Hari 15 - Murid Aneh

10 2 2
                                    


Tema Hari Ke-15

Buatlah cerita yang ternyata sang tokoh utama dan seluruh keluarganya adalah alien dari galaksi lain

=0=

Leo kembali memalingkan wajah ketika aku balas menatapnya. Ini bukan pertama kalinya aku memergokinya sedang menatapku dengan mata nyaris tak berkedip. Tampaknya, dia masih belum terbiasa melihat penampakanku yang tidak biasa. Wajar saja, murid-murid lain juga melakukan hal yang sama.

Karena aku sedang tidak ada kerjaan, dan jengah juga ditatap dengan raut penasaran oleh pemuda itu, aku pun menghampiri Leo.

"Ada yang aneh pada diriku, Leo?" tanyaku sembari menyunggingkan senyum yang mungkin di mata Leo lebih terlihat seperti seringai menyeramkan.

"Ti-tidak." Leo terbata. "A-aku tidak sedang memandangimu, kok."

Au mendengkus. "Tanyakan saja. Aku akan menjawabnya."

Sejenak, Leo terlihat ragu. Kupikir dia akan kabur untuk menghindari situasi canggung yang tercipta di antara kami. Namun ternyata, dia benar-benar menuntaskan rasa penasarannya dengan bertanya.

"Apa kamu benar-benar alien." Seperti baru tersadar oleh sesuatu, Leo buru-buru menambahkan. "Maksudku. Para guru dan staf memang terlihat bukan seperti manusia. Tapi, selain kamu, murid-murid di sini semuanya berwujud manusia."

Sudah kuduga. Waktu tahun ajaran baru dimulai, aku sudah menjelaskan asal-usulku pada teman sekelas. Leo masuk di tengah-tengah tahun ajaran, dan sepertinya siswa lain sungkan membahas perkara wujudku yang aneh ini dengannya.

"Tergantung bagaimana caramu melihatnya, sih." Aku menanggapi pertanyaan Leo. "Dari sudut pandangku, kamu dan murid-murid lain, lah, yang terlihat seperti alien. Tapi, karena di sini aku hanya minoritas, kamu bisa menanggapku sebagai alien. Nyatanya, kita memang berasal dari galaksi yang berbeda."

"A-apakah seluruh keluargamu juga err ... seperti dirimu?"

Ekspresi Leo yang lucu membuatku tergelak. Entah seperti apa yang terdengar di telinga Leo. Mungkin lebih mirip suara lengkingan banshee yang memekakkan telinga. Aku tidak peduli, sih. Toh, tidak ada yang bisa kulakukan untuk membuat suara tawaku terdengar lebih manusiawi.

"Di tempatku, tidak ada konsep keluarga. Kami lahir dari biji yang tersemai, seperti pohon di bumi tempatmu tinggal. Jadi, yah, aku tidak tahu siapa ayah dan ibuku," terangku. "Jadi, bisa dibilang, semua penghuni di planetku adalah keluargaku. Dan ya, mereka berwujud mirip denganku. Hanya warna daun dan bunganya saja yang berbeda-beda, sesuai kepribadian masing-masing. Selebihnya sama."

"Kenapa tidak ada siswa lain yang seperti kamu?"

Aku menjengkitkan bahu. "Sepertinya cuma aku yang perlu kelas tambahan untuk masuk surga. Penduduk lain tampaknya langsung masuk surga."

Kepala Leo berayun-ayun ke depan dan belakang. Matanya berulang kali mencuri pandang ke sulur-sulur daun yang tumbuh di kepalaku. Kebetulan sedang ada beberapa kuncup bunga yang tumbuh.

"Kamu mau memegang rambutku?"

Mata Leo membelalak. "Bo-bolehkah?"

Pemuda itu benar-benar seperti anak kecil yang penasaran. Aku mengangguk sebagai isyarat bahwa aku serius dengan tawaranku barusan.

Dengan ragu-ragu, Leo membelai sulur-sulur daun yang menjuntai di bahuku. Jemarinya tak sengaja menyentuh satu kuncup bunga di dekat telingaku. Di luar dugaan, bunga itu mekar seketika.

Aku sama kagetnya dengan Leo. Belum pernah terjadi hal seperti ini padaku. Biasanya butuh dua atau tiga minggu sampai bunga-bunga itu mekar sempurna.


====

Ceritamela

Maafkan ceritanya makin ngaco.

(menyalahkan minpecut)

Under The Same SunWhere stories live. Discover now