13: sedang berjuang

340 55 6
                                    


Pada akhirnya, Didan dikeluarkan dari kelompok. Dia tidak bisa tenang, masih saja gelisah. Ketakutan terus melingkupi dirinya sekalipun Kirei sudah membawakannya camilan-camilan rasa melon. Sekarang mereka berdua ada di taman yang letaknya di belakang bangunan ini. Meski sudah duduk berhadapan, Didan tetap tidak mau memandang lawan bicaranya.

"Didan kenapa?" tanya Kirei hati-hati. "Kalau nggak dicoba, sampe kapanpun Didan nggak bisa sembuh. Manusia itu nggak selalu berupa ancaman."

Namun, Didan tetap bungkam.

"Didan ngerasa apa emang?" desak Kirei, masih ingin menggali lebih lanjut. "Oh, udah minum obat? Yang siang belum. Mas Kalin bawain obat Didan, kan?"

Kirei tak peduli bila Didan akan mengatainya sebagai perempuan paling cerewet di muka bumi ini, toh dia hanya ingin mengembalikan Didan jadi sosok yang semestinya.

Didan akhirnya mendongak. Dia temukan sepasang mata cerah Kirei. Baru kali ini dia perhatikan wajah gadis itu. Wajah serupa malaikat, meski dia tak pernah bertemu malaikat. Tutur lembut dan gelagat sabarnya menjadikan orang ini termasuk ke dalam daftar orang-orang yang lolos seleksinya.

Cantik. Sudah lama Didan tak memuji seseorang. Dia membatin bahwa Kirei memang cantik. Parasnya tidak membosankan bila dipandangi terlalu lama. Gigi kelincinya berjajar rapih, sehingga menambah kesan imut. Dia suka wajah itu—Didan kagumi wajah Kirei cukup lama.

"Dan?"

Ketika Kirei mengibas sebelah tangan di depan wajah Didan, saat itu juga pujian tadi kembali tenggelam bersama asa dalam hatinya.

"A-aku nggak suka ketemu orang."

Kirei tersenyum memaklumi, "Iya. Itu karna Didan lama nggak ketemu orang lain. Lama banget. Makanya, sekarang dibiasain, ya." Kemudian, Kirei membukakan bungkus roti yang dioles selai rasa melon itu, baru mengangsurkannya pada Didan. "Makan dulu, ya. Abis itu, minum obat. Biar cepet sembuh."

Didan gamang menerima sodoran Kirei, sebab sejenak dadanya seperti bergemuruh, jantungnya bagai berdebar. Sehingga dia sempat berpikir, apa Kirei bisa dipercaya? Benarkah Kirei tak punya maksud terselubung? Bagaimana kalau dia mau bercerita? Tentang semuanya?

Didan tetap meragu.

Satu sampai dua gigitan Didan telah Kirei amati dengan senyum merekah. Dia senang Didan mau sedikit demi sedikit membuka dirinya. Dia senang Didan pelan-pelan bersedia menerima uluran tangannya. Tidak apa-apa bila dia hampir seperti bicara dengan tembok karena tidak ada timbal balik. Tidak apa-apa bila dia sering diabaikan dan tak dianggap ada. Setidaknya, dia berusaha.

"Enak?"

Didan mengangguk sepintas.

"Kenapa suka melon? Kenapa semua rasa melon Didan suka?"

Didan terhenyak. Sekejap itu, dia justru bertaut dengan masa lalu. Kenapa melon? Kenapa semua harus rasa melon?

"Karena enak. Melon itu enak," ungkap Didan, urung menjabarkan alasannya. "Mas Bintang dulu suka melon. Sekarang udah nggak."

Kirei seperti mengurai benang kusut dan satu hal yang paling dia sadari adalah Didan selalu membicarakan Bintang. Dia selalu mengaitkan Bintang dalam setiap hal yang dia alami. Kesimpulannya, Bintang pasti orang paling berpengaruh dalam hidupnya.

"Didan paling sayang sama Mas Bintang, ya? Kalau sama Mas Catur atau Mas Kalin kayaknya nggak seberapa."

Didan diam lagi. Rotinya sudah habis, sehingga Kirei buru-buru membukakan tutup botol air mineral agar lawan bicaranya ini bisa langsung minum.

Lantas, pemuda kurus itu bergumam, "Sayang semua. A-aku sayang semua, tapi cuma Mas Bintang yang sayang aku."

Kali ini, Kirei yang membisu. Selang tiga detik, dia baru bisa mencerna maksud Didan, lalu menimpali, "Kenapa gitu? Kenapa Didan bisa bilang kalau Mas Catur sama Mas Kalin nggak sayang Didan?"

Hold Your Breath [✓]Where stories live. Discover now