05

165 11 0
                                    

Dari pulang sekolah sampai jam makan malam aku masih mengurung diri dalam kamar.

Suara notifikasi handphoneku yang beruntun itu ada lah suara notifikasi uang masuk. Hehe..

"Leona!" Panggil kak Sean membuatku menoleh ke arahnya dan langsung menutup laptopku dengan cepat.

Kak Sean mengernyitkan keningnya sambil menatapku curiga.

"Lagi apa?" Tanya kak Sean dengan tatapan penuh curiga.

"Tidak ada." Jawabku singkat lalu segera bangun dari posisi tengkurapku tadi.

Aku mendorong kak Sean sambil menuju ke ruang makan.

"Hei! Kasih tahu kakak tadi kamu lagi apa?" Tanya kak Sean.

"Tidak ada kakaknya Leona tersayang~" jawabku dengan mendayu masih dengan posisi mendorong kak Sean.

"Kamu tidak mau kasih tahu kakak ya?" Tanya kak Sean masih dengan pendiriannya.

"Tidak, karena itu rahasia Leona." Jawabku.

"Kalian kenapa?" Tanya papah.

"Ini pah, kak Sean bertanya terus apa yang Leona lakukan di kamar." Jawabku dengan bergelayut manja di lengan papah.

"Kakak ini ya.. Selalu ingin tahu apa yang dilakukan adikmu. Biarkan adikmu dengan privasinya." Tegur mamah membuatku mengangguk setuju dengan perkataan mamah.

"Mamah benar Sean. Biarkan adikmu dengan privasinya sendiri. Setiap orang pasti punya privasinya." Nasehat papah.

"Ahh.. baiklah-baiklah.. maafkan kakak ya adik kecil." Kata kak Sean sambil mengelus rambutku.

Kita berempat makan dengan tenang dan melontarkan pembicaraan-pembicaraan hangat.

"Oh iya! Leona, tadi ada paket datang atas namamu. Itu untuk apa Leona membeli sepeda listrik? Padahalkan bisa bilang ke papah kalau mau sepeda listrik." Kata papah membuatku hanya menyengir.

"Leona beli untuk memudahkan Leona saja, pah. Kali saja Leona mau ke minimarket di depan komplek hehe.." kataku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"Kalau kak Sean tidak bisa mengantar Leona nanti. Leona kan bisa pakai sepeda listrik untuk berangkat sekolah." Lanjutku.

"Oh benar juga, kakak lupa bilang kalau besok kakak tidak bisa mengantarmu berangkat sekolah. Karena kakak pagi-pagi sekali ada pekerjaan di rumah sakit." Kata kak Sean.

"See? Benarkan apa yang Leona bilang?" Tanyaku dan hanya dijawab dengan anggukan oleh keluargaku.

"Tapi, darimana Leona mendapat uangnya?" Tanya mamah.

Oh iya juga, kenapa tidak terpikirkan sampai sana?

"Dari tabungan mah.. hehe.." jawabku ragu.

Pasti mereka curiga padaku. Ini saja tatapan mereka mulai curiga padaku.

Baiklah, aku akan jujur saja.

"Hm.. sebenarnya Leona kerja sampingan.." kataku pelan.

"Kerja apa sayang? Padahal keluarga kita sangat berkecukupan." Kata papah.

"Sebentar pah."

Aku berlari ke kamar untuk mengambil handphoneku yang masih masuknya notifikasi beruntun.

Aku kembali ke tempat dudukku sambil mengetik di handphoneku. Lalu memperlihatkan layar handphoneku pada mereka.

Papah, mamah, dan kak Sean mendekat untuk melihat layar handphoneku. Reaksi mereka sangat membuatku ingin tertawa terbahak-bahak sekarang.

Mereka melongo dan melototkan mata mereka bersamaan dengan banyaknya notifikasi dan nominal-nominal dari notifikasi tersebut.

"Leona bekerja sebagai hacker." Jelasku membuat mereka serempak menatapku tak percaya.

"Bagaimana bisa?" Tanya mereka serempak.

Aku hanya menggedikkan bahuku lalu melanjutkan makanku.

"Sekarang berapa isi tabunganmu sayang?" Tanya papah.

"100 miliar, pah." Jawabku enteng.

BRAKK!

Aku terkejut saat kak Sean memukul meja.

"Tidak bisa.. ini tidak bisa.. bagaimana bisa adikku lebih banyak uang daripada aku sendiri?" Kata kak Sean sambil memijat pangkal hidungnya.

"Otak adalah bisnis, kak." Kataku menjawab pertanyaan kak Sean.

Mereka semua menggelengkan kepala tanda tak bisa berkata-kata lagi.

"Ternyata sehabis adik terjun dari lantai dua otaknya menjadi pintar." Kata kak Sean.

Aku hanya menggedikkan bahu lalu melanjutkan suapanku yang sempat tertunda tadi.

Transmigrasi LeonaWhere stories live. Discover now