05: maaf perdana

375 58 8
                                    


"Aku mau pulang! Aku mau ke kamarku!"

Teriakan Didan membuat Catur dan Bintang kepalang panik. Sembari menunggu Kalin datang, mereka akhirnya menyeret Didan ke ruang suplai. Ada beberapa pasang mata memperhatikan, sehingga hal itu makin memicu ketidakstabilan mental Didan.

Begitu sampai, Catur agak membanting Didan hingga adiknya itu tersungkur di lantai. Lantas, berdesis tajam, "Rumah beserta kamar yang lo maksud itu udah nggak ada! Lo nggak bakal bisa ke sna lagi, ngerti?"

"Mas," panggil Bintang sengaja memperingatkan sebab dia terbersit pesan Kirei untuk tidak mengasari Didan. "Jangan buat masalah sekarang, Dan. Gue lagi banyak pelanggan. Mending lo diem dulu di sini sampe Mas Kalin bawain obat lo, deh."

Namun, karena Didan seperti sedang menulikan pendengarannya, maka Catur yang merasa tidak terima. Dia akhirnya menyambung penuh tekanan, "Lo itu nitipin diri ke kita. Kalau masih mau hidup, caranya cuma harus nurut!"

Didan tidak pernah meminta untuk selalu hidup, terkadang dia penasaran apa rasanya mati.

"Ya udah. Tinggal dulu aja."

Ajakan Bintang disetujui Catur. Tanpa berpamitan apa-apa lagi, pintu ruangan lembab dan sempit ini ternyata dikunci dari luar. Didan memeluk dirinya sendiri, seketika merasa bahwa semua yang dia hadapi tidak pernah menguntungkan baginya.

"Pulang. Aku mau pulang. Pulang."

Racauan parau Didan membawa badan kurusnya kembali berdiri. Lantas, dia menyeret sebelah kakinya yang pincang hingga langkah terseok itu terhenti di depan pintu. Tanpa berpikir apa akibatnya, dia gedor keras-keras bahan mahoni ini.

"Pulang! Aku mau pulang! Pulang!"

Seruan Didan diiringi dengan sesuatu yang mencekam sekaligus menegangkan—yang hanya dirasakan Didan saat ini. Lama-lama, dia bergidik ngeri, lalu mulai ketakutan.

Menurut Didan, sekarang dia sedang dikelilingi oleh makhluk-makhluk astral yang menertawakannya. Tawa melengking itu bagai memekakan telinganya, sehingga dia perlu menggeleng sambil menutup kedua indera pendengar miliknya.

"Pergi!"

Tawa itu makin keras.

"Pergi dari sini!!!"

Tawa itu jadi semakin merasuki Didan.

Kemudian, ada sekelebat memori yang membawa Didan ke masa lalu. Masa di mana Wardy dan Marsina masih hidup dan kerap membohongi publik—mengatakan bahwa anak bungsu mereka ini punya banyak penyakit, padahal faktanya sehat sekali.

"Azdidan Mahameru. Azdidan Mahameru. Azdidan Mahameru."

Didan terus merapal namanya sendiri, entah apa esensinya, yang jelas dia hanya ingin menyibukkan diri. Malam tiba, maka pintu kamar sebentar lagi akan terbuka. Sejak putus sekolah saat kelas 5 SD dulu, dia benar-benar tidak tahu soal dunia luar. Jadi, ketika pintu terbuka di penghujung hari, dia akan dengan senang hati menunggunya. Walaupun, dia selalu berakhir tak baik-baik saja.

Didan tidak tahu ini hari apa, tanggal berapa, dan jam berapa. Dia sepenuhnya tanpa petunjuk. Dia bahkan tidak tahu sudah umur berapa. Namun, dia menyadari perubahan dirinya setiap berkaca di cermin toilet. Dulu, dia hanya anak kecil yang selalu merengek setiap kali rotan membekaskan memar di betisnya, tapi sekarang dia sudah menjadi remaja yang bila dicambuk sabuk akan diam seribu bahasa.

"Didan."

Didan spontan beranjak dari ranjang saat panggilan Wardy membelai telinganya. Kemudian, pria itu mendekat padanya, mencengkeram rahangnya, dan membanting wajahnya. Sedikit banyak sedang membuat trauma.

Hold Your Breath [✓]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن