17: fakta tersembunyi

314 59 4
                                    

Bintang memandangi layar laptopnya di mana kematian Wardy dan Marsina menjadi headline sebuah berita lakalantas.

"Kesimpulannya kecelakaan tunggal, ya?" gumam Bintang, lebih kepada tiupan angin dari jendela yang sengaja dibuka sebab dia memang tengah mengurung diri di kamar kosnya. Sesekali menyesap kopi di cangkir, dia pun menggulir mouse untuk membaca keseluruhan artikel, yang ternyata dibuat oleh kakaknya sendiri. "Oh, Mas Kalin yang bikin."

Bintang kemudian berdiri, meninggalkan semua yang mencuri fokusnya tadi dan meregangkan sendi sebentar sambil menguap lebar-lebar.

"Rumah Ayah sama Ibu belum laku juga, apa nggak usah dijual, ya?"

Monolog itu baru saja memberinya ide. Namun, bila urung dijual, siapa yang akan menempatinya?

"Apa mending gue tempatin sama Didan, ya? Jadi, nggak usah ngekos."

Sebelum merealisasikan keinginan tersebut, tentu Bintang harus berdiskusi dulu dengan kedua kakaknya.

***

Hari masih pagi, tapi Didan bangun lebih awal. Dia duduk di ruang tengah, ingin menyetel TV untuk tahu apa saja yang dia tinggalkan selama belasan tahun ini, tapi dia tidak berani menekan tombol di remote itu. Di sela kebingungannya, Didan terperanjat saat pintu kamar Zidan terbuka. Keponakan mungilnya itu berdiri sambil menggosok kedua matanya.

"Mama. Papa. Di mana?"

Didan diam, dia ingin menyahut, tapi dia tak yakin Zidan sudah melupakan insiden terakhir kali mereka.

"Nonton? Kartun?"

Didan mengerjap saat Zidan tiba-tiba mensejajarinya sambil menekan satu tombol di remote dan mulai fokus dengan isi layar TV. Zidan ternyata menonton animasi Spongebob Squarepants.

"Om Idan sakit?"

Didan menggeleng.

"Kakinya sakit."

Kali ini, Didan mengangguk, tapi buru-buru meralat, "Nggak sakit, cuma nggak bisa dibuat jalan sama lari."

Zidan mengerti, lantas lanjut menonton sambil sesekali tertawa.

"Om Idan laper?"

Didan menggeleng sekali, sekarang tatapannya sudah menetap di acara kartun itu. Entah bagaimana, suasana hatinya jadi dipenuhi rasa senang.

"Aku laper."

Didan belum mengalihkan tatapannya, tapi ketika Zidan menyentuh tangannya, dia seketika menoleh, "Apa? Laper? Mm, Papa sama Mama kamu belum bangun, Dan." Sedikit banyak, dia merasa lucu saat memanggil nama Zidan karena seperti memanggil namanya sendiri.

"Sakit?"

Zidan bingung saat Didan tiba-tiba memberinya pertanyaan, tapi dia paham saat mata bulat itu terpaku di daerah lehernya. Jadi, dia menjawab, "Nggak. Udah sembuh."

"Maaf."

Meski hanya sepatah dua patah kata yang bisa Didan ucapkan, setidaknya dia sudah punya nyali untuk berhadapan dengan manusia kecil ini.

Tak lama, Catur dan Marsya bersamaan keluar kamar. Keduanya baru saja bangun. Namun, tidak seperti sebelumnya, Marsya tidak refleks menggendong Zidan dan menjauhkannya dari Didan, meski Catur tetap sadar akan reaksi Marsya yang agak terkejut mendapati pemandangan di depan mereka. Didan dan Zidan duduk berdampingan menghadap tayangan di TV. Zidan menggenggam tangan Didan yang membuat mereka merasa heran.

Hold Your Breath [✓]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora