Bab 22 Moonlight

1.4K 198 50
                                    

“Di bawah purnama bulat sempurna, maukah manik mata bulatmu hanya memandang kepadaku, menjadikanku satu-satunya bagimu, cukup aku yang membuatmu bahagia?”

###

Ini hari ketujuh permainan takdir terjadi dan belum ada tanda apa pun darinya. Seperti tertiup angin, dia seolah lenyap. Apakah dia tertelan ganasnya lautan atau ganasnya badai matahari? Apakah dia tertelan pekatnya hutan rimba seperti namanya? Aku memanggilinya setiap waktu, menitipkan salamku pada angin dan sinar matahari agar kamu tahu rasa.

Aku tak pandai berkata manis dan puitis, tapi sekalinya jatuh cinta kenapa tragis?

Pagi buta aku telah siap pergi ke Surabaya. Kak Aera dan Kak Baim akan melaksanakan sidang nikah sebagai puncak pengajuan nikah yang mereka urus sejak beberapa bulan yang lalu. Langkahnya masih nyata karena keduanya selengket pulut nangka. Beda kelaslah sama aku yang hilang timbul, hilang lenyap tanpa tanda. Dia sportif sekali sih?

Tak cuma aku sih, mama pun akan mendampingi kakak. Sudah jelas tak tega dan tak akan membiarkan mereka berduaan. Gimana nggak kakakku seolah ingin menerkam kalemnya Kak Baim. Agak malu sih sama kelakuannya, tapi mereka sama-sama suka. Kehangatan Kak Baim memang layak untuk diperjuangkan pakai jalur apa saja sih – jalur langit; laut; dan udara. Jalur legal sampai mbah dukun.

Namun, aku lebih suka pada yang dingin dan galak, lebih menarik dan berdebar parah sih seperti memandangi gejolaknya ombak lautan.

Sudahlah, aku malah melantur. Gimana kalau tambahin stok camilan untuk nyetir nanti. Memang kami akan terpisah mobil, aku bawa Yaris kuning karena mau main ke rumah Budhe Nindy. Aku memutuskan untuk uji kejudesan lisan pada Kak Khinza sebelum uji otak kemampuan English di Kampung Inggris Kediri. Yeah, istilahnya jalan-jalan sendiri. Aku akan jalan sendiri bersama benda ini untuk mencari inspirasi.

Tentu saja papa mama berat melepasku, bagaimana pula aku ada di masa pingitan. Pernikahan itu ada di depan mata, tapi aku mulai sangsi. Sepertinya hubungan ini tidak berhasil karena batang hidung mancungnya itu sama sekali tak tampak. Sepertinya kami akan selesai tanpa drama dan kalimat panjang menjemukan, seperti cara kami bertemu yang aneh dan tak lazim. Sudahlah, aku akan lupa seiring waktu.

Dia telah mempermudah jalanku dengan semua blokiran itu.

Beberapa hari ke depan aku bebas, hanya sebagai Bella. Anak 18 tahun yang mencari inspirasi dan kebebasan dari lelahnya mengurus kakak semanja Kak Aera. Seneng banget dia dapat gelendotan baru, takkan merepotiku untuk waktu yang lama. Aku bisa bebas berkreasi melakukan hal-hal yang sebelumnya tertunda. Termasuk nyetir sendiri diiringi lagu klasik dalam volume penuh. Mulut dan tangan sibuk, satunya sibuk ngunyah kacang atom dan satunya sibuk memutar setir menelusuri padatnya tol Malang-Surabaya.

“Semoga aja nggak ada kejadian aneh, please, aku udah capek dengan kejutan,” gumamku sembari mengencangkan seatbelt. Kecepatan sudah di batas normal kok, 80 km/jam. Gimana-gimana di belakang ada Pajero Sport yang disetiri pak polisi yayangnya kakak. Bisa runyam kalau aku disentil gara-gara ngebut.

“Wah, kemampuanmu makin upgrade aja nih, Bel,” pujiku pada diri sendiri karena berhasil melambungi truk tronton. Gara-gara kakak sering teriak-teriak saban aku nyetir, aku jadi sering nyetir dalam kecepatan siput.

“Em enak juga kentang gorengnya kakak. Bisa masak juga dia, tumben nggak gosong,” gumamku lagi.

Mengingat kentang goreng, kok ingatanku melayang ke jagal makanan yang hobinya nyomot makanan orang itu, ya? Yang kasih aku cincin ini bukan sih? Ya ampun, Bel, masih saja kamu pakai cincin ini? Iyalah, perjodohan ini belum selesai secara resmi kok. Tunggu, seminggu lagi semua akan terjawab. Akankah aku geret koper jadi FA atau geret koper ke rumah dinas?

Konstelasi Cinta // END(Rewrite Suddenly in Love)Where stories live. Discover now