04: ketakutan tanpa akhir

392 57 9
                                    

Didan tertidur. Tidak lelap, tapi sudah tenang. Dia duduk bersandar di antara Kirei dan Sapta seperti saat berangkat ke rumah Dokter Fabian tadi. Di mobil Jazz milik Bintang ini, tidak satupun dari mereka bertukar obrolan. Namun, saat melirik Kalin yang duduk di sebelahnya, Bintang jadi teringat sesuatu.

"Mas Kal. Kita ke rumah Mas aja, ya? Jam segini Mas Catur sama Mbak Marsya pasti udah tidur, mana di rumah mereka nggak ada kamar lagi buat Didan. Kalau di rumah Mas Kalin sama Mbak Livia kan masih ada satu kamar sisa yang bisa ditempatin Didan."

Kalin hampir protes jika Bintang tak memberi isyarat tersirat bahwa ada orang lain selain mereka di sini. Jadi, pilihannya tentu hanya ada setuju tanpa penolakan. Sapta dan Kirei sempat saling tukar pandangan, tapi keduanya tidak berani ikut campur, walaupun mereka sadar betul bahwa keberadaan Didan—sengaja dioper ke sana ke sini.

Ketika maps di ponsel Bintang menyatakan bahwa mereka sudah sampai di tempat tujuan, mobil bersampul putih ini pun terparkir rapi di depan rumah mewah Kirei.

"Makasih, Mas. Saya turun rumah Kirei, soalnya motor saya di sini. Nitip Didan, ya. Tolong, obatnya diminumin rutin. Didan nggak bakal mau minum obatnya sendiri. Jadi, tetep harus dibimbing pelan-pelan."

Bintang menoleh ke belakang, lantas menyetujui permintaan Sapta dengan anggukan. Sementara, Kalin mulai mengeluarkan ponselnya tanpa mau peduli apa pun.

"Sama sekalian minta tolong buat jangan bersikap kasar apalagi sampai pakai cara kekerasan buat ngasih tahu Didan. Dia ini takut manusia. Tolong dipahami, ya, Mas. Masalah mental nggak bisa disepelein."

Bintang berdeham, bermaksud meminta atensi Kalin dari layar ponsel agar teralih pada tuturan Kirei barusan, tapi tentu saja hasilnya nihil.

"Iya. Nanti saya lakuin semua saran-saran itu."

Sebuah pamungkas dari Bintang membuat Sapta dan Kirei bersamaan membaringkan Didan agar posisi tidur remaja kurus ini jauh lebih nyaman. Kemudian, mereka buru-buru menuruni mobil, tapi sebelum menyusul Sapta, Kirei sempatkan untuk menyelimutkan jaketnya di badan Didan.

Bintang memicing sebentar, baru kembali menghadap jalanan dan bersiap menderukan mesin mobilnya lagi. Dalam sepersekian detik, mereka sudah meninggalkan pelataran rumah Kirei.

"Anak orang kaya, tuh. Rumahnya aja gedongan. Pantes penampilannya kelas atas banget. Lo nggak minat, Bin? Lo belom ada cewek, kan?"

Bintang berdecak, seketika sebal dengan godaan Kalin hingga dia asal menyahut, "Nggak tertarik sama anak kuliahan."

"Halah. Beda berapa tahun doang sama lo. Kalau lo pacarin dia, bisnis kedai kopi lo pasti disokong Bokap dia, tuh."

"Mas, plis." Bintang akhirnya spontan menengok, lalu mendapati senyum miring Kalin yang memuakkan baginya. "Dari pada bahas itu, mending bahas Didan. Yakin Mbak Livia mau terima dia di rumah Mas?"

Kalin mengesah, "Lagian. Lo main lempar ke gue, padahal kan gue belom diskusi lebih lanjut sama Livia. Lagian. Perjanjian yang kita sepakati secara dadakan di pemakaman kan jatahnya Mas Catur sama gue dibagi tiga hari tiga hari. Lo main ngubah aja, Bin."

"Ya tapi, emang kenyataannya gitu. Jam segini Mas Catur sama Mbak Marsya udah tidur, terus di sana nggak ada kamar juga. Jelas lebih mending Didan ditaruh di rumah Mas, dong."

Agaknya, perdebatan soal tempat menampung Didan ini tak akan menemukan ujungnya. Dia dianggap barang yang bisa dipindah ke sana kemari sesuka hati, padahal dia juga punya perasaan. Tidak ada yang mau hidup bersamanya, entah karena rasa asing atau memang karena adik mereka ini sudah dicap sebagai beban. Tak lama, hening menguasai seisi mobil sampai akhirnya mereka sampai di rumah Kalin; yang memang ada dua lantai, tapi tetap mengusung kesederhanaan.

Hold Your Breath [✓]Where stories live. Discover now