Mainan

389 19 0
                                    

'Terimakasih September, telah memberikan canda tawa dengan akhir yang tak terduga'

-Danniela Allana-

***

Pagi ini Allana tidak langsung pergi ke sekolah seperti hari biasanya. Terlebih dahulu dirinya ikut menghadiri persidangan kedua orang tuanya untuk menjadi saksi.

Dibantu Daegar, Allana bisa mendapatkan izin selama 3 jam, dan dia akan kembali ke sekolah pada pukul 10.00 tepat jam istirahat tiba.

Dengan jantung yang terus berdegup kencang, dirinya duduk di kursi yang berada di dalam ruangan dingin itu. Matanya menajam menatap lurus kedepan.

Papanya tengah duduk sendirian di depan sana menghadap kearah hakim dan jaksa. .

Sampai akhirnya hakim itu mengetuk palu sebanyak 3 kali, mengisyaratkan kalau sidang telah selesai. Tidak ada harapan lagi yang Allana gantungkan kepada kedua orang tuanya, dari keduanya tidak ada yang mengalah dan kekeh untuk berpisah.

Keduanya masih meninggikan egonya masing-masing tanpa memikirkan dampak bagi kedua anaknya. Namun Allana juga tidak bisa menyalahkan Mama ataupun Papanya. Pada dasarnya semua orang punya pilihan masing-masing dalam perjalanan hidup mereka, semua manusia punya titik terlemahnya. Mungkin saat ini kedua manusia yang hari ini sudah habis masanya telah mencapai rasa sakit yang paling menyakitkan, karna itu mereka memutuskan untuk mengakhiri semuanya.

Allana menunduk dalam diam, dari bawah sana Allana dapat melihat siluet lelaki yang mendekat kearahnya. Tanpa berniat menatap seseorang yang kini sudah dipastikan berada dihadapannya, Allana dapat menebak karna ia sangat hafal dengan sepatu pantofel hitam mengkilat itu.

Pria itu berlutut di depan Allana, men—sejajarkan tubuhnya dengan anak perempuannya. "Maaf sayang, papa sudah gagal. Papa sudah gagal menjadi papa yang baik buat adek sama abang." Ucapnya melirih, dengan tangan yang menggenggam jemari Allana dengan hangat.

Allana perlahan melepas pautan jemarinya dari genggaman tangan Tian. Tanpa menjawab, tanpa menatap, tanpa melirik Allana beranjak dari duduknya dan menjauh dari pria paru baya yang saat ini terdiam di tempat menatap Allana nanar.

Daegar yang berdiri di samping Tian, menghela nafasnya panjang. Ia sangat tahu sehancur apa Allana sekarang. Ia juga tidak bisa menebak sehancur apa papanya saat ini.

Selama 3 tahun Allana menahannya, tiga tahun Allana hidup di tengah-tengah pertengkaran kedua orang tuanya. Selama itu Allana menjadi satu-satunya saksi kedua orang yang seharusnya melindungi Allana malah justru mempertontonkan yang seharusnya tidak di tunjukan kepada anak perempuan mereka.

"Jagalah adikmu, papa akan tetap menjadi papa kalian. Papa akan sesering mungkin datang menemui kalian berdua." Ucapnya sembari mengusap bahu Daegar.

Tangan Daegar terangkat, mengusap punggung tangan Tian. "Allana tidak membenci papa, dia bersikap seperti itu karna dia butuh waktu untuk menerima semuanya." Ujarnya dan Tian mengangguk paham.

"Papa mengerti nak."

Daegar mengangguk, "Egar susul Allana dulu. Dia masih harus ke sekolah." Pamitnya.

"Tunggu!" Daegar menghentikan langkahnya, menatap kembali pria dibelakang punggungnya.

"Kamu jangan tinggal lagi di apartemen, temani adikmu di rumah. Rumah itu papa berikan untuk kalian berdua."

Daegar hanya mengangguk, setelahnya ia berjalan kembali melanjutkan langkahnya untuk menyusul Allana yang pastinya sudah berada di parkiran mobil.

______

SECRET ADMIRERWhere stories live. Discover now