•21• Dia Yang Sudah Pergi

110 14 3
                                    

Siluet bercahaya tampak berpendar ke sekeliling Rindou. Aroma segar menyeruak sampai ke dalam indra penciuman. Sepasang mata membelalak bersamaan, dengan hentakan tubuh yang kuat. Ada perasaan aneh menghampiri Rindou. Dia seakan dipaksa bangkit untuk menyaksikan sesuatu di hadapannya.

"Bangun Rindou."

Suara lembut mengalun tidak asing, memancing Rindou lekas bangkit dari situasi hampa ini. Dengan nafas berlari-larian pria itu terduduk, menunduk menyaksikan salju yang masih sangat dingin bawah tubuhnya.

"Rindou."

Panggilan yang sekali lagi terdengar, kini menarik atensi sang pemilik nama mengamati satu titik dihadapannya. Siluet seseorang berbaju terang, seterang warna kulitnya. Tersebar senyum hangat dalam canvas kulit tenang berwarna pucat itu.

Rindou tercengang. Ada sesuatu yang hendak keluar dari tubuhnya tatkala menyaksikan pemilik raga lain itu tengah duduk bersila memanggil-manggil namanya dari jauh. Benteng emosi yang Rindou bendung retak saat itu juga. Air mata jatuh membasahi pipinya. Bahkan dingin suhu badai salju terasa kalah jauh dari afeksi dalam dirinya yang sudah meletup-letup.

Rindou bangkit, memapah kaki dengan sedikit pincang melangkah maju. Ada upaya mempercepat langkah dari tindakannya. Rindou berusaha keras menghampiri siluet itu secepat yang dia bisa. Butiran salju dingin bagaikan penghalang, perlahan seolah membekukan kaki miliknya.

Hingga usai sudah kiprah upaya Rindou. Dia masih menangis, meratapi sosok tersebut. Mereka saling bertatapan dalam diam. Rindou dengan segala keangkuhannya selama ini, kini terkurai lemas seakan tak berdaya oleh keadaan. Dia menggenggam tapak tangan orang didepannya penuh sesal.

"Ran, maafkan aku."

Pemilik nama hanya tersenyum sembari mengelus pucuk kepala sang adik.

Seketika dinginnya salju berhenti. Seakan luluh oleh emosi yang timbul di antara mereka berdua. Pelan-pelan keping putih cerah di sana mulai mencair, dan lekas menimbulkan kehangatan musim panas. Musim telah berganti begitu cepat, menampilkan langit orange di atas sana. Badai salju terhempas digantikan udara sejuk yang begitu damai.

"Kau tidak melakukan kesalahan, Rindou." Ran memapah lengan adiknya agar bangkit dan duduk saling bertatapan.

Menyaksikan wujud Ran dengan indah, seperti dulu enggan berubah, Rindou lekas memeluk saudaranya yang sudah lama pergi meninggalkan dia beberapa tahun lalu. Ada rasa rindu seakan terbayarkan kala kehangatan kasih di antara mereka terjalin kembali.

"Aku sangat senang kita bertemu kembali, Ran. Kurasa aku telah mati dengan tenang sekarang." ucap Rindou menyeka air matanya.

Ran menggeleng pelan. Tersenyum mengusap pundak Rindou, "Hidupmu masih panjang, Rindou." Kemudian Ran menelisik pandang kepada cakrawala di atas sana.

"Aku datang menemuimu atas permintaan gadis itu padaku." Lanjutnya.

Alis Rindou saling bertaut, membentuk firasat aneh dalam batinnya, "Maksudmu?"

Masih dalam posisi sama, Ran kembali menghirup udara segar yang sedang lalu, "Kau beruntung bertemu dengan perempuan sebaik dia." Kini pandangannya teralih pada sang adik.

Paras Rindou sedikit sendu, "Dia merusak hidupku, Ran." Rindou bermonolog dengan  ekspresi gusar.

"Kau hidup seorang diri sekarang, sudah sewajarnya dapat teman hidup, bukan?" Ran ingin memastikan apa yang ada dipikirannya.

"Intinya dia aneh."

Ran terdiam, meraih dedaunan pohon yang mulai gugur diterbangkan angin, "Tetapi aku tidak pernah sekali pun mengharapkan kau menyiksa wanita, Rindou. Istrimu itu dia hanya menginginkan belas kasih, tidak lebih."

"Ran, berhenti membelanya. Dia pasti sudah mencuci otakmu. Jangan selalu terpedaya oleh tipuan wanita, Ran. Kesalahan di masa lalu cukup terjadi untuk sekali saja." Jelas Rindou kesal.

