06: tempat sepi

312 52 5
                                    

"I-ini minuman apa?"

Didan ragu seketika saat Marsina menjejali minuman berwarna pekat yang dia sendiri tidak tahu mengandung apa saja. Di usianya yang ketujuhbelas ini, dia memang sudah bisa menolak semua perlakuan bejat orang tuanya, namun jika Wardy memegangi kedua tangannya seerat ini, dia tetap kalah telak. Dia hanya remaja kurus, sementara kedua orang di depannya ini adalah orang-orang dewasa yang sehat fisik, tapi tidak sehat mental.

"Minum aja! Jangan banyak protes kamu, ya!"

Alhasil, setelah seruan Marsina barusan, Didan merasakan cengkeraman kuat Wardy kini berpindah menuju rahangnya. Demi apa pun, dia sudah kepalang berusaha, tapi pada akhirnya cairan menyangsikan itu tetap melewati tenggorokannya.

"Telan! Jangan dimuntahin!"

Setelah separuh cairan berhasil masuk, botol itu pun terjatuh di lantai. Seketika itu juga, Didan mendapati deretan huruf yang membentuk kata—pestisida.

Tak lama, Didan kejang-kejang. Keringatnya mengucur deras, pupilnya menyempit, dan degup jantungnya tak teratur. Didan kepayahan mengambil napas, tapi Wardy dan Marsina tidak panik sama sekali.

"Bu, kita telpon ambulance sekarang?"

"Iya, Yah. Buruan. Dari pada fatal."

Percakapan itu Didan simak dengan hati terbelah jadi dua. Ternyata, ada udang di balik batu. Dia harus mengalami pesakitan ini dulu agar asuransi bisa diklaim.

Kemudian, Didan pingsan.

"Didan?"

Kirei memanggil, tapi tak bersahut. Maka, dia berinisiatif menyentuh perlahan salah satu bahu pemuda yang tengah berlutut di rerumputan itu dan setelah mengintip sejenak ternyata ada air mata merebak di pelupuk sana.

Kemudian, Sapta hadir, serta-merta meminta penjelasan atas apa yang terjadi sebelum dirinya datang, tapi balasan Kirei hanya  sebuah gelengan.

"A-aku mau pulang," cicit Didan, lalu membalik badannya demi menemukan Sapta dan Kirei. "Pu-lang."

Karena penggalan Didan didominasi tekanan, itu berarti dia memaksa untuk dituruti. Maka, Sapta segera membantu Didan berdiri, sementara Kirei mengekor di belakang. Namun, tiba-tiba Didan berhenti melangkah. Dia meneguk ludah, lalu menunduk dalam-dalam sebelum bicara lirih.

"Jaket biru punya siapa?"

Sapta melirik Kirei untuk menunggu balasan dari si pemilik jaket, tapi gadis bergigi kelinci itu malah takjub bukan main—sebab Didan mengingat jaketnya. Pemuda itu mulai menaruh peduli pada hal-hal kecil dan tentu saja ini merupakan sebuah kemajuan untuk kemampuan sosialisasinya.

"Rei."

"Punya gue. Eh, punya aku, Dan. Kenapa?"

"Ada di mobil Mas Bintang."

"Oh, buat lo aja. Muat, kan? Itu jaket oversized, kok. Terus, modelnya juga nggak cewek banget. Mana badan lo juga kurus, jadi pasti cukup."

"Ada di mobil Mas Bintang."

Ketika Didan mengulang, Sapta memberi isyarat agar Kirei tak membantah lebih banyak.

Hold Your Breath [✓]Where stories live. Discover now