TPMB - 28

667 21 6
                                    

Mendekati ending ya

Vote dan komen yaaaa

*

Eyang menghela napas. Tidak menyangka Bram akan mempermalukannya seperti ini.

"Tidak akan ada pernikahan."

Semua orang di ruang tamu terkejut. Apalagi Hana. Senyumnya luntur, berganti dengan ketegangan yang luar biasa.

"Bu-"

Eyang mengangkat tangan, mencegah Jalu berbicara. Ia tidak suka dibantah. Keputusannya sudah bulat. Tidak akan ada pernikahan antara Hana dan Bram.

"Kamu tidak dengar ucapan ibu barusan?"

"Eyang, Hana ini hamil loh!" Ucap Hana frustasi.

Eyang tersenyum tipis. "Haram menikahkan perempuan yang sedang hamil."

"Terus Hana gimana, Bu? Apa kata orang nanti kalau Hana hamil tanpa suami?" Tanya Murni. Mendengar eyang berkata seperti itu, membuat Murni semakin merasa terpukul. Ia telah gagal mendidik dan menjaga anaknya. Air matanya terus bercucuran.

"Bawa Hana ke Surabaya sampai dia melahirkan."

"Eyang! Aku nggak mau. Yah, bu, Hana nggak mau ke Surabaya!" Rengek Hana.

Ternyata mimpinya menikah bersama Bram akan sulit sekali tergapai. Padahal Hana baru saja merasa menang dari Kintani.

"Gimana dengan Bram?" Tanya Jalu.

"Kemasi barang-barang kamu. Keluar dari rumah ini sekarang juga. Kamu boleh kembali ke sini kalau Hana sudah kembali dari Surabaya." Ucap eyang tenang. Ia tidak mau pilih kasih. Kedua cucunya sama-sama bersalah. Ia tidak akan menghukum Hana sendirian. Bram juga harus merasakan yang sama.

"Bram mau tinggal dimana eyang?" Tanya Bram. Ia akhirnya bersuara setelah dari tadi hanya membisu.

"Terserah. Yang penting bukan di rumah ini. Sudah, eyang mau istirahat. Keputusan sudah bulat. Ingat, Hana harus ke Surabaya secepatnya. Jangan pernah menemui Hana sebelum dia kembali ke sini." Eyang beranjak begitu saja.

Tangisan Hana mendominasi ruang tamu. Jalu dan Murni tidak bisa berbuat banyak. Keduanya masih shock dengan kejadian ini. Jika Hana merasa hancur dan malu karena hamil tanpa suami, maka Jalu dan Murni lebih hancur karena ia gagal menjaga putrinya.

"Mas! Kamu jangan diam aja dong. Kamu harus bujuk eyang biar kita bisa menikah. Ini anak kamu loh mas!" Seru Hana frustasi.

Bram menghela napas. Tapi tidak menjawab apa pun. Ia berpikir keras akan kemana setelah ini, karena ia telah menjadi gelandangan yang di usir dari rumah sendiri.

"Ayah, Ibu. Hana nggak mau tinggal di Surabaya. Tolong nikahkan Hana sama Mas Bram. Aku akan ikut Mas Bram kemana pun. Nggak apa-apa aku harus hidup susah, yang penting berdua sama Mas Bram." Rengek Hana.

Jalu menepis tangan Hana kasar. "Hana! Jangan buat ayah lebih marah dari ini. Tolong diam dan ikuti keputusan eyang. Ini yang terbaik untuk kalian berdua."

"Tapi yah aku-"

Plak!

"Ayah sudah peringatkan kamu untuk diam." Ucap Jalu. Ia berdiri lalu meninggalkan Hana. Murni kemudian mengikuti suaminya.

Hana semakin menangis, ini kali pertama ayahnya menampar pipinya. Sakit. Tapi lebih sakit lagi hatinya. Mau tidak mau, Hana akan meninggalkan Bram ke Surabaya.

