03: tangisan pertama

422 58 9
                                    

Kirei pantang tidur sebelum menyelesaikan skripsinya. Sekarang, dia sudah sampai di bab empat, bab di mana penelitian sesungguhnya dimulai. Semua waktunya tersita, selain itu ada pikiran yang terbebani dan tenaga yang terkuras. Demi apa pun, dia begitu lelah. Namun, setidaknya dia bisa beralih sejenak dari kepenatan itu dengan aktif di sebuah komunitas peduli sesama. Sayap Pelindung, namanya. Komunitas ini didirikan sebagai sarana dan prasarana untuk menyalurkan bantuan pemerintah kepada mereka penyandang disabilitas.

"Tapi, sumpah. Beneran ada yang aneh sama Didan."

Monolog Kirei mengiringi dirinya yang lebih memilih untuk menyandarkan punggung dibanding berkutat dengan layar laptop. Dia berpikir keras sambil meruntut kejadian yang dialami Didan. Sebelum orang tuanya meninggal, dia sudah merasa janggal. Semula, dia kira keanehan-keanehan Didan muncul karena dia memang pengidap skizotipal, tapi lama-lama dia mulai paham sebab ternyata anak itu punya rasa takut berlebih bila dihadapkan dengan orang tuanya sendiri dibanding dengan orang lain.

"Iya. Kadar ketakutannya, tuh, beda gitu—"

Kirei tidak meneruskan karena ponselnya bergetar. Dia melirik sekilas ke layar yang menyala-nyala di sana. Sebuah nomor tak dikenal. Biasanya, Kirei tidak akan mengangkat sembarang panggilan, tapi kali ini dia tergerak untuk menekan tombol hijau tanda diterima.

"Ha-halo?"

["Ini nomornya Kirei? Masih ingat saya? Bintang. Mm, yang tadi ngasih kartu nama di pemakaman."]

Kirei tercekat, sehingga dia spontan beranjak dari kursi dan berjalan mondar-mandir di sekitar meja belajarnya, baru membalas, "Oh. Iya. Mas Bintang. Kakaknya Didan? Kenapa, ya, Mas?"

["Kamu bisa nggak datang ke alamat yang saya kirim habis ini? Soalnya, kita semua butuh bantuan kamu. Didan kayaknya kambuh. Dia ngelantur sambil teriak-teriak."]

Kirei meneguk ludah sebelum menyambar mantap, "Bisa, Mas. Saya hubungi teman saya dulu, nanti kita langsung ke sana."

["Makasih, ya."]

Kemudian, sambungan mereka terputus dan tanpa mengulur waktu lagi, Kirei segera menelepon Sapta.

***

Bintang mengantongi ponselnya setelah berhasil meminta Kirei datang ke rumah Catur. Lalu, dia amati keadaan Didan yang bersimpuh di lantai sambil memeluk dirinya sendiri itu. Dia telaah baik-baik bagaimana ekspresi ketakutannya, yang sedetik demi sedetik berubah jadi antipati. Sejauh yang dia temukan di laman pencarian google, pengidap skizotipal cenderung berhalusinasi dan berdelusi tentang hal-hal mistis yang tidak sewajarnya. Jadi, kemungkinan yang dia lihat tadi adalah sosok-sosok tak nyata. Maksud Bintang, mana mungkin arwah orang tuanya yang sudah tenang itu mendadak muncul?

Yah. Meski tidak menutup kemungkinan, tapi Bintang tidak percaya takhayul semacam itu.

"Gimana, Bin?"

Bintang membuyarkan lamunannya dan memenuhi panggilan Kalin—yang sedang menyesap secangkir kopi di meja ruang tengah sana dan dengan gestur setenang itu tanpa khawatir sedikitpun mengenai keadaan Didan.

"Lagi perjalanan ke sini."

"Luka-luka itu kita obatin sendiri?"

Bintang melirik ke arah Catur—yang duduk di depan Kalin, sama-sama sedang menikmati kopi mereka. Lantas, kembali menatap Didan yang memang hampir tidak pernah mereka bertiga temui. Jadi, wajar bila ada jarak sebegini jauhnya.

"Iya. Kalau sampai orang komunitas itu tahu bisa bahaya."

Kalimat Bintang disetujui Catur dan Kalin. Sebisa mungkin, mereka harus bisa mencegah piyama Didan tersingkap, sehingga tidak ada bekas penyiksaan yang terendus orang luar.

Hold Your Breath [✓]Where stories live. Discover now