Hari 4 - Kiamat

24 6 3
                                    

Tanah di bawah kakiku bergetar hebat. Beberapa orang di sekelilingku terbatuk-batuk. Kami nyaris tidak dapat melihat satu sama lain karena tebalnya kabut yang menyelimuti bumi.

Aku merasakan seseorang meraba-raba punggungku.

"Carlos. Apakah ini kamu, Carl?"

Itu suara Aster. Kusentuh telapak tangannya sembari berkata, "Aku di sini, Aster."

"Maukah kamu menggenggam tanganku? Aku takut," pinta Aster dengan suara mencicit.

Suara dentuman terdengar dari kejauhan. Aster sontak memeluk lengan kurusku. Badan kami terombang-ambing di tengah gelombang kepanikan. Para murid saling dorong dan sikut berusaha mencari perlindungan.

Dentuman terdengar lagi. Kali ini, jauh lebih keras dari sebelumnya. Retakan panjang muncul di tanah. Murid-murid yang berada di sekitar retakan itu refleks menyingkir agar tidak terjatuh ke dalam kerak bumi.

Aku dan Aster terpisah. Aku terdorong ke arah lahan tandus yang di sisi timur. Ah, tidak. Tempat ini justru terletak di sisi sebaliknya karena pagi ini matahari terbit dari barat.

Suara Aster tenggelam di antara pekikan dan jeritan murid lain. Bola mataku bergerak panik, mencari-cari gadis bermata biru itu. Yang kutemukan justru gadis pendiam yang sering Aster ajak mengobrol. Kalau tidak salah, Vina namanya.

Rambut legam gadis itu tampak kusut. Wajahnya pun coreng-moreng oleh debu. Tubuhnya membeku saat retakan baru muncul di bawah kakinya. Buru-buru kusambar tangannya dan kutarik gadis itu menjauh dari retakan.

"Jangan bengong! Walau ini hanya simulasi, kamu tetap akan merasa sakit jika terjatuh!" bentakku berusaha menyadarkan Vina.

Mata sipitnya mengerjap cepat. Perasaanku menjadi sedikit lebih lega saat kulihat muka Vina berangsur menemukan warna. Syukurlah gadis itu berhasil tersadar dari lamunannya.

Tangan Vina mencengkeram lenganku saat tanah yang kami pijak kembali bergoncang sangat keras. Aku sampai merasa mual karenanya. Batang-batang pohon yang mengering rubuh tertelan bumi. Di sisi seberang, gedung-gedung yang tersisa ambruk satu persatu.

Sampai kapan simulasi sialan ini berakhir? Perlukah mereka membuat simulasi semengerikan ini? Untuk apa? Bukankah kami semua juga sudah mati?

Pertanyaan demi pertanyaan menyeruak di benakku. Selalu seperti itu setiap otakku tidak dapat berpikir jernih. Satu-satunya cara yang kutahu dapat membuatku merasa aman hanyalah memastikan kesalahan yang terjadi disebabkan oleh orang lain. Kata wali pengawasku, sifat itulah yang membuatku harus menjalani pendidikan di Sekolah Persiapan Masuk Surga ini.

Suara terompet yang memekakkan telinga memekik kencang di udara. Dalam sekejap, segala kekacauan yang terjadi berhenti. Tanah di bawah kaki kami tidak lagi bergetar. Kabut yang membuat paru-paru kami sesak perlahan terangkat. Dan sosok Kepala Sekolah terlihat terbang di tengah-tengah kami.

Semua murid serempak mendongak. Mata kami kompak mengikuti ke mana arah Kepala Sekolah terbang.

Pria paruh baya bersayap elang itu hinggap di salah satu reruntuhan, lantas dengan suaranya yang berat, dia berkata, "Kami telah menyesuaikan level simulasi ini untuk kalian. Jadi, apa yang kalian lihat dan rasakan hanyalah sepersepuluh saja dari apa yang akan terjadi saat hari kiamat nanti."

Sepersepuluh katanya. Aku berdecak.

"Kalian anak-anak muda yang beruntung." Si Kepala Sekolah melanjutkan ceramahnya. "Karena kalian sudah meninggal, kalian tidak perlu mengalami fase ini. Kelak, kalian akan dibangkitkan bersama dengan jiwa-jiwa lain untuk mendapatkan putusan apakah kalian akan masuk surga atau dikirim ke neraka. Sekolah Persiapan Masuk Surga berusaha mempersiapkan kalian agar layak untuk masuk surga bersama orang-orang saleh dan terpilih lainnya.

"Kengerian yang dirasakan para penghuni neraka beratus-ratus kali lipat dari yang kalian alami barusan. Dan itu akan terjadi terus berulang-ulang sampai semua dosa kalian disucikan. Jadi, setelah simulasi ini, saya harap tidak ada lagi yang berpikiran untuk mengajukan permohonan untuk langsung dikirim ke neraka hanya karena tidak dapat mengikuti pelajaran di sekolah."

Kalimat terakhir Kepala Sekolah sukses menyentil hatiku. Yah, memang kalimat itu ditujukan bagi semua murid lain, tidak hanya kepadaku. Namun, semua orang juga tahu bahwa aku pemegang rekor siswa yang paling sering protes dan mengajukan diri untuk masuk neraka.

Di surga, tidak ada siapa-siapa yang menantiku. Semua orang yang kukenal aku yakin akan dijebloskan ke neraka. Jadi, aku pikir, apa gunanya juga aku masuk surga.

"Baiklah. Saya rasa tidak ada gunanya menahan kalian lama-lama di sini. Kembalilah ke sekolah dan jangan lupa untuk berusaha sebaik mungkin agar lulus dengan baik."

Begitu Kepala Sekolah menyelesaikan kalimatnya, cahaya terang melingkupi kami. Dalam sekejap mata, raga kami kembali berada di aula sekolah.

Embusan napas lega para murid bersahutan di udara. Aku baru menyadari bahwa Vina sejak tadi masih menggelayuti lenganku justru saat gadis itu melepaskan cengkeramannya.

"Ma-maaf," kata Vina sembari memalingkan muka. Di bawah siraman cahaya lampu, dapat kulihat telinganya yang memerah.

Aku belum sempat berkata apa pun karena Aster berlari ke arah kami.

"Ah, rupanya kalian di sini. Yang tadi itu seram sekali, ya?" tanya Aster setengah berteriak. Kian hari, senyumannya makin terlihat natural. Tidak kaku dan aneh lagi seperti saat dia memperkenalkan diri di depan kelas.

Aster menepuk lenganku dengan cukup keras. "Dengar kata Kepala Sekolah. Jangan mengajukan diri untuk masuk neraka lagi."

"Tidak ada yang kukenal di surga," celetukku asal. "Kalian saja yang ke sana."

"Kalau kami masuk surga, bukankah itu artinya ada yang kamu kenal di sana?" tanya Vina lirih. "Kalau begitu, pernyataanmu barusan tidak relevan lagi."

Aku menatap Vina lekat-lekat, tetapi dia justru memalingkan wajah ke arah lain, seakan sengaja menghindari tatapanku. Aku berusaha menemukan argumen untuk menyanggah perkatan Vina barusan, tetapi mau dilihat dari sisi mana pun, pernyataan Vina tadi tak terbantahkan. Alasan yang kuutarakan memang cacat logika. Ternyata memang sulit beradu argumen dengan siswa paling pintar di angkatan kami.

"Kalau begitu aku akan berjuang masuk surga," ujar Aster penuh semangat. "Supaya kamu termotivasi untuk menyusul kami ke sana. Bagaimana?"

Aku mengembuskan napas panjang. Berdebat dengan mereka hanya akan buang-buang energi saja. Vina terlalu pintar untuk kulawan, sementara Aster tidak kenal kata menyerah. Lebih baik aku mengantre makanan di kafetaria saja.

Kubenamkan tangan ke saku celana. "Terserah kalian saja," ucapku sambil berlalu dari hadapan mereka.

>>>0<<<

Tema Hari Ke-4:

Buatlah cerita dengan tema apocalypse

>>>0<<<

Ceritamela:

Akhirnya tulisan DWC-ku tidak angsaaaa. 

Yeey.

Oh iya, disclaimer (walau rasanya ga perlu karena pembaca pasti dah pada pintar). Cerita ini murni fiksi dan hasil imajinasi saya, ya.  Jadi, ingatlah untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin menghadapi hari kiamat karena tidak ada Sekolah Persiapan Masuk Surga yang bisa jadi tempat persinggahan.

Under The Same SunWhere stories live. Discover now