Bab 6 Dandelion

1K 173 30
                                    

“Dandelion adalah perlambang cinta yang murni, dan tanpa syarat hatiku bergetar saat menatapmu”.

 ***

Arabella POV

          Akhirnya, pertemuan membosankan dan aneh ini selesai juga. Demi apa aku bertemu lagi dengan Pak Polisi menyebalkan yang sempat membuat hatiku berdebar itu? Demi apa pria yang ada di video tugas akhir bahasa Indonesiaku itu datang ke rumah? Demi apa aku rela bantuin mama dan mbak Ros masak? Demi apa juga Kak Aera jadi melongo dan kambuh lemotnya ketika lelaki itu datang ke sini?

           Dia benar-benar jatuh dalam pikat pesona Ibrahim yang menurutku biasa saja. Padahal berulangkali saudara kembarnya yang judes bernama Sarah itu menatap mereka aneh. Puluhan kali pun aku menendang atau mencubit lengannya, tapi kakakku bak kena sihir. Nggak kebayang deh kalau Kak Aera di-bully sama Sarah dengan kejudesannya. Semoga Kak Aera sudah terbiasa karena aku juga sering menjudesinya.

          Tetiba ingatanku melayang ke percakapan singkat kami tadi sesudah makan malam, sebelum Kak Aera mengusirku dan Sarah secara tak langsung. Kami duduk di gazebo depan rumah dan awalnya berniat ngobrol berempat. Bagaimana juga yang pertama berjumpa dengan Ibrahim adalah aku. Pria beraroma wangi seperti hutan pinus itu selalu menawan seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Pantas Kak Aera tak lepas memandang wajah lelaki itu.

           “Siapa yang sangka kalau Bang Baim nilang kakak beradik,” kata Sarah.

           “Hehe benar, semua karena kecerobohanku, Kak,” timpal Kak Aera dengan terbata. Kuyakin hatinya sudah deg-degan maksimal. Terutama ketika mendengar suara Baim.

          “Makanya jangan ceroboh!” cetusku judes.

          “Ya nggak apa-apa. Buat pelajaran saja supaya lain kali lebih waspada, Dek. Bawa mobil itu harus membawa SIM dan kelengkapan lainnya. Tujuannya kan buat kebaikan juga. Dibutuhkan kedewasaan dalam berkendaraan di jalan. Peraturan dibuat demi kebaikan bersama,” ujar Baim dengan suara dewasanya. Kayaknya doi memang kriteria kakak banget karena ngemong gitu. Hadeh, aku yakin kakak bakalan nggelendot terus kayak ke papa gitu.

          “Kita lagi di acara sosialisasi peraturan lalu lintas ya, Pak?” celetukku malas. Padahal aku tak sungguh-sungguh kok.

          “Loh, semua 'kan demi kebaikanmu juga Dek,” timpal Sarah. O ow, polwan judes tak mau kalah.

          “Tapi kemarin juga karena ketidaksengajaan. Kesalahan tidak sepenuhnya terletak di saya, kan, Kak?” timpalku lagi.

         “Iya sudahlah. Yang penting 'kan sekarang udah selesai masalahnya. Dedek, udahan dong,” Kak Aera berusaha menenangkan emosiku.

          “Iya sih, maaf saya cuma emosi,” ucapku pada akhirnya mengalah. Sepertinya aku tak dewasa karena tak mengakui kesalahanku.

           “Kakak juga minta maaf ya, Dek Arabella. Cara pertemuan kita memang kurang menyenangkan. Semoga pertemanan kita selanjutnya membaik ya, Dek,” harap Baim yang kutanggapi dengan senyum biasa. Wajahnya sok ramah banget sih.

         Just Bella. Ya sama-sama, Pak,” tandasku cuek. Padahal aku juga gugup karena diberi senyuman cerah darinya.

         “Panggilnya Kakak saja, nggak apa-apa kok Dek,” balas Baim lagi. Ih, kok dia mengajakku akrab sih?

         “Iya Dek, masak masih muda dipanggil Pak!” ucap Kak Aera tak suka. Iya iya!

Konstelasi Cinta // END(Rewrite Suddenly in Love)Where stories live. Discover now