20 : deep talk

4 2 0
                                    

Buatlah tulisan dari pepatah easy come, easy go, dengan TEMA friendship

[]

"People come and go, Shaf. Manusia nggak bisa bergantung sama orang buat bahagia."

"Pas lagi bahagia juga, manusia harus inget kalo kebahagiaan itu bisa cepet direnggut lagi. Yah, emang harus bodo amat sih," ucapnya sungguh-sungguh.

Aku terkesima sejenak mendengar aksen bahasa inggrisnya. Semenjak ia terjerumus ke pergaulan cowok-cowok IPS 4, aku hampir lupa dia ini bule yang baru pindah dari Inggris.

Entah kenapa belakangan ini semesta sering mempertemukan kami. Awalnya dari tugas Bahasa Inggris tempo hari lalu. Kami sekelompok karena absen kami atas-bawah. Kami kerja kelompok di rumahku waktu itu, dan dia banyak membantuku—kami—dalam menyelesaikan tugas. Setelah itu, aku dan teman-temanku seringkali bertemu dengan dia dan teman-temannya, di mana pun. Di kantin, saat menuju kelas, di lapangan sekolah. Lalu, saat hujan waktu itu, ia inisiatif mengantarku pulang. Dan waktu itu dia memberiku buku dinosaurus, untuk adikku, gara-gara kubilang adikku suka dinosaurus.

"Jadi, kalo seandainya kamu pindah lagi, nggak apa-apa?" tanyaku.

"Ya ... aku harap nggak pindah lagi, tapi kalo emang harus pindah, ya nggak apa-apa. Seenggaknya selama di sini, aku seneng-seneng, dan aku bakal adaptasi lagi di tempat baru buat cari kebahagiaan," jelasnya seraya tersenyum tipis.

Dan kini, aku bisa berada di sini, gara-gara batal kerja kelompok, kami yang sudah telanjur menunggu malah terhanyut dalam obrolan seakan-akan kami sudah lama kenal. Sekitar lima belas menit lalu Dhanti masih ada di sini, lalu dia pulang meninggalkanku. Namun, entah kenapa rupanya percakapan kami belum berakhir hingga detik ini.

"Tapi ... selama kamu pindah-pindah, kamu masih berhubungan sama temen-temenmu nggak?"

"Masih, kok, kadang-kadang."

Jujur, aku kagum dengan sosoknya. Bukan semata pada parasnya maupun kepiawaiannya dalam olahraga atau main gitar. Namun, pada kemampuannya beradaptasi. Dalam waktu kurang lebih dua bulan dia berada di sini, ia sudah mampu berbicara senormalnya anak-anak di sini. Meskipun dia bilang memang lahir di Indonesia dan lebih banyak menghabiskan waktu di Indonesia, dan meski suka masih bingung mencari kata yang tepat, kurasa hal itu cukup mencerminkan bahwa ia sudah terbiasa dengan hidupnya yang terus berpindah-pindah, kembali bertemu orang baru, di lingkungan yang baru, serta bahasa dan logat yang mungkin asing.

"Aku dulu juga pas kecil nggak tinggal di sini, baru pindah ke sini dari kelas tiga SD. Itu aja aku baru bener-bener punya temen kelas empat." Aku ikut bercerita. Ya, aku memang payah untuk urusan beradaptasi. Sudah tidak paham bahasanya, pemalu pula, alhasil aku baru punya teman dekat setahun setelah aku bersekolah di sana. Untung setelahnya aku menetap di sini dan tak perlu ikut Ayah yang kerjanya selalu berpindah-pindah.

"Makanya aku kagum sama orang yang cepet beradaptasi. Tapi, entah kenapa dari dulu aku selalu punya temen yang gampang beradaptasi, gampang punya temen, jadi aku dapet banyak temen dari temen-temennya temenku," jelasku.

Ia tampak berpikir sejenak sebelum berkata, "Ya ..., mungkin kamu keliatan kayak orang baik."

Aku langsung menundukkan wajahku. Benarkah?

"Menurutku, kamu pendengar yang baik. Orang yang periang kayak Dhanti butuh orang yang dengerin pas dia ngomong," jelasnya sambil tersenyum.

Aku mengalihkan pandangan. Aku– aku akan menganggap itu sebagai pujian.

"Hmm ...," gumamku.

Karena masih merasa canggung, aku mengedarkan pandanganku ke sekitar, lalu menangkap dua orang yang amat familier. Nayla dan Ali, sebagai ketua murid dan wakilnya, baru selesai menghadiri technical meeting. Mereka pun langsung menghampiri kami untuk mengambil tas mereka yang dititipkan di gazebo ini.

"Sean, kok lu nggak mau ikut lomba sih? 'Kan lu seorang sastrawan Yunani kuno," ucap Nayla sembari duduk di samping Sean.

"Pasti Shafira lagi diberi petuah hidup," tambah Ali. Aku pun tertawa kecil.

Nayla dan Ali. Ketua kelas dan wakilnya. Dua orang paling ekstrover di kelas, mudah bergaul dengan siapa saja baik lelaki maupun perempuan, percaya diri tinggi, dan bisa menyatukan kelas.

Aku ingin jadi seperti mereka. Aku ingin bisa menjadi seseorang yang diandalkan oleh orang-orang di sekitarku. Namun, aku mungkin tersadar sesuatu dari kata-kata Sean. Aku mungkin bukan figur seorang pemimpin atau setidaknya orang yang menonjol, tapi aku cukup diandalkan oleh orang-orang yang memilihku sebagai temannya, orang yang merangkulku, untuk bisa menjadi pendengar yang baik, untuk bisa menjaga rahasianya.

"Tapi serius, lu kayaknya jago bikin puisi, kenapa nggak mau ikutan?" tanya Nayla lagi.

"Lu pernah baca puisi gua?" Sean malah bertanya balik, dahinya mengernyit.

"Maaf ya, gue pernah ngintip belakang buku tugas lu, pas mau dikumpulin," jelas Nayla.

"Yang itu nggak bagus," ujar Sean, entah merendah atau bagaimana.

"Lebih bagus pas patah hati ya, Sen?" ledek Ali. Tanpa meminta izin, Sean langsung mengambil botol minumku yang tergeletak di atas meja, berdiri, lalu memukul sobatnya yang ada di seberangnya itu.

"Oh, lagi berbunga-bunga, pantesan isinya–" Dengan cepat Sean membekap mulut Nayla dengan tangan kanannya, tetapi setelah itu kembali membukanya.

"Sorry, Nay," ucapnya.

"Loh, masa lu belom tau, Nay?" Si ember bocor ini masih beraksi meski sudah dihantam botol minum berkali-kali.

"Nggak tau gua, kasih tau lah." Nayla juga mengabaikan Sean yang saat ini hamlir dibuat tantrum oleh temannya.

"Ah, udah lah, gua males, mau pulang." Sean akhirnya lelah berurusan dengan dua orang itu dan mengambil tas ranselnya.

"Sorry, Shaf." Ia juga mengembalikan botol minumku.

Saat Sean benar-benar beranjak dari gazebo, kedua orang itu mengikutinya sambil memohon-mohon minta maaf. Namun, Sean sedang memasang setelan cowok dinginnya jadi dia tak menghiraukan mereka sama sekali.


[]


Wow, chapter ini panjang juga.

Anw, akhirnya Shafira jadi MC lagi, dan di chapter kali ini keempat MC ini ada semua.


Selasa, 20 Februari 2024

REAKSI IV - NPC Daily Writing Challenge 2024Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang