TPMB - 09

4.3K 162 3
                                    

*

"Waduh. Lagi seneng nih bos!" Pandu merangkul Bram yang senyum-senyum memandangi vitamin dari Kintani. Mereka berdua berada di loker karena tengah pergantian sift.

"Gemes gue sama ipar lo." Kata Bram sambil membayangkan senyum Kintani yang mampu membuat Bram berdebar.

"Kalo sama Hana, gemes juga nggak tuh?" Sengaja Pandu menyinggung soal Hana. Ia ingin tahu reaksi sahabatnya jika Hana dan Kintani dibandingkan.

"Ya biasa aja. Lagian udah tiap hari ketemu kok." Ucap Bram datar.

Pandu tertawa. "Masa?"

Bram berdecak. "Mending sekarang kita pulang." Tangannya gesit mengantongi vitamin dari Kintani.

Bram dan Pandu beranjak meninggalkan loker menuju parkiran. Mereka menuju motor masing-masing. Sebelum akhirnya berpisah di jalan raya karena arah rumah mereka yang bertolak belakang.

Sesampainya di rumah, ia disambut pemandangan Hana yang sedang turun dari sepeda. Sebuah topi kuning terang menaungi wajahnya dari kilauan cahaya sore.

Rupanya Hana menyadari kedatangan Bram di rumah seberang. Ia menyandarkan sepedanya ke pohon rambutan di depan rumahnya. Hana menghampiri Bram dengan langkah riang.

"Iiiihh baunya." Hana menjepit hidungnya dengan telunjuk dan ibu jarinya.

Bram berdecak, "itu bukannya bau ketek kamu?"

Hana melepaskan jepitannya di hidung. "Nggak ya! Hana wangi tauuu!"

Bram melepaskan helmnya. Merangkul Hana berbagi keringat bau terasi. Hana meronta, tidak tahan dengan bau ketek sepupunya.

"Ya Allah! Bisa-bisa Hana pingsan!" Sambil memperagakan gelagat orang muntah di depan Bram.

"Sembarangan! Kamu tuh yang bau matahari. Mas kan kerjanya di tempat adem. Nggak keringetan!" Bram meraupkan lima jarinya ke lehernya sendiri. Lalu dengan cepat mengusapkannya ke wajah Hana. Mendapat serangan mendadak tentu Hana tidak dapat menghindar lagi.

"Huweekk! Aduh mas bener deh kalau yang ini bau terasi. Huwekkk!" Hana benar-benar ingin muntah. Ia adalah orang yang sangat sensitif terhadap bau-bauan.

Bram terbahak melihat wajah Hana merah padam. "Udah ah, mas mandi dulu. Pulang sana!"

Bram meninggalkan Hana yang sedang membungkuk. Memegangi perutnya yang mual akibat kejahilan Bram.

Ish!

Hana tidak pulang, ia mengikuti Bram yang menghilang di balik pintu. Hana menyapa eyang yang sedang membaca koran.

"Eyang."

Eyang melepas kacamata baca yang bertengger di pangkal hidungnya. "Sini nduk, darimana kok tumben pakai topi?"

Hana duduk disebelah eyang. "Jalan-jalan aja pakai sepeda."

"Gimana kuliah kamu nduk?"

"Capek eyang. Tugasnya buanyak banget. Pingin nikah aja rasanya. Huhuhu." Keluh Hana asal.

Eyang sedikit terkejut, "Nikah?"

"Iya eyang. Kayaknya enak deh." Rengek Hana.

Eyang mengelus lengan Hana lembut. "Nikah itu juga nggak gampang loh nduk. Lagian kamu juga masih muda ah! Jangan ngawur gitu."

"Siapa yang mau nikah?" Bram tiba-tiba muncul dengan handuk di lehernya. Tangannya tidak berhenti menghilangkan air di rambutnya dengan handuk.

"Nih adik kamu."

"Kamu dek? Nyapu aja nggak becus apalagi mau nikah. Stroke muda ntar suami kamu!" Ejek Bram.

Hana berdecak tak suka. "Eh mas! Nggak suami laki-laki tuh cari istri yang bisa semuanya kayak pembantu. Ada tau laki-laki yang terima aku apa adanya." Kata Hana ketus.

Bram terkekeh. "Dek, kita ini hidup di Jawa Timur. Masalahnya bukan ada atau nggak laki-laki yang nerima kamu apa adanya. Kamu udah siap nggak dinyinyirin mertua atau keluarga dari suami kamu yang lain kalau kamu nggak bisa apa-apa? Mas tau sih kamu orangnya cuek, tapi secuek-cueknya kamu kalau dinyinyirin pasti sakit hati juga."

Eyang mengangguk. "Iya, budaya kita memang seperti itu nduk. Makanya kenapa di daerah sini jarang ada yang pakai pembantu. Ya karena itu, para istri merasa dia masih sanggup untuk mengerjakan pekerjaan rumah sendiri."

"Oh berarti mas kalau nikah mau pilih calon istri yang bisa segalanya. Gitu?!" Tanya Hana kesal. Namun sepertinya Hana hanya butuh kepastian saja. Tidak ditanya seperti itu pun, sudah jelas Bram akan mengiyakan.

Bram menaikkan satu alisnya. Ia heran kenapa Hana jadi emosi. "Iya lah. Coba lihat, eyang kita sudah sepuh. Nggak mungkin mas diurus eyang seterusnya. Pasti nanti mas dan istri akan mengambil alih pekerjaan rumah."

Hana tidak habis pikir, padahal Bram dan dirinya sedang berpacaran. Tapi kenapa sekarang Bram membeberkan calon istri potensial yang dia inginkan tanpa mempedulikan perasaan Hana? Jelas Hana sangat tersinggung. Hana hanya bisa membantu ibunya menyapu halaman dan menyapu lantai. Jangan tanya pekerjaan rumah lain, jawabannya Hana pasti tidak bisa.

"Ck, kenapa mas nggak cari istri di yayasan aja kalau gitu? Kan banyak tuh perempuan yang sengaja dites kemampuannya buat kerjaan rumah!" Jawab Hana ketus.

Bram dan eyang sangat terkejut mendengar perkataan Hana.

"Nggak sopan kamu! Makanya jangan asal mau nikah deh kalau ngomong aja masih nggak bener. Nggak bisa bedain mana yang pantes diomongin mana yang nggak." Bram mengatakannya dengan nada pelan, namun perkataannya menusuk perasaan Hana dengan jahatnya.

Hana sampai menganga dibuatnya. Pertama kalinya Bram menasihatinya dengan kata-kata pedas.

"Mas? Barusan mas nganggap Hana anak kecil dong ya? Hahaha." Hana tertawa kering. Banyak kata yang ingin ia keluarkan. Namun, tenggorokannya seperti sedang menelan batu besar. Hana sedang menahan tangis.

"Lho? Mas nggak ngomong gitu."

"Iya! Mas emang nggak ngomong gitu. Puas?" Tanya Hana menantang.

Bram semakin bingung menghadapi Hana yang berapi-api. "Dek, kamu kok semakin nggak sopan. Sama mas dan eyang aja kamu kayak gini. Gimana sama yang lain?" Kata Bram menyindir.

Hana tertawa dalam hati. "Mas apaan sih bawa-bawa orang lain. Nggak ada hubungannya ya! Lagian tadi Hana tuh cuma bercanda pingin nikah. Kok ya semua pada ngegas gini! Lagian kalau Hana nikah, nggak akan cari cowok kayak mas!"

Bram semakin berang. "Hana. Kami memang mendidik kamu dengan kelembutan, tapi jangan kira mas nggak bisa kasar. Pakde akan marah sama kamu kalau udah mulai kurang ajar kayak gini. Diajarin siapa kamu? Pacar kamu? Iya?"

Dalam hati Hana merutuk. Apa Bram lupa ingatan, kalau dirinya adalah pacar Hana?

"Emang kenapa kalau Hana pacaran?" Itu bukan Hana, tapi eyang yang bertanya. Hana dan Bram berdebat seolah tidak ada eyang diantara mereka.

"Kok kalian sama-sama tersinggung? Padahal kalian cuma bertukar pendapat calon seperti apa yang kalian ingin. Tapi kok kesannya dari tadi kalian ini saling nggak terima." Ucap eyang tenang. Eyang memang sangat jeli dan jago menelaah. Jangan salahkan eyang jika eyang curiga, Bram dan Hana sendiri yang menimbulkan kecurigaan eyang semakin muncul ke permukaan.

Bram dan Hana diam. Mengatur nafas masing-masing sambil merutuki dirinya sendiri karena bersikap ceroboh di depan eyang.

"Hana pulang dulu, mau mandi."

Eyang tersenyum tipis. Membiarkan pertanyaannya berlalu ditiup angin dari kipas yang dari tadi menyala.

*

Vote yah😉 biar aku semakin semangat ngerevisi Janda Memang Menggoda😂

Terjerat Pesona Mas BramDonde viven las historias. Descúbrelo ahora