BAB 10 Perasaan Nina

7 0 0
                                    

“Kira-kira apa yang sedang mereka bicarakan, ya?”

Gumaman Nina membuat Rosella berhenti mengunyah sesaat untuk meliriknya. Dayang yang usianya tak sampai setahun lebih muda darinya itu tengah menunduk sambil memainkan stew daging rusanya. Dari nada suaranya, sepertinya ia tidak begitu bersemangat.

“Siapa kita berani mempertanyakan momen pribadi mereka? Jangan cemas, Nina. Putri kita adalah orang paling baik di kerajaan ini. Pangeran Aldrich pun tak terlihat buruk,” balas Sophia sambil menyendoki kuah stew dari mangkuknya.

"Aku tahu. Hanya penasaran. Jarang-jarang Pangeran Aldrich makan di sini. Tidakkah kalian ingin makan satu meja dengannya sekali saja?”

“Hal itu dapat meningkatkan status sosial kita,” Sophia mengangguk dengan tampang tak peduli, “tapi bagiku, melayani Putri masih lebih baik.”

Mendengar itu, wajah Nina berubah masam. “Ugh, tak ada gunanya bicara dengan orang keras kepala sepertimu.”

“Enak saja, dasar gadis dimabuk cinta yang melupakan tuannya sendiri.”

“Apa katamu?!”

“Hei, sudah jelas kau jatuh cinta pada Pangeran. Kau selalu antusias setiap kali ia datang ke sini. Kau seperti lupa bahwa kau adalah dayang yang mengabdi pada Putri.”

“Itu tidak benar!”

“Hah! Aku tidak percaya.”

Rosella menyantap hidangan sambil mengawasi kedua rekannya berdebat. Setelah bertahun-tahun hidup bersama mereka, ia telah belajar bahwa akan lebih baik jika ia mengabaikan mereka daripada menghentikan mereka. Jika ia mencoba menghentikan, mereka akan menuduhnya berpihak pada salah satu dari mereka meskipun sebenarnya ia tidak memihak siapa pun. Jika itu sampai terjadi, bukan hanya ia akan terseret dalam perdebatan mereka, perdebatan mereka juga bisa jadi semakin parah. Karena itu akan lebih baik jika ia membiarkan mereka. Mereka akan berhenti dengan sendirinya.

Saat ini, mereka bertiga sedang menikmati makan malam di ruangan lain sementara sang putri tengah menikmati jamuan makan malam bersama sang kakak di ruang makan utama. Menu makan malam mereka disamakan dengan menu jamuan sang pangeran untuk memudahkan pelayan istana dan meminimalisir kekeliruan dalam pelayanan terhadap tamu sang putri. Meskipun begitu, bukan berarti tak ada satu pun yang boleh meminta menu lain. Selama para juru masak mampu memenuhi permintaan mereka, mereka diperbolehkan memesan hidangan lain pada saat jamuan berlangsung. Yang penting, hidangan untuk sang putri dan tamunya tidak terganggu.

Tapi tentu saja, tidak ada di antara mereka bertiga yang gila sampai-sampai meminta agar menu mereka diganti pada saat jamuan berlangsung. Di kalangan bangsawan Mornatir, perilaku tersebut dipandang tercela karena menyia-nyiakan hidangan yang sudah ada dan disepakati dari awal kecuali jika ada alasan masuk akal di baliknya, misalnya saja hidangan tersebut telah terkontaminasi atau dapat mengancam kesehatan.

Melihat kedua rekannya beradu mulut, Rosella tak bisa tidak merasa terharu. Sebelum kembali ke masa lalu, sudah cukup lama ia tidak berjumpa dengan mereka, apalagi mendengarkan debat seru mereka. Setelah Vivianne menikah, Sophia pergi mengikuti sang putri sementara dayang-dayang lainnya kembali ke rumah masing-masing, termasuk Nina dan dirinya sendiri. Ia merindukan Sophia yang loyal dan berpendirian keras. Ia kangen pada Nina yang supel dan berjiwa bebas. Ia tak menyangka ia begitu rindu pada kedua temannya yang kepribadiannya sangat berlawanan. Memang ada kalanya perbedaan mereka terasa menyebalkan; mereka bisa berdebat panjang hanya untuk hal sepele, namun kali ini, Rosella merasa bahagia karena bisa bertemu lagi dengan mereka, kembali berada di tengah-tengah perdebatan mereka.

Debat mereka kali ini juga mengingatkan Rosella pada satu hal yang telah lama dilupakannya: perasaan Nina pada sang pangeran.

Dulu pun sudah bukan rahasia baginya dan Sophia bahwa rekan termuda mereka memendam rasa pada kakak sang putri. Mudah bagi Nina untuk jatuh cinta pada pangeran yang dibesarkan rakyat jelata karena tak hanya ia masih muda dan naif, status kebangsawanannya yang rendah juga tidak menghalangi perasaannya. Ia cuma putri seorang baron yang lahir sebagai rakyat biasa. Sepupu-sepupunya bukan bangsawan. Ditambah dengan jiwa bebasnya yang tidak peduli pada dinding status sosial, bukan hal sulit baginya untuk jatuh hati pada seorang pangeran berlatar belakang rakyat jelata yang cerdas, tampan, dan memperlakukan adik perempuannya dengan baik.

The Princess is a TransmigratorWhere stories live. Discover now