09: memihak yang seharusnya

276 53 22
                                    

Setiap kali makan malam tiba, semua anggota keluarga Mahameru duduk melingkari meja makan yang hanya diisi lauk-lauk sederhana. Sewakul nasi yang dibagi jadi enam, telur dadar dua potong yang masih harus dibagi jadi dua lagi, dan semangkuk sayur bayam yang cepat dingin. Tidak pernah ada obrolan di sini sebab semua orang fokus menyantap makanan mereka. Sebisa mungkin menghabiskan apa yang tersaji di masing-masing piring.

Namun, di sela itu, ada satu hal yang selalu membuat Didan iri. Piringnya tidak pernah mendapat lauk tambahan dari Catur maupun Kalin. Kedua kakak tertuanya itu sama-sama memberikan kelebihan lauk mereka ke piring Bintang. Meski begitu, dia tidak bisa protes selain melirik hati-hati.

Wardy dan Marsina memperhatikan anak-anak mereka yang belum memasuki masa pubertas itu dalam diam. Mereka juga mendiamkan terjadinya perbedaan secara terang-terangan yang dialami Didan.

"Kalau udah selesai, cuci piringnya sendiri-sendiri," ujar Marsina, yang segera dibalas anggukan patuh keempat anaknya. "Abis itu, langsung cuci kaki cuci tangan dan tidur."

"Eumm, Ibu."

Marsina menoleh sedikit menuju panggilan Didan, tapi tidak menyahut.

"Uang SPP-nya aku sama Mas Bintang kapan dibayar, Bu? Soalnya, kata pihak sekolah, kalau tunggakan belum lunas, kita nggak boleh ikut ujian kenaikan kelas."

Bintang meneguk ludahnya begitu sadar bahwa nyali Didan benar-benar di atas rata-rata, sehingga dia perlu menyikut rusuk adiknya itu agar tak perlu melanjutkan cerocosannya.

"Kamu pikir cari uang gampang?"

Didan mengerjap saat pertanyaannya barusan justru dijawab Wardy. Dia pun terburu menimpali sebelum terjadi kesalahpahaman yang lebih parah, "A-aku tahu, Yah. Aku cuma ngingetin."

"Ayah banting tulang jadi supir travel ke mana-mana itu demi kalian berempat! Tinggal sabar dan tunggu apa susahnya, sih?" amuk Wardy, mendadak tersulut emosinya sendiri. Dia memang kelelahan, baru pulang dari mengantar penumpang ke Bali setelah seminggu nonstop mengantar penumpang di dalam kota Jakarta saja. "Sudah sana! Tidur semua!"

Bintang spontan mengambil piring ketiga saudaranya. Tanpa peduli ini milik siapa, dia dengan sukarela mencucinya di dapur. Didan mengekori Catur dan Kalin yang berjalan gontai ke kamar mereka berempat. Kamar sempit yang mereka tempati hanya untuk tidur. Meski beralaskan tikar tipis, tidak ada yang pernah mengeluh sedemikian rupa. Namun, begitu ketiganya sudah di dalam kamar, Catur dan Kalin sama-sama menyudutkan Didan.

"Kebiasaan, deh. Kamu bisanya cuma mancing-mancing sampe akhirnya bikin Ayah marah gitu," cetus Kalin, serta-merta mendorong bahu Didan hingga adiknya itu tersungkur di lantai. "Aku juga pengen punya keluarga harmonis, tapi setiap kamu buka mulut selalu aja akhirannya gini. Perusak suasana tau nggak?"

Didan tidak terima disalahkan sebab dia merasa telah melakukan hal yang benar, jadi dia menepis, "Mas. Aku cuma nanya, aku nggak maksa. Aku mau tahu kapan pastinya."

"Ya harusnya kamu tahu diri," sambar Catur, sejenak berdecak sebal sambil menatap remeh Didan yang bersimpuh di bawahnya. "Nggak bisa apa contoh Bintang? Biar gimanapun keadaannya, dia nerima. Nggak kebanyakan protes kayak kamu. Heh. Bukan kamu doang yang menderita di sini, Dan."

Didan terhenyak, tapi mulai hari ini semuanya tak akan membaik. Dia sadari bahwa Catur dan Kalin tak menyayangi dia sama seperti mereka menyayangi Bintang.

Bintang tertegun begitu Didan menyelesaikan ceritanya. Cerita yang didominasi dengan produksi kata seadanya dan susunan kalimat tak tepatnya. Biar begitu, dia tetap paham dan menangkap makna sebenarnya.

Hold Your Breath [✓]Where stories live. Discover now