14: menumbuhkan rasa

283 48 6
                                    

[jangan lupa vote dan comment, yah, biar makin cepet update]

______________




Kalin ternyata menjemput Didan di kafe milik Bintang.

Semalaman penuh Didan tidak bisa tidur karena hari ini sosok Kio mendadak muncul lagi di hadapannya. Dia ingat betul. Ada hari di mana orang tuanya dipanggil ke sekolah saat Kio sudah dilarikan ke rumah sakit menggunakan ambulance. Di hari itu, orang tua Kio juga datang. Mereka pasangan dari keluarga berada, yang banding terbalik dengan ayah dan ibunya. Orang tua Kio memarahinya, bahkan sampai memukuli wajahnya.

Kepala Sekolah tidak sempat menyetop, apalagi Wardy dan Marsina yang tampak sangat kecil dan lemah. Tidak berdaya melawan kekuasaan orang-orang berkantung tebal.

Beruntungnya, hari ini Didan tidak perlu bertemu Kio.

Namun, Didan ternyata tidak bisa menikmati hari liburnya. Dia kesakitan. Perutnya melilit. Entah kenapa. Dia tidak ingat telah menyantap sembarang makanan dan minuman kemarin.

"Dan! Buruan! Kanya mau mandi!"

Teriakan Kalin membuat Didan buru-buru bangkit dari kloset. Lantas, dia pakai celananya sebelum memutar kenop pintu. Dalam sekejap pula, dia sembunyikan ringisan sekaligus memendam rintihan begitu berhadapan dengan Kalin.

"Kenapa lo?"

Didan menggeleng, lalu terkesiap saat menemukan Catur, Marsya, dan Zidan ada di ruang tengah sana. Mereka sedang mengobrol dengan Livia dan Kanya. Tampak akrab, seperti selayaknya keluarga.

Tapi, kenapa tidak ada dirinya di antara mereka?

"Mules?"

Didan menggeleng lagi.

"Jangan bohong."

Sebelum Didan sempat menyahut lagi, Livia yang tengah menggendong Kanya tiba-tiba menyeruak lebih dulu.

"Aku aja yang mandiin, Liv. Yuk, mandi sama Papa, ya, Nya," ujar Kalin sambil mengambil alih Kanya dari gendongan Livia. Seketika itu juga melupakan interogasi kilatnya mengenai kesehatan Didan. "Oh, lo sarapan sana sama Mas Catur."

Setelah itu, pintu toilet tertutup rapat, menenggelamkan sosok ayah dan anak itu ke dalam bilik mungil penuh air.

Tersisa Didan dan Livia, yang sama-sama membeku sedetik di depan pintu toilet.

"Sakit perut? Apa aja yang lo masukin ke lambung lo, deh?"

Didan tidak berani menatap wajah Livia, tapi dia punya secuil nyali untuk mencicit, "Cu-cuma melon."

"Melon dalam bentuk buah atau melon dalam bentuk perisa?"

Ketika Didan sibuk mengingat, saat itu juga Marsya turut bergabung. Perempuan berambut sebahu tersebut pun berdiri di samping Livia, kini ikut mengintimidasi adik ipar mereka dengan tatapan menelisik.

"Kenapa, Liv?"

"Nggak tahu, Mbak. Didan."

"Lo kenapa, Dan?"

Didan terkesiap. Bukan karena dia mendadak dihujani pertanyaan, tapi karena akhirnya Marsya mau bicara dengannya setelah apa yang terjadi terakhir kali.

"Dih. Kalau diajak ngomong itu—"

"—perutku sakit," putus Didan, sengaja memotong kalimat Marsya.

"Stres kali? Eh, bisa gitu, kan, Liv—"

"—stres apaan, Mbak?" sambar Livia. "Didan, mah, kerjaannya makan sama tidur doang."

Hold Your Breath [✓]Where stories live. Discover now