11: tanpa harus percaya

277 49 8
                                    

"Mas Bintang mana?" tanya Didan sambil celingukan. Dia sempat bingung karena setelah diturunkan di kafe ini, Bintang mendadak pergi sekalian menitipkannya ke Sapta dan Kirei. Jika sama-sama di kafe, mengapa tidak di kafe milik Bintang saja? Namun, dia tak bisa mendapat jawaban apa-apa hingga dia putuskan untuk mendiamkan jus melon yang dipesankan untuknya, baru mencicit, "Tadi Mas Bintang janji mau nemenin makan melon. Bukan makanan, tapi minuman. Nggak ada Mas Bin."

Kirei berdeham sebentar, lalu menimpali dengan kelembutan di atas rata-rata. "Iya, Dan. Mas Bintang lagi ada perlu dadakan. Makanya, kita yang temenin. Oh, Didan juga bentar lagi ikut kelas dari programnya Sayap Pelindung, kan? Nanti bisa punya banyak temen, deh."

Didan seketika terkesiap, lantas cepat-cepat menggeleng, "Aku kan nggak suka manusia. Aku benci. Aku takut. Nggak mau!" Sebelum dia beranjak, ada tangan Sapta yang menariknya untuk kembali duduk, sehingga dia memprotes, "Lepas! Aku mau pulang ke Mas Bin!"

Sapta mengesah sejenak, lalu menatap manik mata sayu Didan lamat-lamat. "Dan, ini semua demi kebaikan kamu. Ayo, sembuh. Meski kamu nggak mau cerita ke kita, setidaknya biar kita bantu kamu sembuh dari trauma yang sengaja diciptakan buat kamu itu."

Didan terdiam, berusaha mengerti, tapi tetap belum mencapai kapasitasnya. Di sela keheningan tersebut, sosok Kalin tiba-tiba muncul di hadapan mereka.

"Gue jemput Didan."

Didan akhirnya mendongak, kemudian terburu menolak, "Nggak. Mas Bin aja."

"Sori, ya. Gue bawa Didan pulang dulu."

Belum sempat Sapta dan Kirei berpamitan apa-apa, Didan sudah setengah diseret Kalin untuk meninggalkan pelataran kafe.

***

"Melon."

"Kan udah tadi."

"Mas Bintang janji beliin melon."

"Iya. Nanti gue beliin. Udah diem."

Alhasil, Didan menoleh ke jalanan yang tampak dari jendela di samping kepalanya ini. Di kala Kalin sibuk menyetir, dia justru teringat dengan coretan-coretan abstraknya di dinding kamar serupa penjara yang dia tempati 13 tahun terakhir.

"Kenapa nggak Mas Bin?"

Kalin berdecak, "Dia sibuk. Ini juga jadwalnya gue."

"Kita nggak pulang?"

Kali ini, Kalin refleks menengok, "Kan emang lagi perjalanan pulang—"

"—ke rumah Ayah sama Ibu," cicit Didan. "Aku mau gambar di tembok."

"Udah nggak bisa. Rumahnya bukan rumah lo lagi. Lagi proses dijual," jelas Kalin seadanya. "Oh. Tadi Bintang bilang, punggung lo masih banyak memarnya. Nanti biar istri gue obatin. Kan dia apoteker. Pasti tahu obat-obat yang cepet buat memulihkan."

Didan menggeleng, baru menyahut, "Mbak Livia. Mamanya Kanya. Dia nggak suka aku. Sama kayak Mbak Marsya. Mamanya Zidan."

Kalin memelankan laju mobil saat suara serak Didan membelah jalur memori masa lalunya—bicara tentang tidak suka, dia pun pernah begitu. Pernah atau masih, dia enggan menjabarkannya untuk di masa sekarang.

"Mas Kalin juga. Mas Kalin nggak suka sama aku. Mas Kalin cuma sayang sama Mas Bintang. Mas Catur juga. Mas Catur nggak suka sama aku. Mas Catur cuma sayang sama Mas Bintang. Karna aku nakal? Aku nggak senurut Mas Bintang, ya?"

Dalam sekejap, Kalin tercekat. Dia lega saat ada lampu merah, sehingga dia bisa melonggarkan fokusnya.

"Lo harusnya berterima kasih, Dan. Karna kalau bukan gue sama Mas Catur yang nangisin lo pas Ibu mau gugurin lo, lo itu nggak bakal ada di dunia ini."

Hold Your Breath [✓]Место, где живут истории. Откройте их для себя