Pemandangan sekitar mulai berubah, berganti seakan diseret angin. Membentangkan tampilan seorang gadis ceria yang tengah memasak penuh damba dalam sebuah ruang yang sangat Rindou kenal. Kedua siluet itu memperhatikan gadis tersebut tanpa saling berbicara.

"Rindou pasti senang karena aku memasak untuknya hari ini."

Adegan bergerak cepat menjadi saat sang suami hendak berangkat kerja dengan raut wajah kesal. Rindou tau jelas adegan dalam pemandangan itu. Kala pertama kalinya y/n memberikannya bekal makanan di pagi hari.

Situasi bergulir kembali begitu cepat bagai diseret angin, membuat posisi Ran dan Rindou menjadi berdiri.

Suasana malam mulai terasa, dingin sejuk ruangan ber-ac menyerbu kulit. Tempat Rindou menghabiskan seluruh aktivitasnya. Tepat pada meja kerja Rindou, terlihat y/n sedang berupaya membujuknya. Dia ingat itu adalah perkelahian disebabkan karena gadis itu tertidur dipangkuannya.

Sampai pada saat y/n hendak keluar ruangan namun tersendat sesaat di depan pintu. Rindou dan Ran menatap arah manik sendu itu tertuju. Di dalam tong sampah, makanan yang telah dia buat penuh kasih pagi tadi tergeletak seakan tak bernilai di tempat kotor tersebut.

"Rindou, sejijik itu kah kau sampai tega membuang bekal buatannya ke tong sampah? Padahal ia membuatkan itu hanya untukmu." Ujar Ran.

Rindou diam. Termenung menatap raut wajah berkaca-kaca milik sang istri yang berdiri tepat dihadapannya itu. Dia lihat jelas, air mata sudah sukses turun ketika y/n melangkahkan kakinya keluar ruangan hingga menembus Ran dan Rindou di sana.

Momen kembali bergulir cepat, tepat sebelum semua kekacauan itu terjadi, semua perlakuan Rindou yang begitu tega menyiksa sang istri tanpa belas kasihan. Memukul, menendang bahkan mengumpati wanita itu hingga menyumpahi y/n agar mati saja dan pergi dari hidupnya. Semuanya ditampilkan begitu jelas dan disaksikan oleh mereka berdua.

"Dari semua perlakuan burukmu terhadapnya, diantara kalian berdua justru yang bertindak tidak selayaknya manusia adalah dirimu, Rindou. Tidak ada lagi rasa kemanusiaan dalam hatimu."

Mereka berdua kembali terseret ke tempat semula. Angin kembali melenyapkan seluruh ilustrasi barusan. Rindou meneguk saliva secara paksa. Nafasnya kembali tercekat.

Rindou menatap Ran dengan iris pilu, serasa ada sayatan lebar yang muncul di permukaan rongga hatinya, detik demi detik sayatan terasa semakin terbuka lebar.

"Aku sudah terlalu jauh rupanya."

Ran memeluk adiknya, "Kita tumbuh dengan luka yang pahit Rindou. Cukup semua penderitaan itu berakhir hanya pada kita saja. Jangan sampai orang yang menyayangi kita juga ikut merasakan."

"Ikhlaskan semua hal buruk yang pernah terjadi di masa lalu. Jangan biarkan hal itu mengusik kebaikan yang seharusnya terlaksana saat ini."

"Jaga diri dan lekas perbaiki ikatan rusak diantara kalian."

Ran berusaha kembali membimbing adiknya yang masih trauma akan masa lalu. Rindou sudah terjerat terlalu jauh dalam praduga keliru tentang cinta sang kakak di masa lampau.

Rindou masih termenung, menjatuhkan pandang menatap sela kakinya dan meratapi kembali semua yang telah lalu. Ran mengukir senyum, dan perlahan memudar seakan mulai ditelan masa.

Menyaksikan kepergian saudara terkasih, Rindou melihat tubuh itu lambat laun berubah menjadi keping pecahan cahaya yang berlalu terbang ke atas langit. Bagaikan butiran pasir.

"Raganya ada di depan sana, Rindou."

Bisikkan samar terdengar pada detik batas waktunya usai. Hingga sosok Ran telah sirna, menyisakan tamparan halus di hati Rindou melalui monolog sang kakak di akhir kepergiannya.

.

.

.

.

Terima kasih udah baca, jangan lupa vote dan komennya.
See u next chapter...

WonderwaLL || Rindou Haitani x ReadersOnde histórias criam vida. Descubra agora