18 : gloomy monday

18 3 0
                                    

Silahkan kunjungi work DWC peserta yang nomor urut pendaftarannya ada di bawahmu (apabila kamu berada di daftar terbawah, kunjungi peserta nomor urut pertama), kemudian buatlah lanjutan cerita untuk cerita HARI KEDUA yang telah dibuat.

Tokoh utama, latar, dan alur cerita yang kalian dapatkan tidak boleh diubah sama sekali. Apabila kalian ingin menambahkan karakter kalian di cerita silahkan, tapi sebagai karakter pembantu. Alur cerita diharap tidak kontradiksi dengan cerita aslinya

(Semua tokoh milik Kak Julysevi )

[]


Karena suasana liburan kali ini menjadi tidak enak, ayah tiriku itu akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah saja. Sepanjang perjalanan ini mobil terasa hening, hanya diisi suara dari radio yang mengalunkan lagu-lagu. Langit yang semula benderang pun perlahan berubah muram.

Sepanjang perjalanan pun aku termenung menatap jendela mobil sambil memutar adegan-adegan yang telah terjadi di dalam benakku. Aku sama sekali tak menyesali apa yang telah kukatakan. Tiap kalimatnya, tiap katanya, sudah kususun dalam otakku dari jauh-jauh hari untuk dikeluarkan di waktu yang tepat. Dan kurasa, saat ini adalah waktu yang tepat, meski aku harus merusak hari libur Papa.

Sesampainya di rumah aku langsung berniat kabur. Aku mengambil hoodie yang tergeletak di sudut kamar dan mengambil payung di dalam tasku.

"Jona, mau ke mana?" Pria baik itu berusaha ramah padaku. Namun, tak kuacuhkan sedikit pun pertanyaannya.

Aku segera menyalakan motor dan tancap gas menuju tempat yang sering kutuju bersama teman-temanku, warung Mbok Ratmi. Sesampainya di sana, aku malah bertemu dengan sahabatku dan tetangganya—yang juga merupakan adik kelas kami. Aku tak tahu apakah aku menginginkan keberadaan mereka atau tidak. Niatku ke sini adalah untuk kabur sejenak dari rumah sambil menyesap secangkir Good Day cappuccino hangat di tengah cuaca yang hujan. Aku tak tahu apakah keberadaan sepasang tetangga itu mampu menghiburku atau malah membuatku makin darah tinggi.

Aku sama sekali tak menyapa mereka. Aku langsung melenggang masuk, memesan secangkir Good Day cappucino, lalu duduk di depan lelaki yang tengah mojok itu. Dia yang tengah asyik dengan gawainya pun tak menyadari sosokku, pun sahabatku yang masih sibuk memesan secangkir kopi.

Loh, rupanya kami memesan hal yang sama.

Aduh, baru saja aku mencoba mencari ketenangan, dua orang ini sudah beradu mulut saja. Pening kepalaku dibuatnya. Aku memejamkan mata rapat-rapat, lalu ikut bersuara, menyela perdebatan mereka, "Emang kalau tanggal merah lo nggak bakal dateng ke warung Mbok Ratmi?"

Mereka berdua sontak menoleh ke arahku. Gadis yang kini berbalut seragam basah kuyup itu bertanya, "Lah, lo juga ngapain di warungnya Mbok Ratmi, Jon?"

"Mau gue di warungnya Mbok Ratmi, kek, di rumahnya Mbok Ratmi, apa sekalian di WC-nya blio, bukan urusan lo kali." Meski kubilang mentalku sudah kebal, nyatanya aku tetap tidak bisa menahan diri untuk tak meluapkan amarahku pada orang-orang di sekitarku yang tak tahu apa-apa.

Gadis itu kemudian duduk di sebelahku,  menatapku lekat-lekat, lalu melempar komentar tentang betapa sensitifnya aku hari ini.

Yah, mau bagaimana lagi.

Aku tak sepenuhnya menyesal telah datang ke warung Mbok Ratmi. Rupanya bukan hanya aku, kedua temanku itu juga menyimpan keluh kesah di Senin kelabu ini. Kami menumpahkan segalanya sambil menyesap secangkir Good Day cappucino.

Kami terpaksa bubar karena Rei harus datang ke sekolah untuk berkumpul bersama pengurus OSIS. Valya yang tak punya tujuan lagi pun pulang ke rumahnya. Setelah teman-temanku pergi, aku berdiam diri sejenak di sana. Lalu, aku memutuskan untuk keliling-keliling naik motor, tanpa tujuan, sampai hatiku merasa mantap untuk kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan diri di kasur. Rumahku dalam keadaan kosong tanpa seorang pun. Sesuai dugaan.

Aku menatap langit-langit kamar, menghela napas dalam-dalam, lalu mengambil ponsel. Ada pesan dari Papa yang mengatakan bahwa keluargaku pergi ke mall untuk makan malam, adik-adikku merengek karena rencana liburan kami gagal total. Aku pun membalas seadanya.

Tampaknya aku memang ditakdirkan untuk beberes rumah saja.

Tidak! Aku mau mogok beberes rumah!

Aku mau masak mi saja. Udara dingin dan suasana habis hujan ini begitu mengundang untuk memasak seporsi mi rebus pakai telur. Apalagi, belum tentu aku dibawakan makan malam oleh mereka.

Aku pun membuka pintu kamarku. Saat melangkahkan kaki keluar, aku dikejutkan oleh suara pagar yang diketuk-ketuk. Aku mengintip. Huh, GoFood?

Melihat tukang ojek tersebut beehenti persis di depan rumahku, aku langsung berderap keluar. Kuhampiri pria paruh baya itu.

"Mbak Jona?" tanya pria itu.

Aku yang masih bingung pun menjawab dengan wajah plonga-plongo, "Iya."

Ia kemudian menyerahkan kantong kresek berisi sebuah kardus makanan. Aku menerimanya. Saat sang tukang ojek pergi, aku menginspeksi kotak yang masih hangat tersebut. Martabak. Dari siapa ya? Apakah Valya sebegitu khawatirnya denganku sehingga mengirimi aku martabak. Membayangkan hal tersebut, aku mendengkus geli.

Di ruang tamu, aku segera membuka kotak martabak tersebut. Martabak asin, lumayan untuk makan malam. Lalu mataku tertuju pada satu titik di kotak martabak tersebut. Tertulis "Dari mama".

Hmm ..., sulit dipercaya.

Mungkin sebenarnya dari Papa. Beliau meminta maaf atas nama mamaku. Dia sebetulnya pria yang baik, tetapi hubungan kami tak pernah sedekat itu. Aku cukup merasa bersalah karena merusak hari liburnya. Aku cuma ingin meluapkan seluruh kekesalanku pada istrinya, aku tak berniat menyeretnya.

[]

Ini chapter paling melenceng. Saya bahkan ga mikirin gimana menyelundupkan tokoh saya ke sini. Jadi ini bener-bener terpisah dari cerita yang lain ya.

Anw check out Coffee Time by Julysevi chapter 2 | Jona Claresta - Belum Beres and 3 | Rei Kastara - Warung Mbok for the context!

Minggu, 18 Februari 2024

REAKSI IV - NPC Daily Writing Challenge 2024Where stories live. Discover now