TPMB - 19

1.7K 41 6
                                    

Vote!!!

Hehehe

*

Beberapa hari berlalu setelah Hana dan Murni bicara soal Bram. Gadis itu benar-benar menjaga jarak dengan Bram. Setelah kuliahnya selesai, ia langsung mengurung diri di kamar. Malam-malam panjangnya Hana habiskan untuk menangisi Bram.

Hana benar-benar tidak berselera menghadapi hidupnya setiap hari. Menjaga jarak dengan orang yang Hana cintai tentu membuat gadis itu merasa kosong.

Tangisan Hana bahkan bukan karena menyesal keperawanannya telah hilang. Justru gadis itu menyesal kenapa ia justru bersaudara dengan pujaan hatinya.

Ia tidak menyesali sudah menjatuhkan hatinya untuk Bram. Bahkan Hana sangat berterimakasih kepada Bram karena sudah memberikan hari-hari yang menyenangkan dari Hana kecil hingga tumbuh dewasa sekarang.

Cinta sudah membutakan akal sehatnya. Apa pun akan Hana usahakan hanya untuk tetap bersama Bram. Namun meskipun berhari-hari ia berdiam diri di kamar, ia malah tidak menemukan ide apa-apa.

Hingga saat lamaran Bram akan dilaksanakan pagi ini. Hana terpaksa turut serta dalam acara yang membuat hatinya semakin sakit. Eyang memaksa Hana ikut karena acara lamaran ini hanya dihadiri oleh keluarga inti.

Ia berusaha untuk tidak bicara dengan siapa pun agar wajah sembabnya tidak di ketahui orang lain. Berkali-kali Hana menyeka air matanya dengan sembunyi-bunyi. Ini jauh lebih sakit daripada saat Bram meninggalkannya begitu saja di atas ranjang saat mereka melakukan adegan ranjang.

"Kalau kamu nangis terus, orang-orang akan mengira kamu mantan pacar Bram yang nggak rela lihat Bram sama cewek lain." Bisik Ifa. Kakaknya itu datang pagi-pagi khusus untuk menghadiri pertunangan Bram.

"Aku emang nggak rela." Balas Hana tak kalah pelannya.

"Ck, udahlah dek. Kamu lihat sendiri kan Bram bahagia banget tunangan sama Kintani. Kamu rela ngerusak kebahagiaan dia?" Tunjuk Ifa pada Bram yang kini tengah terseyum lebar sambil memasangkan cincin emas kepada Kintani.

Hana mau tidak mau ikut melihat adegan mesra tersebut. Moodnya semakin buruk.

"Mbak jadi curiga sama kamu ini. Jangan-jangan kamu cinta ya sama Bram? Makanya kamu nangis terus sepanjang acara." Bisik Ifa lagi. Namun Hana memilih diam tidak menjawab perkataannya.

Setelah acara inti selesai, kedua keluarga akan makan siang bersama. Makanan lezat di atas meja sama sekali tidak membuat Hana tertarik. Ia hanya menuju meja yang menghidangkan buah-buahan.

"Hai, Hana."

Hana mendengus tidak suka. Rasa bencinya pada Kintani semakin bertambah saat Kintani menyapanya.

"Kamu suka buah apa, Hana? Biar aku ambilkan untuk kamu." Kata Kintani. Suaranya lembut bak ibu peri.

"Nggak usah sok perhatian." Hana menjawab dengan ketus.

Dari awal pertemuan mereka, Kintani sudah menyadari bahwa Hana tidak menyukainya entah karena apa. Namun Kintani akan berbesar hati, menganggap bahwa Hana hanya belum mengenal dirinya.

"Hana aku hanya mau bilang mulai hari ini kita bersaudara. Kita harusnya punya hubungan yang baik kan?" Setiap berbicara Kintani selalu terseyum.

Hana semakin tidak berselera memakam apa pun. "Aku nggak sudi punya saudara kayak kamu! Selamanya kita nggak akan jadi saudara." Gadis itu menekankan setiap kalimat yang ia lontarkan.

"Kenapa? Dari awal kita ketemu, kamu seperti nggak suka sama aku." Tembak Kintani. Ia sungguh ingin tahu alasannya. Jika memang ia bersalah, ia akan meminta maaf. Sungguh ia tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun.

Hana terseyum simpul. "Kamu.merebut. masku." Tekan Hana.

Kintani agak terkejut, namun cepat-cepat ia merubah ekspresinya. "Kamu cemburu sama aku? Han aku-"

"Cukup, sampai kapan pun aku nggak akan suka sama kamu!"

