08: tidak diterima

326 50 19
                                    


Kirei lagi-lagi dihubungi Bintang untuk segera meluncur ke rumah Catur. Bukan untuk menangani Didan, tapi untuk menemaninya sampai mereka pulang. Seperti biasa, dia mengajak Sapta, yang untungnya tidak pernah menolak. Sekarang mereka berdua sedang mengamati Didan yang duduk di lantai sambil memeluk kedua lutut; kepala dibenamkan, bahu melorot, dan tidak ada suara apa pun darinya.

Sapta dan Kirei sempat saling bertatapan, lalu berbisik satu sama lain.

"Kalau kata Mas Bintang sampe segitunya, bahaya nggak, sih? Halusinasinya makin nggak terkendali, dong? Harusnya kita hubungi Dokter Fabian juga, kan?" tanya Sapta, sejenak membuat Kirei berpikir cukup lama dan berakhir membenarkan kesangsian itu dalam hati.

"Iya. Masalahnya, semua keputusan dipegang pihak keluarga, tapi menurut gue, keluarga Didan sendiri juga agak-agak mencurigakan gitu." Kirei bahkan tidak sadar telah menuduh tanpa bukti. "Kita nggak bisa gerak kalau wali Didan nggak kasih persetujuan. Kita nggak boleh sembarangan hubungin Dokter Fabian."

Sapta mengangguk sepintas, lantas menyahut lagi, "Didan bereaksi kayak gini, pasti ada sebabnya. Dia lewat obat beberapa kali, lingkungannya bikin dia terintimidasi, nggak ada yang ngajak dia ngobrol, nggak ada yang mau repot nemenin dia."

Kirei setuju tanpa bantahan, baru menimpali, "Emang. Tapi, sekali lagi, kita nggak berhak ngapa-ngapain selain ngingetin mereka soal keadaan Didan yang perlu perhatian khusus. Jangan sampe kejadian ini terulang."

"Semisal, beneran dibawa ke RSJ gimana?"

"Jangan. Didan nggak segila itu. Maksud gue, kita masih bisa ngatasin. Maksud gue, dia cuma butuh dirangkul dan dituntun untuk melalui traumanya. Tapi, trauma apa, deh? Gue baru sadar. Kenapa dia bisa tiba-tiba punya masalah mental padahal dia cuma diem di rumah dikelilingi sama Pak Wardy dan Bu Marsina yang sayang banget sama dia?"

"Loh. Kok lo bikin gue mikir, sih?"

Kejanggalan yang baru terbersit di benak Sapta dan Kirei itu harus usai ketika Didan selesai menyendiri. Pemuda itu berdiri, kemudian menatap gerimis di luar jendela. Menurut mereka, ini adalah saat yang tepat untuk mendekat padanya. Didan sadar ada langkah-langkah yang diatur sedemikian rupa agar tak menimbulkan suara mengejutkan di belakangnya. Dia memang belum pulih dari kejadian sebelum ini, dia merasa sangat takut bila Zidan tak selamat, dia resah, dia risau, sudah berjam-jam dia menunggu kabar soal Zidan agar rasa bersalahnya ini menghilang. Dia benar-benar tak sengaja, dia hanya keliru mengira, dia hanya terjebak di dimensi menyakitkannya. Dia sama sekali tak bermaksud mencelakai keponakannya sendiri.

Namun, hantaman Catur di pipi kirinya masih membekas di hatinya yang terluka.

"Mas Catur marah sama aku."

Sapta dan Kirei sama-sama terkesiap, tapi memutuskan untuk tidak menyela.

"Aku mau minta maaf. Aku mau minta maaf. Aku mau minta maaf—"

"—Didan, stop." Sapta bergegas mengguncang kedua bahu Didan, seketika menyadarkan pikirannya yang bercabang ke mana-mana. "Mending kamu tidur, ya?"

"Aku mau minta maaf. Aku mau minta maaf. Aku mau minta maaf—"

"—ayo, kita turuti aja," sambar Kirei, memang tanpa berpikir dua kali sebab racauan parau Didan sudah memengaruhinya. "Didan maunya gitu. Mending dilurusin sekalian, kan?"

Sapta menggeleng, "Nggak bisa. Kan kita dimintanya nemenin Didan di sini, Rei. Lo jangan gegabah, dong."

"Gue aja yang bilang ke Mas Bintang."

Sebuah pamungkas dari Kirei yang jelas enggan didebat lagi.

***

Bintang mengantongi ponsel dengan raut berantakan seusai Kirei meminta ijinnya untuk membawa Didan kemari. Raut itu didapati Kalin dan Livia yang sedang menunggu giliran menjenguk Zidan di ruang inapnya. Di dalam sana masih ada Catur dan Marsya yang tak henti bersyukur karena Zidan masih diberi nyawa, juga Kanya yang dibaringkan di sofa karena anak kecil itu sudah terlelap.

Hold Your Breath [✓]Where stories live. Discover now