19: perubahan hidup

371 58 6
                                    


Semula hanya Bintang yang bersedia mengantar Didan ke kamarnya, tapi ternyata Catur, Kalin, Marsya, dan Livia turut mengekor di belakang. Begitu sampai, mereka berlima menunggu di ambang pintu, sementara Didan dibiarkan mengeksplor bekas-bekas traumanya di sana.

Didan berdiri di tengah ruangan. Dia memproyeksi ingatan menyakitkan di mana hanya ada bentakan dan pukulan yang dilayangkan padanya. Lantas, dia pandangi sejenak dinding kusam yang menjadi alasnya menumpahkan derita.

"Aku ngitung hari," gumam Didan sambil mendekat ke deretan garis yang dia gores menggunakan kapur. "Tiap hari gambar satu garis."

Sekian pasang telinga yang menangkap ungkapan itu mendadak ingin ditulikan. Semenjak sesak bergulir ke setiap dada mereka, saat itu juga Didan mengenang sebanyak apa garis yang dia torehkan di dinding ini. Semua pasang mata saksi itu juga mendadak berpaling ke arah lain selain sosok rapuh yang menetap di dalam.

"Garisnya udah banyak. Berapa hari aku nggak ngitung hari, ya?"

"Mulai sekarang nggak usah diitung lagi," kata Catur.

Namun, Didan tak merespon sebab dia sudah teralih ke gambar kue ulang tahun di sebelah garis-garis bertumpuk itu. Kemudian, dia mencicit, "Aku kapan ulang tahun? Lupa. Nggak tahu. Terakhir, aku nguping ulang tahun Mas Bintang yang dirayain di ruang tengah situ. Pas umur tujuhbelas. Berarti ini kuenya Mas Bin." Karena namanya disebut, Bintang jadi kelimpungan menguasai diri sendiri.

"Bentar lagi lo ulang tahun. Nanti dirayain," ujar Kalin.

"Boleh? Nggak dimarahin? Mau kue rasa melon ada?"

Didan tak sadar tersenyum saat semua kepala di sana mengangguk antusias. Semua. Benar-benar kelimanya serempak mengangguk.

"Lo tahu nggak? Itu senyum pertama lo buat kita semua."

Didan terkesiap saat Bintang bicara demikian. Lalu, dia menyentuh bibirnya sendiri sambil melirih, "Aku senyum? Nggak nangis?"

"Kenapa nangis? Banyak-banyak senyum aja sekarang."

Didan mengerjap, "Iya."

Selanjutnya, Didan memindah posisi. Dia bergerak ke ranjangnya. Duduk di sana sambil merasakan per kasur yang sudah mencuat ke sana sini. Tak layak pakai.

"Kasur ini ada di sini pas Mas Bintang beli kasur baru," oceh Didan lagi. Terus menyambung sesal di hati ketiga kakaknya. "Kalau Mas Bin nggak beli kasur baru, aku tidur di lantai terus."

"Jangan disela. Biarin aja," titah Marsya. "Didan lagi recall memorinya. Dia cuma mau nostalgia sebentar sebelum fokus ke perubahan yang dia hadapi setelah ini."

Selaku guru taman kanak-kanak yang biasa menangani anak kecil, Marsya paham betul perasaan Didan yang butuh validasi itu. Dia mengumpamakan Didan seumuran dengan para muridnya. Didan begitu karena dia telah meninggalkan banyak hal. Wajar bila dia masih tertinggal di masa sebelum dia dikurung sebab setelah dikurung dunianya hanya berporos di ruangan sesempit ini.

"Gue nggak bisa bayangin jadi Didan," cetus Livia. "Sakit banget. Kenapa dulu kita se-ignorant itu, ya? Kenapa kita percaya semua omongan Ayah sama Ibu tanpa cek faktanya?"

Sebagai apoteker yang selalu bergelut dengan berbagai jenis obat, sedikit banyak Livia paham tentang kriteria pasien yang ketergantungan dengan obat untuk masalah psikologis. Dia sering mengecek seperti apa orang-orang yang diharuskan menjaga emosi agar tetap stabil setelah dihantam trauma pahit bertubi. Ternyata, dia tak perlu sejauh itu sebab Didan yang sedekat ini memerlukannya lebih dulu.

"Talinya masih ada."

Karena telunjuk Didan mengarah ke sudut ruangan, maka semua atensi jadi berpindah ke seutas tali tambang di plafon.

Hold Your Breath [✓]Where stories live. Discover now