Hana meninggalkan Kintani yang masih mematung. Wanita berhijab itu masih mencerna perkataan Hana. Ia dianggap merebut Bram. Mungkin Hana masih belum rela jika perhatian Bram beralih padanya.

"Kintani,"

"Eh Mas Pandu, udah makan belum?" Kintani memang perhatian kepada siapa pun yang ada di dekatnya.

"Nanti aja. Kamu ngobrol apa sama Hana?" Ia sempat melihat adik iparnya itu mengobrol dengan Hana. Namun dari tempatnya berdiri tadi ia melihat gestur Hana tidak nyaman ngobrol dengan Kintani.

"Mm aku hanya kenalan sama dia."

"Ki, aku tahu sedekat apa Bram dan Hana dari dulu. Mungkin Hana pikir perhatian Bram akan beralih ke kamu bukan dia lagi, makanya dia ketus sama kamu. Tapi dia aslinya baik, jangan terlalu dipikirin." Jelas Pandu.

Seringkali Pandu melihat secara langsung bagaimana Bram memberi Hana perhatian. Bram akan menjadi pelindung Hana setelah ayahnya sendiri. Ia menjaga Hana sebagaimana ia menjaga eyang.

"Iya mas. Kita baru aja kenal, belum tau satu sama lain kayak gimana." Kebaikan hati Kintani mudah memaafkan sikap Hana yang kurang baik padanya.

Pandu mengangguk. "Kamu pasti bisa ambil hatinya Hana."

*

Wajah-wajah penuh kebahagiaan terpancar di keluarga Bram. Acara berlangsung sangat hikmat dan intim. Tanggal pernikahan pun sudah ditentukan. Tidak kurang dari dua bulan Kintani akan resmi jadi istri Bram.

Dalam perjalanan pulang senyum Bram tidak pernah luntur. Ia senang bisa menunjukkan keseriusannya pada Kintani. Dalam bayangannya, ia mengarungi bahtera rumah tangga dengan perempuan bak ibu peri. Cantik, baik dan santun. Pasti rumah tangganya akan jauh dari masalah. Ia juga membayangkan dalam rumah tangganya dikaruniai anak-anak yang lucu.

Berbeda dengan Hana yang duduk di kursi belakang kemudi. Moodnya menjadi semakin buruk karena Kintani menyapanya. Apalagi melihat rona bahagia di wajah Bram, membuat Hana semakin ingin menamparnya.

"Kintani cantik banget ya, le. Bude seneng liat dia. Anggun dan santun." Ucap Murni.

Hana mendengkus mendengar pujian ibunya.

"Iya bude. Rasanya Bram pingin cepat-cepat nikahin dia." Kata Bram sambil tersipu.

Jalu yang sedang menyetir pun ikut tertawa. "Perempuan yang kamu pilih memang nggak salah, Bram. Kamu nggak lihat tadi ekspresi eyang? Eyang seneng banget kamu melamar perempuan yang tepat."

"Bude denger dari Ibu Kintani tadi, Kintani itu pintar masak lho. Dia juga rajin bersih-bersih rumah."

Telinga Hana terasa panas mendengar pujian-pujian untuk Kintani. Ia bahkan tidak pernah di puji oleh orang tuanya. Sekarang orang tuanya malah memuji rival Hana.

"Bisa nggak, nggak usah ngomongin tentang dia terus?" Kata Hana. Ia benar-benar tidak tahan sedari tadi.

"Eh yang sopan kamu, dek. Kintani akan jadi istri mas, kamu harus panggil dia mbak." Kata Bram.

Rasanya sakit di hatinya bertambah sepuluh kali lipat. Bram sama sekali tidak memikirkan perasaan Hana. Ia bahkan tidak menyadari sepanjang acara Hana hanya menangis. Bahkan selama Hana mengurung diri di kamar, Bram sama sekali tidak mencoba menemuinya.

"Halah, belum tentu jadi kan?" Ceplos Hana.

Ia mendapat cubitan keras dari Murni yang memang duduk di sampingnya. Untung eyang berada satu mobil dengan Ifa. Jadi eyang tidak mendengar celetukan Hana.

"Aw! Apaan sih bu? Kan masih calon belum tentu jadi juga."

"Hana! Jaga omongan kamu!" Bentak Ayah Jalu.

Hana mendengus tak suka. Jika ayahnya sudah marah ia tidak akan bisa melawan. Ia memperhatikan ekspresi Bram dari kaca mobil, sepertinya Bram marah karena celetukan Hana.

*

Hana kok jd judes yaaaaa

Btw aku gregetan sama Bram :(

Semalem ketiduran. Sorry

Terjerat Pesona Mas BramWhere stories live. Discover now