keempat puluh lima ; berakhir dengan praduga

3.1K 321 95
                                    


Nadhif menghela nafas panjangnya sembari mata pria itu sejak tadi memperhatikan sebuah rumah berukuran sedang yang di depannya telah ramai oleh banyak mobil yang terparkir. Ada tenda berukuran sedang diluar, kursi-kuri plastik yang berjejer, serta satu meja panjang yang penuh dengan hidangan catering. Identik sekali dengan sebuah acara. Namun, kali ini Nadhif bukan menghadiri acara pernikahan ataupun yang sejenisnya, melainkan acara aqiqah anak si Rudy—Dokter Rudy—yang dulu secara terang-terangan mencoba mendapatkan hati Shania saat gadis itu bahkan menjalin hubungan dengannya. 

Sebenarnya bukan Nadhif yang diundang, melainkan kakaknya. Kalian masih ingat kan kalau si Rudy ini sebenarnya teman kakaknya—teman si Rangga? Ya, kan? Hanya saja karena Rangga berhalangan hadir, maka Nadhif lah yang diminta untuk menggantikan. Secara Rangga dan si Rudy adalah sosok teman dekat di OSIS dulu. Sejujurnya, Nadhif tidak ingin pergi. Dia mau, bila Chelyn mau menemani. Tapi, kalau hanya sendiri? 

Yasudahlah, tidak perlu dibicarakan lagi. Buktinya dia sekarang ada di depan rumah keluarga si Rudy. Ia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat tahu Rudy yang dulunya tiada henti mengejar Shania bahkan sampai membantu Shania kabur ke Tulungagung, tiba-tiba dalam dua tahun sudah dikaruniai anak. Apa Nadhif yang terlalu lama pergi atau waktu memang berjalan secepat itu? Rasanya baru kemarin dia seperti perang sengir dengan dokter spesialis kardiotoraksis itu. 

Kalau bukan karena Rangga menitipkan sebuah hadiah satu set peralatan makan bayi, Nadhif ogah turun. Setelah hampir 15 menit lamanya ia berdiam diri mempertimbankan kembali putusannya di mobil, akhirnya Pria itu keluar dari besi berjalannya. Lantas melangkah masuk memberi senyum pada pihak keluarga yang menyapa mereka. 

“Nadhif?” mata Rudy membola ketika melihat Nadhif masuk dari pintu depan melewati para tamu yang ternyata lebih ramai dibanding dirinya. “Astaga, saya kira kamu masih di New Zealand” kalau Rudy tahu mengenai ini, berarti Rangga lah biang keroknya, “Kalau saya tahu kamu sudah disini, pasti saya undang kamu” 

“Mana kokohmu?” Rudy melirik ke balik bahu Nadhif sebelum kembali menatap Pria itu, “Gak bisa ya dia?” 

Nadhif mengangguk dengan senyum. Oke, tidak ada lagi yang perlu diributkan. Nadhif tidak berhasil mendapatkan Shania, begitupun Rangga yang kini sudah bahagia dengan keluarga kecilnya. Lantas, apa lagi alasan Nadhif untuk bertingkah brengsek pada dokter spesialis seumuran kakakya ini? Tidak ada, kan?

“Iya gak bisa, gue diminta gantiin Kokoh” jelas Nadhif. 

Glad you come, Dhif” Rudy menepuk-nepuk bahu Nadhif, “Apa tuh?” mata Rangga menurun pada kotak berbungkus kertas baby pink di tangan Nadhif. Sontak ada rasa bersalah yang menelusuri jiwa Nadhif karena tidak ikut membawa sesuatu untuk buah hati Rudy. 

“Hadiah dari Kokoh, buat anak lo” senyum Rudy mengembang, tangannya lantas merangkul Nadhif mendekati seorang wanita yang menggunakan dress sepanjang tulang kering dengan rambut yang tersanggul rendah. Wanita itu sibuk menggendong sang bayi yang kelihatan begitu cantik, menggeliat pelan mencari kenyamanan di dekapannya. Pasti istrinya. 

“Ayo ketemu sama Aisah dulu” ajak Rudy. 

Setelah bercakap-cakap singkat, Rudy berucap “Makan dulu, Dhif. Tadi beberapa menit sebelum kamu mampir kesini, Shania juga nyapa saya” mendengar nama gadis itu membuat hati Nadhif terasa tertohok. Shania ada disini? Tidak mung—ah yang seharusnya tidak mungkin berada disini adalah Nadhif, bukan Shania. Kenapa pula dia tidak terpikirkan itu? 

“Makan dulu, Dhif. Semur kambingnya enak. Saya kesana bentar ya” Rudy sekai lagi menepuk bahu Nadhif tanda pamit menghampiri teman-temannya yang lain. Meninggalkan Nadhif yang baru saja ditegur dan dituntun oleh salah satu pihak keluarga Rudy menuju meja panjang yang penuh makanan. 

Returning The FavorWhere stories live. Discover now