15 : alien

6 3 3
                                    

Buatlah cerita yang ternyata sang tokoh utama dan seluruh keluarganya adalah alien dari galaksi lain.

[]

Tadi malam aku dapat mimpi absurd. Aneh bin ajaib. Dan mimpi itu terus membayang-bayangi pikiranku hingga saat ini. Entah karena merasa harus menyalurkan cerita mimpi itu agar cepat lupa atau malah agar tidak lupa, aku menuliskannya dalam buku catatan.

Di mimpi itu, awalnya aku menjalani kehidupan seperti biasa. Jadi anak sekolah, pulang, makan, tidur, main. Suatu ketika aku berada di dapur tengah mencuci piring, Mama berada di ruang tamu sedang mengganti-ganti channel TV.

Tiba-tiba ia berkata, "Bapakmu sebentar lagi pulang."

Aku pun merespons, "Oh." Kemudian demi kelanjutan cerita mimpi yang menggegerkan, aku bertanya, "Bapak tuh kerjanya ngapain sih?"

"Loh, bapakmu 'kan duta galaksi—" Aku lupa namanya, yang jelas ribet.

Saat itu aku syok berat, maka aku berteriak, "HAH?!"

"Mama sama Bapak aslinya bukan orang Bumi, kita dari planet—" Aku juga lupa, namanya kurang jelas.

"Kita tinggal di sini karena bapakmu dikirim jadi duta besar galaksi ...."

"J-jadi kita ini alien?!" Aku berseru kencang tak ingat tetangga.

Aku segera berlari ke kamarku. Aku menatap cermin. Aku menyentuh rambut panjangku, lalu mengambil beberapa helainya. Kulihat dari pantulan cermin dan ketika terkena sinar dari lampu, warnanya bukan hitam legam seperti yang dielu-elukan banyak orang, tetapi berwarna keunguan. Lalu kudekatkan wajahku pada cermin. Mataku bukannya cokelat tua khas orang Asia, melainkan kemerahan. Semakin lama aku menatap cermin, warna ungu di rambutku semakin terpampang nyata, pun mata merahku semakin menyala. Aku menjambak rambutku, mencakar-cakar wajahku, tak terima atas apa yang terlihat di cermin.

Aku berteriak sekencang-kencangnya, begitulah keadaanku saat bangun. Untungnya Mama sedang mendapat shift malam, jadi dia tak akan ketakutan mendengar lengkingan dari kamar anak gadisnya di jam lima pagi.

Baiklah, mimpi itu mungkin tak bisa dinobatkan sebagai mimpiku yang paling absurd, tapi ... ini benar-benar mengerikan. Detail dari mimpi tersebut mulai rontok satu per satu dari ingatanku sehingga hanya menyisakan intinya saja. Namun, aku masih dapat merasakan ketakutan serta hawa suram dari mimpi tersebut sehingga mimpi itu menggentayangi pikiranku hingga detik ini.

Bahkan gilanya, aku mulai memikirkan kebenaran mimpi itu. Ketika bangun, hal pertama yang kutuju adalah cermin. Kuamati lamat-lamat seluruh rupaku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rambutku masih sehitam yang dibanggakan Mama, dan mataku jelas saja masih cokelat gelap seperti orang Asia pada umumnya.

Di mimpi itu Bapak bukannya bekerja di tambang seperti yang selama ini kuketahui, tetapi menjadi diplomat antargalaksi. Bapak memang jarang pulang sejak aku kecil, selama ini aku cuma tahu bahwa tempat kerjanya jauh. Pun ketika pulang ia selalu membawa oleh-oleh dari daerah tempatnya bekerja. Namun ...—

Ah, aku jadi gila.

Nggak mungkin lah!

Aku ini manusia betulan. Bapakku punya keluarga, aku sering bertemu kakek dan nenekku. Mama juga punya keluarga dan semuanya berada di sini.

"Nay, lo kenapa?" Sira menotol-notol lenganku.

Aku tertegun. Gara-gara mimpi sialan itu aku sampai melamun sepanjang pelajaran Sosiologi.

"Sira," panggilku.

"Hm," respons perempuan berkerudung itu.

"Lu percaya alien nggak?" tanyaku spontan.

Aku dapat menangkap gurat kebingungan yang dipancarkannya. Ia mengernyit, lalu menatap wajahku, ia lantas berkata, "Gue mah percaya Tuhan."

"Bukan gitu, Siti. Lo percaya nggak kalo di planet lain, di galaksi lain, ada alien?" ulangku lagi.

"Random amat pertanyaan lo." Ia masih keheranan.

"Tinggal jawab!"

"Hm ..., bisa jadi ada, tapi entah gara-gara keterbatasan pengetahuan kita atau mereka, atau dua-duanya, kita belom pernah liat mereka," jelasnya.

"Menurut lu, kalo ada alien, bentuk alien kayak apa?" tanyaku lagi.

"Ya macem-macem lah, tergantung karakteristik tempat tinggalnya, atau ... ya pokoknya beradaptasi sesuai kebutuhannya masing-masing."

Lalu ia menambahkan, "Bumi aja makhluk hidupnya ada macem-macem, gimana kalo nanti alien pertama kali ke bumi bukan ketemu manusia tapi ketemu anjing."

"Tapi mungkin nggak ada alien bentuknya kayak manusia?"

Ia mengedikkan bahu, lalu menjawab, "Mungkin, kalo planetnya mirip bumi bisa jadi."

Aku bertanya lagi, "Lu percaya nggak kalo gue bilang gue alien?"

Ia menengok ke arahku dan kembali menautkan alisnya. "Lu abis mimpi aneh ya?"

Aku yang bagai tertangkap basah tak mampu berkilah. "Iya."

Kata orang mimpi buruk tidak boleh diceritakan, tapi ... ini bukan cerita 'kan?

"Pantesan ngelantur." Ia kembali memalingkan wajahnya.

"Lu juga ikut nanggepin kok," ujarku.

"Itu siapa cewek yang pake kacamata?"

Pertanyaan Bu Tutik sanggup membuatku terkoneksi dengan lingkungan sekitar, aku pun ikut mencari siapakah gerangan yang dimaksudnya.

"Yang rambut panjang, sama sebelahnya juga," ucapnya lagi.

"Oh, KM ya?" Loh, kenapa KM—Ketua Murid, kalau kalian nggak familier— disebut-sebut.

Aku masih tolah-toleh sebelum akhirnya Sira mencolek bahuku. Saat aku kembali menghadap ke depan, semua mata sudah tertuju padaku.

Oh iya, aku lagi pakai kacamata.

"Ngobrol mulu dari tadi," murkanya. "Udah, Ibu mau lanjut lagi." Sepersekian detik kemudian ia kembali tak mengacuhkanku dan lanjut menyerocos ngalor-ngidul tentang struktur sosial.

Sira menggeser buku paketnya ke tengah agar aku bisa lihat halaman yang sedang dibahas Bu Tutik. Saat ia meletakkan bukunya di atas buku tulis yang kucoret-coret sejak tadi, aku baru sadar kalau buku tulis tersebut adalah buku tulis sosiologi. Aduh, bagaimana kalau saat bukunya dikumpulkan Bu Tutik membaca mimpi absurdku?

[]

Reaksi jujurku ketika baca tema: APALAH!!

Tapi kita nggak boleh bolong ya gais, jadi saya sudah berusaha semaksimal mungkin biar ceritanya nggak pindah genre.

Kamis, 15 Februari 2024



REAKSI IV - NPC Daily Writing Challenge 2024Where stories live. Discover now