"Mas, kamu janji kan bakal nikahin aku?" Tanya Hana. Ia mendekat ke arah Bram. Menggoyangkan lengan Bram karena lelaki itu tidak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Han, tolong jangan buat semuanya semakin rumit. Kita hanya perlu ikuti perintah eyang." Jawab Bram. Ia tidak punya tenaga sekarang.

"Kasih aku satu aja kepastian kalau kamu bakal nikahin aku setelah anak kita lahir."

Bram menghela napas dalam, ia mengangguk singkat agar Hana merasa lega. Ia tidak bisa menjanjikan apa pun pada Hana. Entahlah. Rasanya sangat berat.

Begitu pun Hana. Pernikahan. Sepertinya itu akan sangat sulit terjadi. Rencananya tidak berbuah manis. Hana malah menelan kekecewaan karena tidak berhasil berakhir hidup berdua dengan Bram.

"Lihat kan dek? Gara-gara kekonyolan kamu yang entah apa itu malah membuat kekacauan seperti ini."

"Kamu nggak mikir ya? Apa yang aku lakukan ini ya demi masa depan kita mas. Kamu tega ya aku hamil anak kamu, tapi kamu malah nikah sama orang lain?!"

"Tapi apa buktinya? Kita nggak nikah kan? Kamu selalu seperti ini. Gegabah dan menganggap apa yang kamu mau harus terwujud. Dunia ini bukan cuma tentang kamu dek! Nyesel aku manjain kamu dari dulu!" Pungkas Bram.

Ia memilih menyingkir dari hadapan Hana. Malam ini juga ia harus mendapatkan kamar kost dengan harga termurah. Ini juga menjadi titik yang baru bagi hidupnya.

*

Riko mengusap lengan istrinya lembut. Ia tahu istrinya sangat marah dan kecewa. Namun Ifa hanya meluapkan emosinya melalui helaan napas berat.

Tadi malam, Jalu telah menceritakan semuanya melalui sambungan telepon. Hana akan berangkat sendiri dengan kereta api. Riko dan Ifa tidak perlu repot-repot menjemput Hana, dari stasiun Hana akan memesan ojek online. Mau tidak mau pasutri tersebut menerima mandat dari Jalu meski dengan berat hati.

"Dimana kalian melakukannya?" Ifa seakan kehabisan kata menghadapi kenyataan pahit yang menimpa keluarganya.

Hana menarik napas pelan. "Di rumah eyang dan di penginapan."

Ifa berdecak. "Rumah eyang kamu bilang?! Kamu bener-bener nggak waras ya dek?"

"Kamu nggak mikir ayah sama ibu waktu melakukannya? Otak kamu udah dibutakan sama cinta ya?!"

Riko menenangkan istrinya lagi. Ia sadar jika ia tidak mengambil tindakan, maka istrinya akan terus mengomeli Hana.

"Hana, kamu tahu kan aku dan mbakmu tinggal di perumahan yang padat penduduk? Otomatis ketika kamu tinggal di sini, akan membuat kamu nggak nyaman apalagi dengan kondisi kamu yang sedang hamil. Setelah berunding banyak sama Ayah Jalu juga, sepertinya kamu harus tinggal terpisah dari kami." Jelas Riko. Ia tidak mau berbasa-basi lagi. Semua keputusan ini pun juga sudah keputusan bersama demi kenyamanan Hana.

"Terus aku harus tinggal dimana mas?"

"Nanti kita antar kamu ke sana. Kamu nggak usah khawatir, nanti tempat tinggalmu deket banget sama rumah Rama. Kamu udah kenal kan sama dia?"

Hana mengangguk kaku. Takdir membawanya lagi kepada laki-laki yang telah Hana tolak kehadirannya namun kali ini mungkin ia akan bertemu lagi dengan Rama.

*

Maaf ya guys, bbrpa bulan kmrin aku lagi gk mood nulis hahaha

Terjerat Pesona Mas BramNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