12 | Cupcakes

12 3 0
                                    

| happy reading |
| don't forget to give your best support |

###



Beginikah rasanya jadi seorang istri?

Tepat saat aku mematikan kompor, pikiran itu datang begitu saja di kepalaku. Malam ini, aku sengaja memasak untuk menyambut kepulangan Han Seungri. Dan pikiran bodoh itu datang tanpa diduga-duga, yang praktis membuatku menggeleng tak percaya sebab bisa-bisanya memikirkan itu.

Rasanya menggelikan, tapi pasti tak akan jauh beda dengan hari ini. Situasi saat aku menikah nanti, pasti akan begini. Menunggu suamiku pulang bekerja—oh astaga, ini tidak akan berakhir cepat jika terus dibahas. Lebih baik aku segera menyelesaikan pekerjaanku.

Ini kejutan kecil. Aku tidak memberitahunya bahwa aku memasak, tapi aku tahu dia akan pulang sebentar lagi. Karena sekarang pun sudah hampir pukul 8 malam.

Sebelumnya, aku sudah mewanti-wanti dia agar saat tiba di lobi langsung mengabariku, walau dia sempat bertanya kenapa, yang aku balas bukan apa-apa. Untungnya dia tak bertanya lebih lanjut, jadi saat ponselku tiba-tiba menyala dan menampilkan pesan pemberitahuan darinya, aku yang saat itu baru saja selesai menata meja bergegas menuju pintu. Menyambutnya dengan wajah sumringah, sementara dia terlihat kebingungan.

"Kenapa dengan wajahmu?"

Aku hanya menggeleng, kemudian menggiringnya menuju dapur. "Aku memasak sesuatu untuk kita makan malam," kataku di tengah perjalanan. Kulihat, dia tercekat. Tapi tak memberi reaksi apa-apa bahkan setelah kami berdua duduk berhadapan di meja dapur.

"Katakan sesuatu," pintaku, mulai merasa tidak enak melihat ekspresinya yang aneh. "Atau kau... tidak menyukainya?"

Dia menggeleng cepat, lalu meraih kedua tanganku. "Menikahlah denganku. Aku mohon."

Sungguh jadi aku yang bingung harus mengatakan apa. Mau mengangguk tapi aku belum siap menikah semuda ini. Mau menolak aku jelas tidak enak. Memintanya menunggu? Sampai kapan? Aku saja tidak tahu hubungan ini akan berakhir ke mana.

"Kau... sudah melamarku dua kali, Han Seungri," kataku kemudian, pelan dan terkesan berbisik.

"Lantas? Apa kau risi?"

"Tidak. Aku hanya—" Sulit melanjutkannya, jadi aku menjeda sejenak dengan satu helaan napas panjang. "Aku... belum siap, sejujurnya."

"Ada yang kau takutkan? Bicarakan itu padaku sekarang dan kita cari solusinya berdua."

Bagaimana caranya mencari solusi berdua sedangkan masalah sepenuhnya ada padaku sendiri?

Aku mengulum bibir, terpaksa menunda makan walau perut sudah sangat lapar. "Aku ingin bekerja dulu dan membantu keuangan keluargaku, aku juga ingin membantu membayar biaya sekolah adikku. Jadi, menikah sekarang sepertinya bukan waktu yang baik."

"Kalau masalahmu tentang uang, aku bisa membantu. Tanpa kau bekerja pun aku bisa memberi keluargamu uang rutin tiap bulan. Kau katakan saja berapa jumlahnya."

Niatnya murni ingin membantuku, tapi entah kenapa justru terdengar seperti merendahkan di telingaku. Dia tidak paham kata-kataku. Bagian bodohnya aku tidak bisa melawan, hanya mampu mencekal kuat sendok yang sedang kupegang.

"Kalau semuanya darimu, lalu untuk apa aku kuliah kemarin? Untuk apa aku mengejar prestasi itu jika pada akhirnya aku tidak berguna? Aku sudah tahu kau pasti tidak akan paham kata-kataku."

"Tidak, maksudku—"

"Tujuanku kuliah dan mengejar prestasi sampai mati-matian kemarin adalah agar aku mendapat pekerjaan yang layak. Aku harus bekerja untuk meringankan tugas Papa. Kau tidak paham karena kau sudah terbiasa dengan kekayaan dari orangtuamu."

Cupcakes | JisungWhere stories live. Discover now