20: seandainya tak begitu

289 53 6
                                    


Setelah pulang dari taman pemakaman umum tempat Wardy dan Marsina dikubur dengan tanah, Didan justru tak tenang. Dia kira dia bisa menghadapinya, tapi yang terbayang di benak hanya bekas-bekas luka di sekujur badan; seperti terkelupas lagi, bagai bernanah untuk kesekian kali. Padahal, dia sudah membaik. Dia akui dia punya banyak stok hari-hari menyenangkan di depan sana.

Kejadian berkunjung ke peristirahatan terakhir orang tua yang tidak pernah menyayanginya itu bahkan sudah berlalu dua hari.

"Besok waktunya terapi, Dan. Ketemu Dokter Fabian."

Didan mengerjap sesaat setelah suara Bintang menginterupsi lamunannya. Dia alihkan tatapan dari layar TV menuju wajah seorang kakak yang paling dekat dengannya. Dia amati sebentar sampai akhirnya mengangguk sepintas.

"Kenapa? Kok kayak ada yang dipikirin?"

Ketika Bintang duduk mensejajari dirinya, Didan malah sigap terkesiap. Entah mawas diri pada hal apa, yang jelas dia tidak sengaja melakukannya.

"Ng, nggak."

Bintang memicing, "Dan. Gue tahu lo kenapa. Nggak papa. Lo nggak usah ngerasa bersalah karna jadi anak durhaka. Lo nggak perlu jadi gue yang nangis di nisan Ayah sama Ibu. Lo nggak perlu jadi Mas Kalin yang nabur bunga di atas gundukan tanah itu. Lo nggak perlu jadi Mas Catur yang nyiramin air di atas gundukan tanah itu juga. Dan... lo nggak perlu maafin mereka yang udah bikin hidup lo berantakan, sekalipun mereka emang orang tua kandung lo."

Didan pernah lupa caranya mengolah emosi selain menerima semua siksaan yang ditujukan padanya dalam diam, tapi sekarang ada sebulir dua bulir air mata yang dia teteskan diam-diam.

"Gue, Mas Kalin, sama Mas Catur, emang bukan kakak-kakak terbaik lo, tapi kita sekarang udah sadar seberapa buruknya sikap kita di masa lalu. Kita terlalu cuek, kita terlalu bodo amat, dan kita bener-bener nggak peduli sama lo—yang notabene adek bungsu kita, yang paling kecil, yang paling muda, dan iya, yang paling beda sama kita karna cuma lo yang berani ngelawan Ayah sama Ibu, protes sana sini tiap kali ada yang keliru, dan... gue," cicit Bintang, tiba-tiba menggantung demi menyeka air mata yang merebak di pelupuknya. "Gue nyesel 13 tahun ini jadi salah satu tersangka yang ngerusak hidup lo dan ngubah kepribadian lo secara drastis. Gue sampe nggak ngenalim lo. Didan yang waktu masih bocah sama Didan yang udah seharusnya kuliah."

"Ng, nggak, Mas." Didan tidak tahu sejak kapan hanya dengan menyaksikan Bintang serapuh ini dapat membuatnya sesak napas. "A-aku nggak mau Mas Bin nangis. Aku berakhir kayak gini karna nggak mau Mas Bin nangis, kan? Aku... aku rela kehilangan semua yang ada di hidupku asal Mas Bin nggak direndahin, nggak terluka, nggak sakit. Aku yang mau bales mukul Kio, ja-jadi ini hukumannya. Gi-gitu, kan?"

Bintang menggeleng berulang kali, mata sipitnya semakin sembab, dan dia berakhir terisak sesenggukan dengan jeritan pilu di bahu Didan.

"Maafin gue..."

Kemudian, pelukan dua bersaudara ini pun tercipta di tengah heningnya malam.

***

Sama seperti sebelumnya, Kirei dan Sapta akan mendampingi Didan dan Bintang untuk sesi terapi dengan Fabian. Mereka perlu mencatat perkembangan Didan untuk disetorkan kepada founder Sayap Pelindung—untuk tahu sebermanfaat apa komunitas peduli sesama ini.

Namun, hanya dengan meneliti sosok Didan dari atas sampai bawah, Kirei tetap tidak menyangka kalau pemuda selemah inilah yang membuat Kio koma selama sebulan. Malam itu, dia memang belum banyak menggali informasi dari Kio karena sepupunya itu sudah diajak pakde dan budenya pulang duluan.

"Wah, kruk-nya baru, ya?"

Didan tersipu saat Kirei menyadari kruk yang dia pakai memang bukan kruk usang itu lagi. Untuk sekarang, Kirei akan bersikap seperti biasa saja supaya Didan tidak bingung.

Hold Your Breath [✓]Where stories live. Discover now