01: ketika dunia tidak berputar

813 83 25
                                    


Dunia semenyeramkan ini dihuni oleh berbagai jenis manusia. Manusia dengan muslihat kelewat sempurna atau manusia tanpa ajang unjuk diri. Kadang, takdir Tuhan juga terlampau bercanda bila disangkutpautkan dengan segelintir manusia tak beruntung. 

Didan merasa dunianya tak berputar. Alias stagnan, diam di situ-situ saja. Tidak berhenti, tapi tak juga bergerak. Ya, bergeming. 

Mana bisa berubah jika Didan hanya tahu dunia di dalam ruangan sempit ini? Kata mereka, dunia dia hanya berporos di kamar ini saja, tidak perlu sampai ke luar. Memang serasa kurungan penjara, padahal dia tak berbuat salah apa pun.

Oh. Ada. Satu kesalahan mutlaknya adalah terlahir ke dunia ini. Mereka bilang dia gila, padahal dia masih waras. Mereka bilang begitu supaya dana bantuan dari Pemerintah bisa mengalir deras. Mereka juga kerap menyiksanya tanpa ampun. Mereka melakukan itu demi membawanya ke rumah sakit untuk mengeklaim dana asuransi yang preminya dibayar rutin oleh sekumpulan orang baik di sebuah komunitas peduli sesama. 

Tidak ada yang membawa Didan ke rumah sakit jiwa. Karena dia memang tidak gila, tapi sengaja dibuat gila. Dia resmi diisolasi sejak berusia sepuluh tahun. Terhitung sudah tigabelas tahun dia mendekam di sini. Tanpa tahu seperti apa dunia manusia sebenarnya.

"Berapa jam kamu berdiri di situ?"

Didan enggan menoleh ke balik punggungnya, padahal dia tahu bila tak segera menyahut akan ada tamparan yang dilayangkan untuknya. Dia tetap berdiri menghadap jendela penuh debu ini, mengintip rerumputan lapang itu dengan tatapan sendu. Kosong di sana, sekosong hatinya saat ini.

"Oh, mulai budek?" 

"Akh!" pekik Didan saat pria tinggi tegap itu menjambak rambutnya hingga kepalanya mendongak, seketika membuat tatapannya turut beralih dari halaman menuju langit-langit kamar. "Ng, nggak ada jam. A-aku nggak tahu udah berapa jam di situ."

"Oh, ada aja alesan kamu."

Akhirnya, jambakan itu terlepas, sehingga Didan bisa mengatur langkah mundur.

“Hari ini ada kunjungan dari Komunitas Sayap Pelindung. Kamu harus tutup mulut soal ini. Bilang aja kamu masih takut sama dunia luar. Ngerti?”

Didan meneguk ludahnya, lalu mengangguk agak terpaksa. Kemudian, ada seorang wanita berbalut daster lusuh mampir di ambang pintu kamar.

“Ayah. Baju Ibu udah kelihatan jelek belum?”

Didan ditinggalkan, sehingga dia bisa memperhatikan interaksi orang tua kandungnya itu—Wardy dan Marsina. 

“Lumayan, Bu. Dandanannya jangan lupa dibikin pucat, ya.”

Kemudian, wanita jenjang itu melangkah masuk. Ternyata, dia menghampiri Didan, memperhatikannya dari atas ke bawah, baru mendengkus remeh.

“Skenario seperti biasa. Jangan bikin ulah. Ayah sama Ibu harus jadi si paling berkorban demi kamu. Makanya, kita pakai baju-baju menjijikkan ini, sementara kamu pakai baju bagus. Sekarang, buruan mandi!”

Gelegar teriakan itu membuat Didan terkejut. Namun, tanpa mengulur waktu lagi, dia segera mematuhi titah Marsina.

“Eits. Tunggu,” cegah Marsina. Lantas, dia menyingkap kaos di bagian punggung Didan dan berdecak sebal ketika menemukan lebam-lebam di sana. “Jangan ngadu apa-apa, ya. Awas kalau sampai kamu lapor soal luka-luka ini.”

Hold Your Breath [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang