Hari 11 - Air Bah

9 4 1
                                    


Tema Hari Ke-11

Buatlah cerita dengan setting pasca tsunami

>>>0<<<

Aku tidak menyangka Alam Persinggahan juga turun hujan. Kupikir karena tidak ada matahari di sini, hujan juga bukanlah sesuatu yang mudah kutemui. Tapi, ketika kutanya Aster, hujan cukup lumrah terjadi di sini.

"Mungkin akan sedikit basah, tetapi kita bisa sepayung berdua sampai halte," tawas Aster sembari menunjuk payung bunga-bunga miliknya.

Senyum getir menghias wajahku. Mataku memindai cepat curahan air yang ditumpahkan dari langit. Mendadak aku menggigil, terbayang lagi cara aku mati.

Tidak. Aku tidak mati di tengah hujan. Tapi, kematianku juga disebabkan oleh jumlah air yang teramat banyak.

Panen pir tahun itu cukup baik, jadi ayahku mengajak kami berlibur ke Negeri Gajah Putih. Saudari-saudariku sedang berenang, sementara aku menikmati hangatnya cahaya matahari di bibir pantai. Itu adalah kunjungan pertamaku–dan terakhirku–ke negara tropis.

Kupikir keluargaku akhirnya dapat berfungsi layaknya keluarga-keluarga normal. Kupikir aku akhirnya bisa menikmati hidup. Namun, ketenangan yang elegan itu segera berubah menjadi kaos. Orang-orang berlarian di sekelilingku. Pa berteriak memanggil nama saudari-saudariku, sementara Ma mengguncang tubuhku.

Aku masih dapat mengingat jelas indahnya tembok ombak yang menjulang tinggi di kejauhan. Aku belum pernah melihat sesuatu yang seindah itu.

Kian lama tembok itu kian dekat. Ma menarik-narik tanganku, tetapi kakiku terasa terpaku ke pasir pantai. Lalu, gulungan air itu mengempas kami. Air di mana-mana. Air di paru-paruku. Air di tenggorokanku. Ternyata sang maut menunggangi tembok ombak itu. Tembok itu tak lagi terlihat indah di mataku.

Sebelum jiwaku dibawa pergi, aku masih melayang-layang di permukaan bumi. Jasadku tersapu hingga dua kilometer, ikut terkubur di bawah puing-puing resort tempat kami menginap. Sejauh yang dapat mataku pandang, semua hancur tersapu gelombang.Pohon-pohon tercerabut dari tanah, lalu bergelimpangan di jalan, mempersulit mobil pemadam kebakaran yang hendak mengevakuasi para korban.

Air yang lembut dan tenang ternyata dapat semematikan itu.

Sejak saat itu, aku tak terlalu suka air dalam jumlah banyak. Bahkan, aku selalu menyetel pancuran ke mode paling kecil.

"Jadi, bagaimana, Leo? Mau sepayung berdua denganku?"

Suara Aster menyeretku keluar dari lamunan.

Aku menggeleng. "Aku tunggu hujannya reda saja."

"Sepertinya akan awet."

Rasanya memang mustahil tsunami akan menerjang alam ini, tetapi yang namanya takut tetap saja takut.

"Aku ingin membaca di perpustakaan," kataku bersikukuh menolak tawaran Aster. "Kamu pulang saja dulu."

Sebelum Aster membujukku lagi, aku bergegas masuk kembali ke gedung sekolah.

Under The Same SunWhere stories live. Discover now