Hari 9 - Free Lunch

9 3 1
                                    

Tema Hari Ke-9:

Buatlah cerita dengan tema, makanan/minuman favorit kalian dengan tokoh utama kebalikan dari gender kalian

>>>0<<<

"Namaku Leo dan asalku dari Australia." Aku membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan kepada 23 orang yang akan menjadi teman sekelasku.

Nyonya C, wanita berkepala burung hantu yang akan mengejar kelas pagi ini, menyuruhku duduk di satu-satunya kursi kosong yang ada di kelas.

Rekan sebangkuku seorang pemuda berambut jabrik berwarna cokelat kusam. Tampaknya dia bukan tipe orang yang suka berteman. Saat aku tersenyum untuk menyapanya, dia tidak memberikan respons apa pun. Bahkan memberikan gestur sederhana seperti menjengkitkan bahu pun tidak dia lakukan.

Sepanjang pelajaran, teman sebangkuku yang belakangan kuketahui bernama Carlos itu hanya bicara jika guru bertanya. Selebihnya dia hanya akan menatap lurus ke papan tulis sambil mencoret-coret buku. Bukan mencatat, dia hanya menggambar kartun beraneka bentuk dan ukuran. Entah kebaikan apa yang dulu pernah Carlos lakukan sampai dia mendapat kesempatan kedua di Sekolah Persiapan Masuk Surga ini. Kalau aku jadi kepala sekolahnya, tentu akan langsung kukirimkan dia ke neraka.

Alam Persinggahan tidak memiliki matahari. Waktu istirahat makan siang ditandai dengan bunyi lonceng tepat dua belas kali. Ruang kelas yang tadinya tertib mendadak jadi riuh begitu Nyonya C terbang ke luar. Dua orang gadis yang terlihat sepert siang dan malam menghampiri mejaku.

"Hai, Leo. Aku Aster. Senang berkenalan denganmu." Gadis yang memiliki senyum secerah matahari siang pada musim panas mengulurkan tangannya.

Aku menjabat lembut tangan Aster dan mengucapkan basa-basi perkenalan yang kurang lebih lama. Gadis berambut pirang itu kemudian memperkenalkan temannya yang bernama Vina.

"Kami dan Carlos akan ke kafetaria. Kamu mau ikut?" Aster menawarkan.

Tunggu! Jadi, kedua gadis manis ini teman Carlos? Mereka menghampiiri meja ini karena Carlos? Bukan untuk berkenalan denganku?

Aku melirik Carlos yang masih tampak tak acuh di sebelahku. Dengan pose duduknya yang agak melorot dari kursi, pemuda itu benar-benar terlihat seperti anggota gangster. Sebaliknya, Aster dan Vina terlihat seperti gadis baik-baik yang tidak bisa kubayangkan dapat berteman dengan Carlos.

Aku tahu, aku tahu. Sikap judgemental-ku inilah yang membuatku tidak dapat langsung masuk surga. Wali pengawasku bilang aku harus menguranginya agar dapat nilai bagus di sekolah ini. Tapi, kalian harus lihat sendiri gaya Carlos yang urakan. Wajahnya tidak terlalu tampan. Apa yang dilihat oleh gadis-gadis ini?

Demi kesan pertama yang sempurna, tentu saja aku tidak akan mengutarakan isi kepalaku ini kepada mereka. Jadi, kuterima tawaran Aster dengan senyuman penuh terima kasih. Carlos tidak mempermasalahkan, itu artinya aku aman.

"Di sepuluh hari pertama, kamu bisa memesan makanan dan minuman gratis di kafetaria. Tapi, kamu harus rajin mengumpulkan benang pengetahuan dan bubuk kesabaran. Kalau tidak, di hari ke sebelah kamu hanya bisa makan roti gandum kering dan minum segelas air putih saja."

Sebenarnya, informasi yang diutarakan Aster sudah kuhafal di luar kepala. Sebelum berangkat sekolah tadi, aku sudah membaca buku panduan siswa sampai tamat.

Antrean siswa sudah terurai ketika kami tiba di kafetaria. Aster menyuruhku mengantre setelahnya supaya aku bisa mengamati cara memesan makanan. Hal yang tidak perlu sebenarnya, karena seperti yang kubilang tadi, aku sudah membaca buku panduan.

"Kamu sudah tahu apa yang akan kamu pesan?" tanya Aster. "Kamu bisa memesan apa saja di sini."

Tentu saja aku tahu! Namun, lagi-lagi aku tidak mau terkesan angkuh di hadapan mereka. Jadi, pertanyaan Aster aku jawab dengan anggukan kepala.

Ketika tiba giliranku, aku langsung menyebutkan nama minuman favoritku. "Lemon Barley Water."

Mereka bilang, bisa memesan apa pun, kan? Limun dingin dari rebusan barley dan lemon itu tentu hanya hal sepele bagi tempat ajaib ini, kan?

Manusia rakun bertopi koki yang ada di balik counter menyuruhku menunggu sebentar. Sekitar semenit kemudian, dia keluar dari dapur sambil membawa botol kaca berisi cairan bening kekuningan.

Aku meneguk ludah saat melihat air yang mengembun di permukaan botol. Sepertinya sangat segar menenggak minuman itu di tengah hari yang panas ini.

Setelah kami berempat mendapatkan pesanan masing-masing, Aster memimpin kami menemukan meja di sayap kiri kafetaria.

"Sepertinya enak." Vina yang duduk di seberangku bercereletuk. "Besok aku mau coba pesan, deh."

"Bagian mana dari kata Barley yang tidak kamu mengerti?"

Aku sedikit kaget ketika Carlos ikut nimbrung dalam obrolan kami. Sejak tadi, pemuda songong itu hanya mengekor kami bertiga tanpa berkata apa pun.

Vina menoleh ke arah Carlos. "Memangnya Barley apa?"

Dari perawakannya, Vina memang terlihat sangat Asia. Tapi, masak, sih, dia tidak tahu apa itu Barley?

Kupikir, Carlos akan meledek gadis berambut hitam itu. Namun di luar dugaanku, dia hanya mengesah pelan lalu menjelaskan dengan nada bicara lebih lembut.

"Itu sejenis gandum," terang Carlos. "Kamu alergi gluten, kan?"

Rasa penasaranku tidak terbendung. Seingatku buku panduan tidak mencantumkan satu pun informasi tentang cara kerja organ tubuh kami selama di sini. "Memangnya, di sini kita juga bisa sakit?"

"Selain para guru dan pegawai yang berpenampilan aneh, dan juga beberapa sistem yang agak sulit diterima nalar, kita sebenarnya seperti mengulang hidup di dunia, kok. Kita bisa sakit, terluka, dan juga mati lagi. Yah, walaupun di sini mati itu berarti mengulang lagi dari kelas paling rendah." Aster ikut bersuara. "Kata Kepala Sekolah, hal itu supaya kita tidak gegabah dan menganggap enteng setiap tugas yang diberikan."

Kepalaku tertunduk. Tiba-tiba, udang-udang gendut yang bertengger di atas spagetiku terlihat tidak menarik lagi.

=======
Ceritamela:

Saya belum pernah minum Lemon Barley Water. Tapi ya tampilannya kek es jeruk. Saya suka es jeruk.

Terus, saya suka seafood spaghetti. Jadi, anggap aja masih masuk tema ya.

Under The Same SunWhere stories live. Discover now