Bab 11 Alpha Male

1.1K 177 48
                                    

“Dominasimu atas aku adalah pilihan terindah yang pernah kulakukan”.

 ###

“Jadi toiletnya udah pindah ke balkon?” pecahku yang membuat Mas Rimba mendongak. Aku melihatnya sudah menepi di balkon di dekat tangga turun memandangi Panderman yang mulai menjingga bermandikan senja yang mulai datang. Wajahnya terlihat kusut. Aku tahu perkataan Kak Aera tadi menyinggung hati terdalamnya.

“Kata-kata Aera tadi bener banget,” ceplosnya santai tanpa menatapku. “Aku lahir dan besar di badai, makanya bodoh ngadepin banyak orang, cuma bisa ngerusak suasana. Aku jadi salah satu danton yang dibenci anggotaku, sebuah prestasi?”

Aku hanya tersenyum hampa. “Maafin Kak Aera, ya? Dia emang ceroboh orangnya. Jangan membenci dia,” ucapku pelan sambil berdiri di sebelahnya. Sebenarnya karena suka pada aroma parfumnya.

“Nggak kok. Justru aku yang minta maaf. Udah bikin suasana jadi nggak enak. Ya, aku memang orangnya kaku dan menyebalkan,” ucapnya jujur. Eh, dia sadar sama sifatnya.

“Mas Rimba nih punya kepribadian ganda, ya? Kenapa Mas sangat berbeda saat menjadi Antares Timur dan Rimba Gavin Sudirman? tanyaku sembari menatap hidung mancung besarnya. Astaga hidung yang selalu bisa ditandai, pengin kali kucubit.

“Bedanya gimana?” sahutnya sambil menatapku dan gegas aku menundukkan mata. Menatap wajahnya adalah keinginanku, tapi aku ingin tatapan itu rasa halal dulu. Andaikan jadi ....

“Kenapa Mas Rimba suka naik gunung? Kenapa suka danau, pantai, laut, dan gunung?” tanyaku tanpa menanggapinya.

“Kenapa kamu suka bintang?” tanggapnya tanpa menjawabku.

“Bentang alam itu adalah benda paling jujur, Mas. Nggak kayak manusia, mereka nggak pernah nipu kita. Alam selalu menjanjikan keindahan jika kita menjaga dan menikmatinya dengan baik,” jawabku bijak.

“Jadi kamu bahagia saat melihat mereka?” Aku mengangguk.

“Sama,” ucapnya pendek. “Bahagia itu saat melihat sesuatu yang jadi kesukaan kita.”

“Jadi, Mas Rimba lebih suka jadi Rimba atau Antares Timur?” Tanpa sadar aku memandang wajahnya yang berantakan galau.

Dia hanya mengulas senyum tipis, coba lebih riang pasti lebih rupawan. “Aku suka keduanya. Aku suka menasehatimu, lalu mengomelimu seperti Rimba yang sesungguhnya. Aku nyaman jadi apa pun asal ngobrolnya sama Bella.”

Ya Rabbi, bisakah aku menundukkan mataku sekarang saat mata teduhnya itu menatapku? Bisakah aku menundukkan wajah saat wajah damai tersiram golden hour itu menatapku? Ini adalah kalimat manis pertamanya setelah kami kenal selama ini. Aku serasa bertemu Antares Timur yang baik hati itu – Si Logis yang Bijak itu – di dunia nyata.

“Aku itu orang yang gampang berubah sikap kayak Pak Ivandika. Beliau adalah orang dengan kepribadian ganda paling nyata yang pernah kutemui,” ucapnya dengan sedikit bernada dendam. “Aku jadi tentara sebagai pembuktian karena pernah tak diakui. Aku menerima perjodohan ini supaya beliau senang dan bangga sama aku. Saat beliau senang dan bangga, saat itulah aku tetap tak mau memanggilnya papa. Impas, ‘kan?”

“Jadi, aku cuma akan dijadikan tumbal? Andaikan Mas tahu, aku ingin membagi bahagiaku denganmu. Hidup ini indah kok, kebahagiaan berkeluarga itu ada,” ungkapku jujur dengan suara bergetar menahan tangis. Dia menguji kedewasaan anak SMA macam aku rupanya.

“Tidak seburuk itu, hanya aku ingin beliau tahu bahwa membuangku adalah penyesalan. Aku tidak akan membuat hidupmu berantakan atau rusak. Kita bisa tetap menikah, aku tidak akan kasar dan sebagainya,” katanya berusaha menguasaiku.

Konstelasi Cinta // END(Rewrite Suddenly in Love)Where stories live. Discover now