Bab 5 Lubang Cacing

1.1K 160 17
                                    


“Memandang wajahnya bak masuk ke dalam lubang cacing, waktu dan ruang terasa pintas padahal masih belum puas memandang”.

****

Aera POV

          Aku benci Khinza sampai ke DNA. Maaf seharusnya seorang manusia yang baik tidak boleh membenci manusia lain, tapi apa Khinza itu masih manusia? Kukira dia itu tumpukan sampah yang siap dibakar, iya, saking menyebalkannya. Karena emosiku sampai di ubun-ubun, malam ini aku beneran meninju pipi menornya itu. Sepertinya aku bakalan mimpi indah karena sedikit menggelontorkan kebencian ini.

          Dia itu peniru ulung. Dia meniru gaya pakaianku, kekreativitasanku, gaya bicaraku, bahkan sampai masuk ke jurusan kuliah yang sama denganku. Kali ini dia mau merebut incaranku? Perlu dicubit akar giginya ini anak. Ada jutaan cowok di Malang, kenapa kami bisa sama-sama naksir orang yang sama. Apakah ini sekedar kebetulan?

          Jika kebetulan, kenapa ini terasa konyol? Tidak, bagaimana bisa dia tahu aku naksir Ibrahim – Baim aja deh – yang tak pernah kubocorkan pada siapa pun. Jangan-jangan Khinza juga kena tilang makanya bisa kenal dan naksir Baim? Kenapa sih takdir selalu membawa kami terhubung? Aku benci kenyataan bahwa sainganku adalah Khinza. Dia tukang drama sejati.

          “Sudah puas, Kak?”

          Mama memandangku lelah saat jam sudah menunjukkan kelelahan hari, jam 11 malam aku duduk sendiri di meja makan dengan wajah awut-awutan. FYI, peperanganku tadi dipisah Om Guntoro atas perintah papa. Oh iya, uang sakuku dipotong 20% kok tenang aja. Aku bakal dapat uang saku 10 rebu doang sehari, biasanya 100k. Sekarang aku tinggal menghadapi mama yang memandangku dingin. Mama bisa sedingin ini mungkin karena aku yang ter-la-lu!

          “Maaf, Ma, kalau boleh tahu Mama di pihak siapa? Kakak atau Kak Khinza?” selidikku dengan mata mirip anak kucing, melas gitulah.

          Mama malah berkacak pinggang. “Kak, apa begitu perilaku anak yang hanya dibesarkan dengan cinta? Mama memang mengajari Kakak membela diri sejak kecil, tapi haruskah Kakak gulat sama saudara sendiri? Apa yang harus Mama katakan ke Budhe Nindy?”

          Mama mengguncang badan lelahku dengan gemas. “Ma, tetap tenang. Ini udah malam, gimana kalau marahnya besok aja? Aera capek sumpah, Ma ....”

          “Kamu capek? Kok bisa berantem sama Kak Khinza? Ya Allah, Nak ... Baby A! Mau jadi apa kamu? Usiamu sudah 20 tahun, tapi kenapa perilakumu seperti itu hanya karena cowok? Apa kata dunia? Apa Kakak pernah belajar agama?” omel Mama sepanjang mi goreng.

          “Maafin, Aera, Mama ...,” ucapku lirih yang membuat guncangan Mama berhenti. Mama mengamati wajahku dengan saksama.

          “Apa kamu sesuka itu pada orang yang baru saja kamu temui? Apalagi di momen yang tidak pas. Apalagi kamu tahu polisi itu yang disebeli adek? Kamu yakin mau bikin adek kesel terus saban kamu bahas dia? Kamu tidak ingat bagaimana situasi rumah kita sekarang, Kak?” berondong Mama bak tembakan peluru. Aku udah bolong semua ih, mana mulai mikir.

          “Iya Mam, Aera mikir kok. Makanya ini nggak tidur-tidur. Tapi Mama pernah nggak sih tiba-tiba suka dan lama-lama itu berasa serius? Rasanya kayak semakin lama semakin penasaran, semakin ingin memilikinya? Iya sih waktunya salah karena adek lagi sebel-sebelnya sekarang, tapi bisa apa kalau Aera selalu mikirin dia? Apalagi sekarang ada saingan baru.” Penjelasanku membuat mama merenung memandangku.

          “Kayaknya Kakak beneran jatuh cinta, ya? Wajah itu tak pernah seserius ini bahkan saat kamu membicarakan dunia kuliah?” telisik Mama lagi.

Konstelasi Cinta // END(Rewrite Suddenly in Love)Where stories live. Discover now