10: mengapa sesakit ini

317 50 9
                                    

Didan memilin jemarinya, kedua kakinya bergerak terus menerus, tatapannya terarah ke ubin, dan kepalanya tertunduk begitu dalam. Di dalam benaknya ada beragam memori pesakitan yang dusta bila tak ia anggap menderitakannya.

"Waktu a-aku umur sepuluh tahun, Ayah sama Ibu ngurung aku di kamar untuk pertama kalinya."

Fabian tercekat, tapi tidak menyela sama sekali.

"Ke-kenapa, Yah? Ke-kenapa, Bu? A-aku salah apa?"

Cicitan Didan tak dihiraukan, tapi Wardy mendorong kedua bahunya secara kasar hingga dia jatuh dan bersimpuh di lantai. Kemudian, Marsina justru menyahut, "Kamu itu apa nggak bisa senurut kakak-kakak kamu? Siapa yang ngajarin kamu jadi anak pembangkang yang ngelawan terus? Hah?!"

"A-aku nggak ngapa-ngapain. Aku cuma belain Mas Bin."

Alasan Didan terdengar bagai kebohongan semata di telinga Marsina, hingga Wardy pun mengambil alih, "Kita itu miskin. Harusnya jangan berulah. Ini malah sampe dipanggil ke sekolah. Malu-maluin!"

Suara bentakan yang menggelegar ke seluruh penjuru kamar itu membuat Didan berjingkat kaget. Dia meneguk ludah, lalu meringkuk demi bisa memeluk dirinya sendiri. Tak lama, badan kurusnya ditarik Wardy hingga ia terpaksa berdiri.

"Maaf, Yah. Aku nggak ada pilihan lain selain mukul mereka karna udah berkali-kali diingetin mereka tetep jahatin Mas Bin—akh!"

Kalimat penjelasan Didan terhenti saat Wardy dengan sengaja menjambak rambutnya. Ketika dia hanya bisa meringis sambil menetapkan pandangan menuju langit-langit kamar yang sudah bocor sana-sini, saat itu juga Wardy mencengkeram rahangnya.

"Dari dulu kamu itu jadi satu-satunya anak paling nakal di antara semuanya! Contohlah itu Catur, Kalin, sama Bintang yang selalu nurut dan nggak pernah protes, bahkan bikin ulah sampe malu-maluin keluarga!" hardik Wardy sambil tersengal mengatur napasnya. Selang sedetik, dia banting wajah Didan, sehingga cengkeraman sekaligus jambakan itu terlepas seutuhnya. "Nggak tahu terima kasih banget! Maunya apa?!"

Didan yakin, dirinya tidak salah, apa yang dilakukannya tidak keliru, tapi kenapa dia dimarahi? Terlebih, dia begini karena membela saudaranya sendiri.

"Harusnya dia nggak usah dilahirin. Kan apa Ibu bilang, Yah?" celetuk Marsina yang dalam sekejap membuat Didan tertegun. "Kehadiran kamu nggak pernah diharapkan. Kita cuma mau punya tiga anak, tapi kenapa kamu lahir, Dan? Nambahin beban kita aja. Udah minum pil KB, tapi kenapa harus kebobolan? Kalau Catur sama Kalin nggak ngerengek minta kamu dilahirin aja, pasti kita nggak perlu jalanin kehidupan semenyengsarakan ini."

Padahal Didan memang tidak minta dilahirkan. Dia tidak bisa memilih akan lahir di keluarga mana dan dengan orang tua seperti apa. Dia merasa janggal sebab bagaimana mungkin orang tua kandung mengatai anak kandungnya sendiri seperti itu? Dia tetap berpegang bahwa pasti ada alasan lain mereka selalu membencinya.

"Mulai sekarang, kamar ini ditempatin Didan aja," ujar Marsina dengan penuh penekanan. Sejenak membuat Didan berpikir bahwa ini bukan seperti kamar, tapi sudah seubah gudang. Letaknya jauh dari ruangan-ruangan lain di rumah ini, terpencil. Sekeliling dindingnya pengap dan lembab. Tidak nyaman sama sekali untuk ditempati. "Hidup kamu berporos di sini."

"Ya. Duniamu di sini, bukan di luar sana. Di luar kamu cuma bisa buat masalah. Di dalam sini, kamu nggak bakal bisa ngapa-ngapain," tambah Wardy, mendukung pernyataan istrinya. Setelah Didan berhasil mencerna, itu artinya dia tak diperkenankan sekolah lagi. Hidupnya mutlak dirampas. Mau mengelak pun, dia hanyalah seorang anak kecil. "Nikmati."

Ketika dua punggung itu berbalik, Didan putuskan untuk mengejar mereka. Persetan dengan harga dirinya, dia kini memeluk kaki-kaki itu, toh kaki orang tuanya sendiri, sambil menangis dan memohon ampun.

Hold Your Breath [✓]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora