke fakultasku dan memarahi ayahnya karena tindakannya. Tapi Ayah Hannes tetap pada keputusannya.

Meskipun begitu Han tak memperdulikannya, bagi Han aku adalah prioritas dan tanggung jawab yang harus dipenuhinya. Tak peduli ancaman sang ayah, Han tetap setia disampingku.

“Nangis lagi?” tanya Han sembari menarikku untuk duduk disampingnya.

Jujur aku malu terus menunjukkan air mata ini di depan Hannes. Aku tak mau dianggap cengeng, namun sekuat apapun aku menyembunyikan pada akhirnya Hannes pasti tau. Seperti saat ini dengan senyum tipis di bibir, Hannes mengambil lipatan mukena dari tanganku. Kemudian tangannya terangkat untuk menatap wajahku.

“Kalau mau nangis, nangis aja.” dengan lembut ibu jari Han mengusap lelehan air mata di pipiku.

Karenanya aku semakin tak kuasa menahan air mata, aku segera merengkuh tubuh Han dan kembali menumpahkan air mata padanya. “Mimpi aku udah hancur ya Han?”

“Mimpi itu ngga pernah hancur Chae, mati satu tumbuh seribu. Kalau satu mimpimu gagal, kamu masih bisa bermimpi dan mewujudkannya lagi.”

“Tapi aku capek buat bangun mimpi itu lagi.”

MATRIS JOURNAL | Han Jisung x Lee ChaeyeonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang